Kalau kamu tanya hari apa yang paling menyenangkan, aku akan bilang itu hari minggu. Hari dimana aku terbebas dari tugas tugas, keluar bersama teman teman, dan yang terpenting adalah waktuku dengan keluarga. Tapi tidak untuk sekarang. Rasa sukaku pada hari minggu kini berubah menjadi kebencian. Ya, aku benci hari minggu. Hari dimana aku kehilangan orang tersayang, kehilangan semangat hidup, dan semuanya. Mengapa tuhan? Aku belum sempat membanggakan mereka. Aku masih butuh kasih sayang mereka. Aku dan abangku dipaksa berjalan sendiri, tanpa pelukan orangtua. Tapi aku yakin, mereka pasti masih mengharapkan kesuksesanku. Jadi, aku harus sukses untuk mereka.
“Lily, makan gih!” suara bang Fahmi dari balik pintu kamarku. “Nggak deh, abang duluan aja” jawabku. Tanpa kusuruh, bang Fahmi tiba tiba masuk kamarku dengan sepiring makanan. Tak bisa kusembunyikan lagi mata sembabku. “Seharian gak makan nanti sakit tau” katanya. Aku hanya menggeleng. Seminggu sejak kepergian ayah ibuku, aku memang jarang makan sesuatu. “Kalo kamu kek gini terus, ayah sama ibuk pasti sedih. Mereka pasti gak tenang karna kamu masih belum bangkit. Kamu gak kesian?” Ucapnya sambil duduk disampingku. Pandangannya tertuju pada jendela yang masih terbuka. “Taruh aja, ntar kumakan” jawabku. Kak Fahmi tersenyum, lalu meletakkan makanan itu di meja. “Ntar jangan begadang ya” lanjutnya sambil membuka pintu hendak keluar dari kamar. “Abang mau kemana?” “Ada urusan bentar. Kamu jangan keluar keluar rumah, udah malem” katanya menenangkan. Bang Fahmi pun pergi setelah aku mengangguk pelan.
Aku masih dengan posisiku, bersandar pada pinggiran ranjang. Hening. Hanya suara jam dinding yang kian berdetak setiap detiknya. Aku hanyut dalam sepi, dan tanpa sadar terlelap dalam mimpi yang indah.
Aku memeluk ibu, ibu yang selama ini merawatku. 15 tahun sudah beliau menjaga kasih sayangnya untukku. Yang kurasakan hanyalah ketenangan. Kehangatan itu, hanya ibu yang mampu memberikannya. Hingga semuanya berakhir ketika aku berkata “Ibu, andai kau bisa lebih lama merawatku”. “Tidak nak, kamu jangan bergantung pada ibu. Suatu saat nanti kamu pasti akan melewati masa yang harus kamu jalani sendiri. Tanpa ibu, ayah, abangmu, atau siapapun. Belajarlah nak. Kamu harus jadi wanita yang kuat. Ibu yakin kamu bisa!” Katanya disertai pelukan yang makin erat. “Ibu…” teriakku saat itu. Kemana ibu? Apa itu cuma mimpi? Ternyata saat ini aku hanya sendirian di kamar.
“Kenapa Li” bang Fahmi terlihat panik saat masuk kamarku. Mungkin karena mendengar teriakanku tadi. “Gapapa” jawabku tertunduk. Hampir menangis, tapi aku ingat kata kata ibu. Aku harus jadi orang yang kuat.
Setelah agak tenang, aku melangkahkan kaki. Menuju kamar mandi untuk menyegarkan pikiranku. Setelah sarapan bersama bang Fahmi, aku pamit pergi ke taman yang ada di belakang rumah. Taman ini, adalah tempat dimana ibu memelukku dan memberikan pesan pesan berharga yang harus kujaga. Meski hanya lewat mimpi, aku yakin kalau itu adalah keinginan ibu. Menjadikanku orang yang mandiri dan kuat. Aku harus bersyukur, setidaknya masih ada bang Fahmi yang masih sanggup menjagaku.
Di hari minggu kali ini, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan bangkit, menjadi wanita kuat. Aku pikir, 15 tahun yang ayah ibu berikan, cukup untuk bekalku menempuh jalan hidup baru. Dan juga, hari minggu yang memberi banyak pelajaran untukku. Bahwa, tak selamanya hidup ini penuh kesenangan. Ada kalanya kita mengalami beban hidup, yang harus kita selesaikan sendiri.
Cerpen Karangan: Lia Warokah Blog / Facebook: Rozi Hy, aku masih penulis amatiran nih. Jadi masih perlu banyak belajar. Oh ya, follow juga IG ku ya, @Lia_rk28. Makasih buat yang udah baca sampai titik terakhir pun dibaca. Namaku Lia, kelahiran tahun 2006.