“Anak itu, kan? Dia adek kelas, kan.” “Aku gak nyangka kalo itu Esha.” “Esha anak 11 MIPA 1 itu, kan?” “Iya, dia orangnya.” “Iel tau gak nih, ya?” “Emang mereka pacaran?” “Gak tau juga, mereka keliatan deket banget sih.”
“Kenapa banyak yang liatin aku terus, ya? Apa penampilanku aneh? Apa aku telat nih? Gak mungkin lah, ini masih jam 06.15.” “Esha sini!” pekik seseorang di depan kelas 11 MIPA 1. Esha segera menghampiri sumber suara itu. “Apa, Ril?” Ternyata Beril. Beril segera meraih tangan Esha dan mengajaknya ke tempat duduk yang lebih sepi dekat kelas 11 MIPA 2. Tanpa cas cis cus lagi, Beril menyodorkan handphonenya tepat di depan mata Esha. Jelas-jelas mata Esha membeliak.
“Ini kemaren waktu aku sama Pak Lukas di toko buku, kan. Siapa yang foto ini?” “Itu sudah tersebar, murid-murid di sekolah ini sudah tahu.” “Pantesan barusan banyak yang ngliatin gak enak.” “Aku gak tau siapa yang kirim, nama akunnya asing,” jawab Beril, “Waktu aku liat daftar temannya, gak ada yang aku kenal. Tapi, postingannya bisa meluas gini dan yang tau hanya murid di sekolah ini.” “Gimana cara ngapusnya?” Esha mulai bercucuran peluh. “Kamu gak merasa ada yang aneh waktu di toko buku?” tanya Berlin penasaran. “Aku ngerasa biasa aja. Cuman waktu itu aku ketemu sama Sera.” “Sera?!” pekik Beril.
“Ser, please hapus foto itu.” Esha memohon kepada Sera. Berlin dan Esha memang sudah tahu fakta tentang Sera dan Geri, tapi mereka tetap takut Sera memiliki dendam terkait Esha yang selalu dekat dengan Iel. “Aku memang tau kalo foto itu jadi perbincangan hangat, tapi bukan aku yang nyebarin,” jawab Sera meyakinkan Esha dan Beril. “Waktu itu kita gak sengaja ketemu di toko buku, kan,” ujar Esha, “Kalo kamu merasa gak nyebarin, apa kamu ngliat ada orang yang mencurigakan?” Belum sempat menjawab, Beril menyela. “Sebelum lanjut ke situ kita periksa dulu handphone Sera. Sera aku pinjam handphonemu bentar aja. Bukan bermaksud menghalangi kamu, tapi bukti harus ditunjukkan.” Sera masih menyimpan foto yang kemarin Ia kirim ke Iel, Sera menjadi berkeringat di pagi yang adem ini. Dengan perasaan yang tak tenang, Sera menyorongkan handphonenya kepada Beril.
Beril langsung menggeser layar handphone nya menuju ke ikon galery. Tanpa menunggu waktu berjam-jam atau bermenit-menit lagi, foto itu sudah ditemukan di WhatsApp Photo. “Kamu foto Esha, kan?” Beril bertanya penuh selidik. “Iya betul, tapi sudah jelas kalo foto itu beda sama foto yang kalian perbincangkan.” Sera mencoba menjawab dengan tenang karena Ia tidak bersalah. Beril kembali menggeser layar handphone itu, kali ini Ia membuka WhatsApp. “Kamu kirim foto itu ke Iel, kan?” “Iel?” Esha menengok layar handphone Sera. “Kenapa Iel gak kasih tau aku?” batin Esha. “Tolong kalian mengerti, foto ini gak sama seperti yang tersebar. Aku cuman mengambil foto sekali terus aku kirim ke Iel, udah cuman itu aja,” jelas Sera terus meyakinkan.
“Kenapa kamu foto itu dikirim ke Iel?” Kini Esha yang melontarkan pertanyaan. “A-Aku cuman mau ngasih tau Iel kalo Esha lagi jalan bareng Pak Lukas.” “Kamu gak perlu kirim itu, Iel sudah tau dari awal.” “Karena kamu suka ke Iel, kan?” cetus Berlin. “Aku memang suka sama Iel, tapi aku gak punya niat buruk. Aku cuman mau ngasih tau aja, aku kira Iel gak tau tentang itu. Please, percaya sama aku,” sangkal Sera. Kelihatannya Sera memang bukan praktisi di kejadian ini. Berlin dan Esha merasa Sera tidak berbohong. Mereka berdua pun segera menemui Pak Lukas.
Terlihat Iel yang sedang mengintip dari celah tembok perpustakaan. “Iel, kamu ngapain?” tanyaku curiga. Spontan Iel menoleh dan sedikit menghindar. “Eh, Esha, kirain siapa.” “Itu Pak Lukas, kan.” Berlin menunjuk ke arah parkiran mobil. “Ber, kecilin suaranya,” pekik Iel. “Kamu ngapain ngintip Pak Lukas?” tanya Esha. “Karena aku tau bukan Sera pelakunya,” ujar Iel sambil terus mengintip.
Terlihat Pak Lukas yang tengah berbincang dengan seorang perempuan, entah siapa. “Kamu gak tau kalo itu suamiku?” “Aku bener-bener gak tau. Setauku dia itu temen kerja Ayahku, dia itu sering ke apartemenku. Tapi, gak pernah dia cerita tentang nikah.” Perempuan itu terlihat sedikit berkaca-kaca. “Akhir-akhir ini rumah tanggaku berantakan karena masalah perekonomian. Dia di PHK dan terus mendesak minta cerai setelah dia bisa kumpulin uang untuk urus perceraian.” “Padahal aku ini guru SMA, gajiku masih cukup sambil nunggu suamiku dapet kerjaan lagi. Tapi, dia ngebet banget minta cerai,” lanjut perempuan itu. “Maaf aku gak tau kalo itu suamimu, Tania.”
Esha dan Berlin pun jadi ikut-ikutan mengintip dan bahkan menguping. “Jangan-jangan mereka lagi bicarain tentang kasus ini,” bisik Esha. “Mungkin aja,” sahut Iel. “Aku yang seharusnya minta maaf. Aku gak mau kita cerai, akhirnya aku sebarin foto itu dan aku gak tau kenapa semua murid sekolah ini bisa tau.” “Ini juga salahku sih, aku cuman mau foto-foto itu dan gak mau sampai tersebar. Ngapain juga aku nyuruh suamimu foto aku sama muridku di toko buku.” Pak Lukas menggeser-geser layar hanphonenya. “Sudah dihapus sama suamimu nih. Udah beres kok.”
Kring… Kring… Kring… “Udah bel, aku cabut dulu.” Pak Lukas memasukkan handphone ke kantong celananya. “Uangnya gimana? Nanti aku kembaliin, ya.” “Anggep itu hadiah buat pernikahan kalian yang belum sempet aku kasih. Mending kalian selesaikan masalah dengan baik-baik.” “Kamu memang teman kecilku yang gak berubah. Makasih, Lukas.” Pak Lukas mengangguk dan berlalu.
“Kalian kok gak masuk kelas, ini sudah bunyi bel.” Tanpa ada suara sekecil apapun, tiba-tiba petugas perpustakaan muncul di belakang mereka. “Eeh, i-iya, Bu.” Esha menyahut. “Bikin jantungan aja,” gumam Berlin, tapi tidak terdengar oleh petugas perpustakaan. “Iya nih,” Iel membalas gumanan Berlin. “Siapa pelaku sebenarnya, Pak Lukas atau perempuan tadi, siapa ya namanya, Talia? Tania? Nah, Tania,” batin Esha.
Hari ini kegiatan di sekolah selesai lebih awal karena diadakan rapat. Jadi, Esha tidak membawakan bekal untuk Iel dan Pak Lukas. “Kamu masih belum pulang, ya?” tanya Esha.. “Iya, aku cuman maen piano di pembuka acara aja soalnya Pak Zaki gak bisa kalo jam segini,” jawab Iel. “Em, kalo gitu aku nunggu kamu selesai. Toh, nanti di sana ada Pak Lukas, kan.” “Wah, boleh juga.”
Pada akhirnya gosipan foto tadi pagi lambat laun lenyap. Akun itu sudah menghapus fotonya tadi pagi, dan mengatakan kalau foto itu hanya editan yang disengaja dan tidak terencana. Lebih lega lagi, foto itu tidak sampai ke para guru. Namun, apa ada sangkut pautnya dengan perbincangan Pak Lukas tadi pagi? Entahlah mungkin mobil berjejeran yang menjadi saksinya.
“Esha!” “Pak Lukas?!” Target yang ditunggu-tunggu muncul. “Soal foto tadi pagi, itu salah saya karena kurang menjaga keamanan.” Tanpa perbahasaan lagi Pak Lukas memelas di hadapan Esha. Suara gemetarannya menggetarkan hati.
“Teman saya ada masalah dengan suaminya, dia gak mau rumah tangga yang baru mulai harus runtuh. Suaminya saya suruh foto waktu kita di toko buku dengan syarat tidak boleh tersebar. Karena suaminya berhasil dapetin uang buat biaya perceraian, istrinya nyebarin foto itu karena kalau sampai foto itu tersebar saya bakal tarik uangnya tuh.” Terlihat jujur di matanya yang nanap. Penjelasannya sama persis seperti perbincangan tadi pagi.
“Pak Lukas menyuruh suami teman Pak Lukas, ya?” “Iya, betul,” jawabnya mantap. “Saya benar-benar minta maaf, Sha. Kamu pasti malu dan kecewa lihat foto tadi pagi apalagi tersebar rata. Kamu pasti banyak diomongin temenmu, ya.” “Ah, tidak papa, Pak. Saya maafkan, lagian itu tidak sengaja.”
“Sudah jelas, Sha? Ayo, pulang!” Iel menyambar dari balik badan Esha. Esha yang sedari tadi melihat gelagat sedih Pak Lukas, terkejut bukan main. “Jangan kagetin gitu dong, El,” pekiknya. “Aku udah selesai ni, lagian kamu juga selesai kan. Ayo, pulang!” Esha manggut-manggut. “Kalau gitu kalian saya ajak mencari angin dulu. Ayo!” “Rapatnya belum selesai, Pak.” Iel menunjuk aula dengan jari jempolnya. “Saya gak ikut yang ini, waktu rapat saya besok,” timpalnya. “Ya sudah, ayo!” Mereka bertimbang pandang dan hanya melenggut. “Bagaimanapun keadaannya, aku harus sama Esha biar Pak Lukas gak macem-macem lagi.”
Sebaru-barunya guru di sekolah, tapi tidak pernah akrab seinstan ini seperti Pak Lukas. Belum satu bulan penuh beradu kening, Pak Lukas sudah mengajak kami ke tempat seperti ini.
“Pak Lukas, terima kasih banyak sudah bungkusin kita KFC, ya. Ngomong-ngomong, waktu ulang tahun Iel ke-8, Iel pesen ayam KFC buat perayaan. Sampai sekarang pun juga gitu, Iel doyan banget sama yang beginian. Hehehe.” “Sha, kamu kok malah malu-maluin aku sih.” Iel menginjak sepatu pantofel hitam Esha yang baru kemarin malam Ia semir. “Hehehe, soalnya Iel lucu sih.” Esha cengengesan. Pak Lukas tersungging melihat tabiat mereka. “Mereka teman masa kecil yang awet, ya. Beruntung Iel punya teman seperti Esha,” batin Pak Lukas.
“Lagian kenapa Pak Lukas nyuruh orang fotoin?” Entah kenapa pertanyaan Iel yang terganjal pun akhirnya terpancar. Pak Lukas tersenyum kecil, “Karena saya bersama berlian cantik yang langka.” Iel membelalak. Esha sedari tadi tidak menghiraukan perbincangan mereka, dia ripuh mengelap sepatu dengan sapu tangannya.
“Ini pesanan nomor meja 4.” Lalu pramusaji berlenggak pergi menuju dapur. “Wah, pesenannya udah datang. Ayo, pulang nanti dicari orang tua kalian!” Mereka pun bangkit dari lendehan masing-masing. “Ayo!” sahut Esha senang seperti bocah ingusan yang dibelikan permen. “Tapi, berlian itu sudah saya lepas,” gumam Pak Lukas di dekat telinga Iel. Iel hanya mendengus kecil. “Baru pertama kali punya guru seperti ini,” batin Iel.
Cerpen Karangan: Felita Sukanti Blog / Facebook: TulisanTangan / Felita Sukanti