Di suatu hari ada anak bernama Raib berumur 12 tahun, dia adalah santri baru di sebuah pesantren sederhana di tengah perdesaan, seorang anak yang masih polos, belum terlalu tau tentang kehidupan di pesantren, dan belum memiliki teman di sana. Saat malam tiba Raib selalu terbayang wajah kedua orangtuanya di rumah, lalu ia menangis, menangis sendiri hingga tertidur lelap. Di pagi harinya setelah sholat subuh Raib bercermin ia menemukan matanya sembab karena tangisannya tadi malam, namun tidak seorangpun mengetahuinya.
Raib masih belum betah tinggal di pesantren tersebut karena dia masih belum memiliki teman dan masih belum terbiasa dengan kehidupan di pesantren. Hari ini jadwal pensantren adalah pengajian Abah yai, setiap santri wajib membawa kitab yang dibaca oleh Abah untuk santri baru, mereka disuruh membawa buku tulis dan pulpen karena mereka belum diberi kitab dari pesantren. Khusus untuk pengajian hari Senin ini tempatnya bukan di mushollah pesantren, tetapi bertempat di masjid desa. Semua santri harus berjalan menuju masjid tersebut, saat menuju masjid mereka dilarang berhenti di tengah jalan apalagi berbuat ulah di desa, mereka harus langsung menuju masjid, kalau ketahuan santri yang melanggar akan dikenakan hukuman dari pengurus pesantren.
Sesampainya di masjid semua santri mengambil wudlu lalu masuk ke dalam masjid, disana tidak hanya santri dari pesantren Abah saja yang mengaji tapi juga beberapa warga desa dan santri dari pesantren sebelah. Di dalam masjid terdengar ramai sekali tiba-tiba, seorang anak duduk di sebelahku dan menanyakan sesuatu “Apakah kamu bisa menulis pegon?”. “Ehh?” Seruku kaget. “Apakah kamu bisa nulis pegon?” Dia mengulang petanyaannya lagi. “Pegon apa itu?” Balasku tidak mengerti “Itu loh tulisan arab yang tanpa harakat.” Jawab anak itu “Kalau kamu enggak tau apa itu pegon berarti kamu belum bisa nulis pegon.” Sahut anak itu lagi “Iya aku belum bisa nulis pegon.” Jawabku “Kalau begitu kamu harus menulis ucapan Abah yai, bukan semua tetapi setiap perkataan yang menurutmu penting. Oke sampai nanti yah pengajiannya mau dimulai.” Jawab anak itu setelah itu meninggalkanku “Anak itu dia sekamar denganku tapi aku tidak tahu namanya.” Gumamku dalam hati.
Tiba-tiba semua yang ada di dalam masjid hening, ternyata Abah sudah datang pengajian akan segera dimulai. Semua santri membuka kitab dan buku masing-masing bersiap untuk mendengar Raib melakukan apa yang dikatakan anak tadi, yaitu menulis setiap perkataan Abah yang menurutnya penting. Abah membaca kitabnya dengan keras dan lantang sehingga setiap orang di dalam masjid mendengarnya.
Pengajian selesai sebelum adzan dzuhur dilantunkan, semua orang masih diam di tempat ada juga beberapa yang mencium tangan Abah saat Abah akan keluar dari masjid. Beberapa santri berhamburan keluar masjid setelah sholat dzuhur dilaksanakan, raib keluar dari masjid setelah berdoa dan membaca wirid, dia keluar dari masjid dan menuju tempat sandalnya diletakkan. Seketika dia kaget sandalnya tidak berada di tempatnya lagi, dia mencari ke sekeliling halaman masjid tetapi tetap tidak menemukannya juga.
Beberapa saat kemudian seorang anak menyapanya “Hei, apa yang kamu lakukan?” Dia adalah anak yang mengajak Raib ngobrol di dalam masjid tadi sebelum pengajian dimulai. “Aku sedang mencari sandalku.” Jawab Raib “Memangnya tadi kau taruh dimana sandal itu?” Tanya anak itu lagi. “Tadi aku taruh di sini.” Jawab Raib menunjuk tempatnya menaruh sandal. “Mungkin sudah dibawah orang lain.” “Berarti sandalku enggak bakal balik dong?” “Yah tergantung kalo jodoh yah sandalmu pasti bakal balik lagi.” “Padahal aku cuman punya satu pasang.” “Ehh, kita belum kenalan loh. Namaku Bara.” Sahutnya menglurkan tangan kepadaku. “Namaku Raib” Jawabku. “Ayo kita balik ke pesantren aku punya dua pasang sandal di kamar, kamu bisa ambil satu.” “Ehh? Tapi kan kita baru kenal, kenapa kamu baik sama aku?” “Raib… Raib… seorang santri itu harus berani berbagi, lagian kamu enggak denger tadi kata Abah kalo berbagi itu indah. “ Jawab Bara dengan ramah “Bar, kamu enggak pake sandal?” Tanya Raib “Aku emang jarang pake sandal soalnya kata orang dulu kalo jalan tanpa alas kaki itu lebih sehat. Ayok kita balik, nanti malah dicariin sama ustadz!” Jawab bara cepat lalu mengajak Raib balik ke pesantren.
Pesantren tempat Raib dan Bara tinggal adalah pesantren khusus laki-laki yang bernama Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Disana setiap santrinya tidak hanya diajarkan agama saja tetapi juga beberapa ilmu yang tidak bisa mereka dapatkan di sekolah formal seperti konsep kemandirian dan budi pekerti menurut tatanan islam. Untuk sekolah formalnya pesantren tidak memiliki fasilitas itu tetapi, ada beberapa sekolah swasta di desa. Di pesantren ini juga mengajarkan bagamana cara mencari uang untuk santri yang ingin membiayai kehidupannya ataupun sekedar utuk menambah uang saku, ada beberapa jenis pekerjaan di pesantren seperti mengurus ternak, mengurus kebun, atau menjaga warung milik Abah yai, dan masih ada beberapa lagi.
Setelah Raib dan Bara sampai di pesantren mereka langsung mencuci kaki lalu pergi masuk ke dalam kamar. Saat di dalam kamar tidak sengaja Raib menoleh ke rak sepatu di belakang pintu kamar dia menemukan sandalnya berada di rak tersebut. “Bar, sepertinya itu sandalku deh yang ada di rak sepatu itu.” Kata Raib kepada Bara “Yang mana sih?” Sahut Bara. “Itu loh sandal karet yang warnanya biru.” “Ohh itu, berarti emang dipake sama anak pesantren sini.” “Emm… siapa yang yang bawa sandalku yah?” tanya Raib melihat ke sekitar. “Udalah enggak usah dipikir lagi, nih spidol kamu gambarin atau kasih nama aja sandalnya biar nggak ketuker” Ucap Bara lalu melemparkan spidol yang dipegangnya Setelah menangkap spidol yang dilempar oleh Bara, Raib langsung mengambil sandalnya dia menggambar huruf “R” di kedua sandalnya.
“Hei kalian sedang apa?” Tegur seorang anak. “Ehh Aim ini, Raib sedang menamai sandalnya.” Sahut Bara. “R? Kalo kamu gambar pake spidol bentar lagi juga hilang tuh gambar.” Kata Aim memberitahu. “Gitu yah? Terus ini sandalnya diapain? Tanya Bara. “Diukir aja.” Jawab Aim. “Emang bisa?” Sahut Bara dan Raib bersamaan . “Apa sih yang enggak bisa di dunia ini, bandung bondowoso bangun candi dalam satu malam aja bisa.” Jawab Aim. “Itu kan dibantu sama jin.” Sahut Raib sedikit sebal. “Hahaha… iya iyah sini aku bantuin” Jawab Aim menawarkan bantuan.
Sebentar saja mereka bertiga langsung akrab padahal sebelumnya Raib tidak memiliki 1 temanpun sekarang, Kalau malam tiba Raib tidak perlu menangis lagi karena terbayang wajah orangtuanya karena sekarang dia sudah punya teman dan tidak sendirian lagi.
Aim membantu Raib mengukir sandalnya, karena hanya Aim yang tau caranya hanya dia yang melakukan pengukiran dan memberitahu caranya pada kedua temannya itu. “Pertama-tama kita gambar dulu tapi, karena Raib tadi udah gambar huruf R di kedua sandalnya, jadi tinggal diukir aja pakek cutter, Bar kamu punya cutter kan?” Tanya Aim menoleh ke Bara. “Punya di loker, bentar aku ambilin.” Sahut Bara langsung mengambil cutternya.
“Ini nih, awas tajem mata cutternya.” Kata Bara. “Iya iya enggak bakal kena tangan juga kok, sekarang tinggal potong dikit bagian atas sandalnya.” Jelas Aim yang sedang sibuk sendiri memotong bagian atas sandal
“Nah udah jadi, mirip ukiran kan?” Tanya Aim kepada kedua temannya “Ehh? Bener bagus banget, kamu udah sering buat kayak gitu? “ Raib balik bertanya ke Aim “Enggak sering sih jarang banget malahan.” Jawab Aim. “Yaudah deh kan udah selesai tuh, mandi yuk habis itu sholat ashar!” Ajak Bara. “Ayuk!” Seru kedua temannya.
Setelah itu mereka bertiga mengambil alat mandi dan langsung pergi ke kamar mandi, ternyata disana sudah banyak santri yang sudah antri. Dalam kehidupan pesantren antri adalah sebuah kebiasaan untuk para santri seperti kalau harus makan harus antri ambil nasinya dan kalau mandi harus antri dulu karena santrinya lebih banyak dari pada kamar mandinya.
Setelah mereka antri begitu lama tiba-tiba ada seorang anak yang langsung masuk saja ke kamar mandi tanpa mengantri, karena sudah tidak mengantri lama dan ada yang memotong antriannya Aim langsung menegur anak itu “Hei! Antri dong kamu enggak liat dari tadi aku sama temen temenku berdiri di sini?” “Siapa suruh dari tadi diem aja enggak langsung masuk.” Jawab anak itu. “Ini juga mau masuk!” Seru Aim ke anak itu. “Udah Aim biarin aja, kalo kamu ladeni malah enggak keluar-keluar anaknya.” Potong Raib. “Betul tuh kata Raib.” Sahut Bara. “Tapi dia udah motong antrian kita.” Seru Aim. “Yaudahlah biarin.” Sahut Raib. “Iya deh iyah, dasar Ali main pontong antrian aja .” Gumam Aim sedikit sebal.
Setelah beberapaa saat Raib dan Kedua temannya menunggu akhirnya anak tadi keluar dari kamar mandi dengan wajah tidak berdosa Aim terus memandanginya dengan tatapan sinis, Setelah itu Aim masuk ke kamar mandi duluan. Tinggal Bara dan Raib saja yang berada di luar kamar mandi
“Udah hampir sore nih, bentar lagi waktunya nganter susu ke toko roti dekat masjid desa.” Kata Bara. “Loh kamu ikut kerja sampingan di peternakan pesantren?” Tanya Raib. “Iya, udah hampir 2 minggu ini aku antar botol susu ke toko roti itu .” Jawab Bara. “Wah… ikut dong.” Sahut Raib dengan mata yang berbinar-binar. “Boleh aja.” Jawab Bara. “Aku juga ikut!” Seru Aim yang masih di dalam kamar mandi. “Iya iya bawel cepetan mandinya udah mulai sore nih !” Seru balik dari Bara.
Setelah Aim keluar dari kamar mandi Bara dan Raib bergantian untuk mandi, selesai mandi mereka langsung sholat ashar berjamaah. Setelah sholat mereka langsung mengambil botol-botol yang berisi susu di peternakan lalu mereka pergi mengantarnya ke toko roti, itu lah kegiatan mereka di sore hari selama sekolah formal masih libur.
Hari senin kemudian Raib terlambat berangkat ke masjid untuk pengajian Abah yai karena dia mencuci pakaian yang sudah menumpuk banyak. Setelah bersiap siap Raib langsung membawa kitab untuk pengajian kali ini karena dia sudah mendapat kitab dan sudah diajari menulis pegon dia tidak perlu membawa buku tulis lagi. Saat Raib keluar dari kamar dia melihat ali mondar mandir mencari sesuatu, Raib terus melihatnya, Ali berjalan sedikit pincang lalu Raib mendekatinya dan berkata “Telapak kaki kamu luka yah?” “Ehh?” Seru Ali karena kaget dengan kedatangan Raib “Ini pake sandalku aja!” Seru Raib menyuruh ali memakai sandalnya “Tapi kan…” “Udah enggak usah tapi-tapian berntar lagi pengajiannya dimulai loh.” “Terus kamu ?” “Enggak usah, kakiku enggak luka kok lagian, jalan tanpa alas kaki itu lebih sehat kata temenku” Jawab raib langsung menyeret Ali menuju masjid desa “Maaf yah buat senin lalu!” Kata Ali pelan “Udah nggak usah dipikirin.” Jawab Raib
Setelah sampai di masjid mereka langsung berwudlu dan masuk ke dalam masjid mencari Bara dan Aim lalu mereka duduk bersebelahan. Mereka sampai di masjid saat pengajiannya belum dimulai jadi mereka belum terlambat untuk ikut pengajian tetapi, mereka terlambat mengikuti dzikir bersama
“Kamu dari mana aja? Terus kenapa kamu ke sini sama tuh anak” Tanya Aim kepada Raib. Raib menjelaskan kenapa sampai dia terlambat datang ke masjid dan kenapa dia bisa bareng sama Ali.
“Apa? kamu pinjemin sandal ke anak itu terus kamu enggak pakek alas kaki!” Seru Aim. “Udalah, berbagi itu indah tau, nabi Muhammad aja nyuapin orang yang ngehina hina beliau, masa kita enggak bisa maafin kesalahannya Ali yang cuman gitu aja?” Ujar Raib kepada Aim sedangkan Bara hanya tersenyum melihat temannya berdebat dan Ali hanya mendengarkan saja tanpa bisa ikut bicara. “Udah udah Abah udah dateng tuh cepet buka kitabnya!” Perintah Bara kepada teman temannya.
Mereka mengikuti pengajian dengan tenang, menulis setiap ucapan Abah yai, dan memaknai kitab mereka. Setelah pengajian selesai seperti biasa santri akan kembali ke pondok setelah sholat dzuhur, raib dan teman-temannya selalu keluar akhir karena mengikuti pembacaan wirid. Saat Raib dan teman-temanya keluar Raib melihat ada yang membawa sandalnya lalu dia mendekati anak itu dan menepuk pundaknya, saat anak itu menoleh dia melihat Raib, Bara, Aim, dan Ali tersenyum.
Cerpen Karangan: Kancill Blog / Facebook: Mrkuroashi.blogspot / Raibman