Para siswa di kelas Ardan terburu-buru kembali ke tempat duduk masing-masing begitu bel masuk berdering lantang. Biasanya, mereka akan tetap mengobrol dengan riuh hingga guru periode pertama tiba. Sayangnya, periode pertama untuk kelas mereka pagi itu adalah pelajaran Biologi yang diajarkan oleh Pak Darmawan yang terkenal killer alias terlalu tegas. Tidak ada satupun siswa di sekolah tersebut yang berani bertingkah di hadapannya. Bahkan Sena, siswa paling nakal di seluruh angkatan kelas XI-MIPA, selalu membungkuk hormat setiap kali ia berpapasan dengan beliau.
Seluruh siswa telah bersiap dengan modul Biologi 500 halaman di mejanya masing-masing ketika mereka mendengar derap langkah berat Pak Darmawan kian mendekat. Begitu beliau masuk, semuanya terheran-heran ketika melihat seorang siswi berambut pendek sebahu dan berkacamata turut masuk ke dalam kelas. Ia berjalan dengan tubuh tegap dan langkah yang anggun, lengkap dengan seulas senyum sopan yang sangat kontras dengan wajah kaku Pak Darmawan. Kulitnya yang seputih susu menonjolkan warna bibir dan pipinya yang merona merah alami. Singkatnya, gadis baru itu cantik. Setidaknya, begitulah kesan pertama Ardan terhadap gadis tersebut.
“Hari ini kelas kalian kedatangan siswi pindahan dari Jakarta,” ucap suara berat dan datar Pak Darmawan memecah keheningan yang tercipta. “Silahkan perkenalkan diri kamu secara singkat.”
Gadis itu mengangguk hormat pada beliau sebelum berkata, “Selamat pagi teman-teman semua. Nama saya Lilyana Wikrama, tapi panggil saja dengan panggilan Lily. Saya pindah ke kota ini karena pekerjaan orangtua saya. Semoga kita semua bisa akrab satu sama lain.” Suaranya terdengar sangat halus dan tenang, seperti suara nyanyian bidadari.
“Baik, silahkan duduk di kursi yang kosong. Buka modul kalian di bab empat mengenai sistem peredaran darah. Ada yang bisa jelaskan secara singkat namun lengkap bagaimana alur peredaran darah manusia?” tanya Pak Darmawan begitu gadis tersebut selesai. Sepasang matanya yang tajam bagaikan elang menyapu seluruh isi kelas, tak terkecuali Lily yang baru saja duduk tepat di depan Ardan. Beberapa siswa yang telah belajar sebelumnya mulai mengangkat tangan. Tanpa diduga-duga, beliau menyebutkan nama Lily. Lebih tidak terduga lagi, Lily menjawabnya dengan sangat lancar. Ia bahkan tidak kelihatan terkejut atau tidak siap.
Demikianlah, pelajaran pagi itu dimulai.
Setelah beberapa hari berlalu, Ardan menyadari bahwa Lily tidak hanya pintar dalam pelajaran, namun juga sangat lihai dalam bersosialisasi. Gadis itu telah berteman dengan nyaris seluruh siswa di dalam dan luar kelas tersebut, berikut para pekerja dan orang-orang di sekitar sekolah. Tentu, mereka berdua telah beberapa kali pula mengobrol mengingat posisi tempat duduk mereka yang dekat, namun pemuda itu ingin mengenalnya lebih lagi. Mengapa? Ia sendiri tidak tahu. Tidak biasanya ia tertarik untuk berteman dengan orang baru.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ardan ditempatkan dalam kelompok yang sama dengan Lily dalam tugas sejarah. Ketika mereka berdiskusi bersama, Ardan diam-diam mencatat satu lagi keunggulan gadis tersebut: pandai mengorganisir orang lain.
“Apa ada yang punya ide lain untuk presentasi kita?” tanya gadis tersebut kepada Ardan dan 3 anggota kelompok lainnya setelah mereka selesai membagi tugas masing-masing. “Dariku sendiri, mungkin kita bisa memasukkan video pendek dari kasus terkait supaya teman-teman lain bisa tetap fokus kepada kita. Menurut kalian bagaimana?” “Ide bagus. Biar aku yang carikan videonya,” sahut Ardan menawarkan. “Kamu bisa jelaskan secara rinci video seperti apa yang kamu perlukan.” Lily tersenyum mendengar jawaban pemuda berwajah tampan tersebut. “Terima kasih, Dan. Nah, bagaimana dengan kalian? Apa ada lagi yang ingin ditambahkan?” Ketiga anggota yang lain itu menggeleng sebagai jawaban. “Kalau begitu, aku akan mengerjakan presentasinya. Tolong kirimkan bagian kalian masing-masing sebelum hari Rabu nanti. Oke?”
Setelah semuanya setuju dan kembali ke mejanya masing-masing untuk mempersiapkan pelajaran berikutnya, Lily mencabut selembar kertas dari buku catatannya dan menuliskan kriteria video yang dia perlukan. Tak lupa, ia mencantumkan nomor ponselnya agar Ardan tidak kesulitan untuk mencari kontaknya. “Ardan,” panggilnya seraya menepuk pundak pemuda di depannya yang langsung berbalik, “Ini rinciannya dan nomorku. Kamu bisa mengirimkannya bersamaan dengan bagianmu, jadi tidak usah tergesa-gesa.”
Ardan mengambil kertas tersebut dengan seulas senyum ramah. “Terima kasih, Lily,” ucapnya sebelum membaca isi kertas tersebut. Ia terpaku pada gambar Baymax dari film Big Hero 6 di sudut kanan bawah kertas. Itu adalah film favoritnya dan Eri, mantan kekasihnya dulu.
“Kamu suka nonton film Big Hero 6 juga?” tanyanya secara langsung. “Iya. Aku dan sahabatku sering sekali menontonnya dulu. Kami sangat suka karakter Baymax, sampai-sampai kami selalu membeli barang apapun yang bergambar Baymax,” Lily menjawab dengan nada riang. “Aku juga menyukainya,” Ardan memberi tahu, “Tapi bukankah menurutmu cerita di film itu agak sedih?” Lily menopang dagunya dengan sebelah tangan, kebiasaannya ketika ia sedang berpikir. “Justru pesan di balik cerita sedih itulah yang kusuka,” balasnya dengan seulas senyum manis. “Ketika seseorang yang kita sayangi sudah tiada, memorinya akan tetap hidup di dalam sesuatu, mungkin dalam diri kita sendiri. Seperti memori akan Tadashi yang selamanya akan hidup di dalam Baymax dan di dalam Hiro sendiri. Bukankah itu pesan yang sangat menyentuh?”
Ardan terkejut mendengar ucapan Lily. Biasanya, orang-orang akan menjawab bahwa mereka menyukai film tersebut karena karakter Baymax yang lucu dan polos. Rasa tertariknya pada Lily pun semakin meningkat. Gadis manis berkacamata itu memiliki pemikiran yang lebih luas dari remaja seusianya.
Sejak mereka tergabung dalam kelompok yang sama, keduanya menjadi lebih sering mengobrol. Ardan pun rajin mengontak gadis itu lewat aplikasi chatting dan sering mengajak Lily untuk makan siang bersama. Semakin lama mengenalnya, Ardan semakin menyukainya. Lily seolah-olah merupakan cerminan dirinya. Mereka memiliki banyak persamaan selain film favorit yang sama. Mereka sama-sama suka makan di kafe dekat alun-alun kota, bahkan memiliki menu favorit yang sama: nasi goreng tuna yang ditambah saus mayonnaise, rumput laut kering dan ekstra merica. Keduanya menyukai musik kalimba, senang menonton film fantasi-sains, dan hobi bermain bulutangkis di akhir pekan.
Suatu hari, Ardan meminta Lily menjadi kekasihnya, dan gadis itu menerimanya dengan senang hati. Hubungan mereka pun didukung oleh teman-teman sekelas mereka yang telah menyadari adanya interaksi spesial di antara keduanya. Segalanya terasa begitu indah bagi Ardan.
“Lily,” panggil Ardan ketika mereka sedang makan siang di kafe langganan mereka. Lily yang sedang menyantap nasi gorengnya dengan lahap segera menoleh kepadanya. “Ya?” sahutnya dengan mulut penuh. “Apa kamu mau datang ke rumahku akhir pekan ini? Orangtuaku ingin bertemu denganmu,” tanya Ardan seraya mengusap ujung bibir Lily dengan sehelai tisu. “Terima kasih,” ucap gadis itu setelah mulutnya kosong. “Tentu saja aku mau. Semoga orangtuamu menyukaiku,” jawabnya dengan senyum cerah. Ardan tertawa kecil dan dengan lembut menyelipkan rambut Lily ke belakang telinganya. “Untuk tidak menyukaimu itu hampir mustahil. Memangnya apa yang bisa membuat orang-orang membencimu?” ujar Ardan sungguh-sungguh. “Entahlah, bisa saja aku ini sebenarnya pembunuh berdarah dingin yang ingin membalaskan dendamnya,” sahut Lily seraya meniru muka seram yang malah membuat Ardan tertawa geli. Lily pun ikut tertawa dan menghabiskan makanannya.
Hari Sabtu, Ardan menjemput Lily di rumahnya tepat pada pukul 10 pagi. Rumah mereka terletak cukup dekat sehingga perjalanan kembali ke rumah Ardan tidak memakan waktu lama. Keluarga Ardan merupakan keluarga yang cukup berada, sehingga rumahnya pun tergolong besar dan mewah. Setelah bersaliman dengan orangtua Ardan dan bercakap-cakap sebentar, Ardan mengajak Lily ke kamarnya sembari menunggu makan siang tersedia. Kamar itu berada di lantai dua rumah tersebut. Ukurannya cukup luas dengan sebuah balkon kecil yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Untuk seorang pemuda seperti Ardan, kamar itu terlihat sangat rapi. Tempat tidurnya sangat apik, meja belajarnya bersih, dan barang di rak-raknya sangat tertata.
Lily memandangi foto-foto yang dipajang Ardan di atas salah satu rak. Ada foto Ardan dengan seorang gadis manis berponi dan rambut yang dipotong pendek, nyaris seperti model rambut laki-laki. Ardan dalam foto tersebut memiliki rambut yang malah lebih panjang dari gadis di sampingnya. Ia berpose layaknya model pakaian pria seraya bersandar pada sebatang pohon besar. Pemuda itu terlihat begitu tampan. Gadis itu sendiri bersandar di bahu Ardan yang terlihat gagah.
“Aku tidak tahu dulunya kamu itu gondrong,” komentar Lily dengan tawa geli. Ardan segera menoleh dan mendekati rak tersebut, turut memandangi foto tersebut. “Yah, sejak masuk SMA, aku harus mematuhi peraturan sekolah dan Pak Darmawan,” katanya. “Siapa gadis itu? Ia terlihat manis sekali,” Lily menunjuk gadis di samping Ardan. “Namanya Eri,” jawab pemuda itu yang tanpa sadar mengelus wajah manis yang tersenyum tipis di balik kaca figura. “Dia adalah mantan pacarku semasa SMP.” “Oya? Kenapa kamu tidak pernah cerita? Apa dia orang yang menyenangkan?”
Ardan mengajak Lily untuk duduk di atas tempat tidur sebelum mulai bercerita. “Eri adalah orang yang paling menyenangkan. Dia sangat suka tertawa, bahkan terhadap hal-hal paling sepele sekalipun. Dia juga suka sekali film Big Hero 6, bahkan pernah berkata ingin membeli boneka Baymax ukuran ekstra besar agar tidak kesepian ketika tertidur di malam hari,” tutur Ardan dengan suara yang terdengar sedih. Lily menggenggam tangan Ardan dan meremasnya pelan. “Apa yang terjadi padanya?”
Pemuda itu terdiam cukup lama. Ia tidak tahu apakah ia harus benar-benar menceritakan segalanya. Ia takut pandangan Lily terhadap dirinya akan berubah. Namun di samping semua itu, dia ingin sekali menceritakannya kepada seseorang agar beban di hatinya terangkat. Kejadian itu telah menghantuinya selama lebih dari setahun. Ardan pun menghela nafas panjang.
“Aku membunuhnya. Aku membunuh Eri,” Ardan mengaku dengan senyum sedih yang dipaksakan. Suaranya terdengar begitu berat dan pahit. Air mata mulai memenuhi matanya, memburamkan pandangan pemuda itu. “Hari itu, kami berjalan-jalan ke hutan di ujung kota yang sepi. Eri suka sekali berpetualang di alam liar dan dialah yang mengajakku ke sana. Kami diantar oleh Papa Eri, tapi beliau berhenti di tengah perjalanan karena asmanya kambuh. Akhirnya, kami hanya melanjutkan berdua karena Eri yang masih ingin menjelajahi hutan. Papa Eri mempercayakan Eri padaku dan aku berjanji akan menjaganya.”
Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Di tengah jalan, kami tidak sengaja berpapasan dengan seekor ular besar. Eri segera menyuruhku untuk berjalan mundur sepelan mungkin, namun ia malah tersandung dan jatuh. Aku tidak sempat menariknya ketika ular itu menggigitnya dan melilit tubuhnya. Eri menangis keras memintaku menolongnya, tapi kami tidak membawa senjata apapun. Aku segera berusaha memukul-mukul ular itu menggunakan sebuah batu besar, tapi sepertinya tidak berdampak apa-apa. Aku baru ingat kalau aku membawa peluit yang harus kami tiup jika kami dalam bahaya atau tersesat, jadi aku buru-buru meniupnya sekencang mungkin. Sayang, tim penyelamat baru tiba setengah jam kemudian. Saat itu sudah sangat terlambat. Eri meninggal akibat pendarahan internal setelah tulang rusuknya yang patah menusuk jantung dan paru-parunya…”
Ardan menangis terisak-isak hingga seluruh tubuhnya bergetar. Ketika pemuda itu semakin tercekat setelah menahan isak tangis, Lily segera mengambil botol minumnya dan meminta pacarnya itu meminumnya untuk menenangkan diri. Ardan meneguk setengah isi botol itu tanpa pikir panjang. “Kalau waktu itu aku lebih berhati-hati menjaganya, atau… atau mungkin jika saja aku membawa senjata… Eri tidak akan meninggal…” tambahnya dengan suara yang serak.
Lily menepuk-nepuk pundak Ardan, berusaha menenangkannya. Anehnya, ia hanya tersenyum tenang. “Aku turut berduka, Dan,” ucapnya selembut mungkin, “Tapi… kalau aku boleh bertanya, apakah kejadiannya memang seperti itu?”
Pemuda yang semula berurai air mata itu langsung menegakkan kepalanya. Kedua matanya mengerjap-ngerjap dengan cepat. Apa tadi ia salah dengar? “Apa maksudmu?” tanya Ardan dengan sikap defensif.
Senyum lembut yang semula terpajang di bibir Lily kian melebar menjadi seringai sinis. Ia bangkit berdiri dan mengambil tas selempangnya yang teronggok begitu saja di sisi meja belajar, kemudian memasukkan botol minumnya ke dalam sana. “Seandainya kamu tidak berbohong, kami mungkin akan mengampunimu, Ardan. Sayang sekali ya,” Suara Lily terdengar begitu sinis dan pahit, sangat lain biasanya. “Apa maksudmu kami?”
Dengan cepat, Lily meraih kerah baju Ardan dan menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Wajah cantik gadis itu terlihat begitu marah, sedih, dan kecewa. “Tahukah kamu apa yang kualami hari itu?” Nada suaranya kian meninggi. “Eri tiba-tiba mendatangiku dalam wujud yang mengerikan. Ia menangis kesakitan memintaku menolongnya untuk bebas, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Eri tidak terjatuh begitu saja hari itu, Ardan, tapi kamulah yang menjadikannya tameng agar ular itu tidak memangsamu!”
Kali ini, giliran Lily yang mulai mengeluarkan air mata kemarahannya. Ardan pucat pasi begitu mendengar semua itu. “M-mustahil… dia sudah mati! Dia sudah mati! Sosok yang menandatangimu itu palsu!” sergahnya dengan gusar. Ditepisnya tangan Lily yang masih mencengkram kerah bajunya hingga terlepas.
“Eri adalah sahabat baikku, Ardan. Kami sudah berteman sejak kami lahir di dunia ini. Kami memiliki cita-cita untuk tumbuh bersama, menikah, memiliki anak, dan meninggal di usia senja bersama-sama. Kami memiliki mimpi yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, kemudian datanglah laki-laki tidak tahu diri sepertimu yang merenggut segalanya begitu saja!” cecar Lily hingga ia terengah-engah kehabisan nafas. Terluap sudah seluruh emosi yang ditahannya selama ini. “Berbulan-bulan kuhabiskan untuk mendekatimu agar kamu menceritakan kejadian itu padaku agar aku dapat membalaskan semua perbuatanmu. Tahukah kamu betapa muak aku melihatmu hidup dan tertawa seolah-olah kamu ini tidak berdosa? Betapa muak aku harus berpura-pura menyukaimu?”
“Jadi perempuan itu yang menyuruhmu melakukan semua permainan balas dendam yang konyol ini?” tanya Ardan dengan nada mengejek.
Melihatnya tidak merasa bersalah sama sekali, tekad Lily menjadi semakin bulat. Ia sangat marah, namun ia kembali tersenyum manis. “Eri tidak pernah menaruh dendam padamu. Ia benar-benar menyukaimu walau harus mati dengan sangat menyakitkan karena keegoisanmu. Tapi tidak masalah. Aku akan dengan senang hati mengotori tanganku untuk seseorang yang dengan seenaknya merenggut harapan orang lain. Sampai jumpa di neraka, Ardan,” desisnya dengan sorot mata tajam.
Saat itu juga, Ardan merasa begitu kesakitan di sekujur tubuhnya hingga ia merasa tubuhnya dirobek-robek dari dalam. Matanya membelalak lebar, sementara mulutnya terbuka. Ia ingin berteriak, namun tidak ada suara yang keluar. “Kamu tidak seharusnya menerima minuman dari orang asing, tapi kamu juga harus merasa terhormat, Ardan. Mencari racun ular bukanlah hal yang mudah,” Lily tertawa sinis. Ia berjalan ke arah balkon dan melompat ke sebatang pohon besar yang berada di samping balkon tersebut. Dengan lincah, ia mulai menuruni pohon tersebut dan melarikan diri menuju rumahnya.
Setibanya di rumah, Lily langsung berderap ke kamarnya dan memandangi foto sepasang gadis yang tersenyum cerah. Mereka adalah Lily dan Eri ketika kelas 2 SMP. Itulah foto terakhir mereka. Eri pindah ke kota ini ketika libur kenaikan kelas. Di sinilah ia bertemu Ardan. Lily tersenyum mengingat cerita-cerita Eri di telepon mengenai teman sekelasnya yang tampan dan sangat baik hati bernama Ardan. Ia senang kehidupan Eri di kota ini terdengar begitu bahagia, walau sempat menasehatinya untuk tidak berpacaran sebelum keduanya siap. Ketika Eri menceritakan bagaimana Ardan membalas perasaannya, Lily tidak berkomentar apa-apa selain ucapan selamat.
“Apa kamu membunuhnya?” Sebuah suara kecil menggema di kepala Lily. Lily menutup matanya, membayangkan wajah sang pemilik suara yang begitu dirindukannya. “Kalau kita beruntung, dia akan mati sebentar lagi,” jawabnya seraya menghela nafas pendek. “Jika tidak, keluarganya akan menemukannya dalam keadaan sekarat, membawanya ke rumah sakit, dan dia akan segera diberi antitoksin bisa ular.” “Bagaimana kalau mereka melaporkanmu ke polisi?” tanya suara itu dengan nada khawatir. “Lily, walau aku sudah tiada, jangan menyia-nyiakan hidupmu sendiri.”
Air mata mulai menggenangi pelupuk Lily ketika ia membuka matanya. Semakin lama semakin berat, hingga akhirnya mengalir di atas pipinya. “Hidupku tidak sama lagi sejak kamu pergi, Eri,” bisiknya dengan suara yang bergetar. Perlahan-lahan, tangannya meraih botol minum di dalam tas. Diteguknya seluruh isi yang tersisa dalam botol itu dengan cepat.
“Lily…?”
Lily menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidurnya sendiri dan kembali menutup mata, merasakan bagaimana perlahan-lahan, rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya. Namun, ia tersenyum. “Eri, kita akan bertemu lagi setelah ini. Aku mungkin tidak bisa merasakan bagaimana tubuhku diremukkan oleh makhluk yang membunuhmu, tapi aku masih bisa merasakan sakitnya. Kamu ingat bukan? Janji kita di hari itu, sebelum kamu pergi ke kota ini…” suaranya kian melemah seiring dengan detak jantungnya yang melambat.
“Tapi aku tidak ingin kamu merasakannya! Lily, aku—” “Suka dan duka akan kita tanggung bersama,” potong Lily dengan lirih, “Aku rindu sekali padamu, Eri…”
Sebuah tangan yang hangat memaksa Lily untuk membuka kedua matanya. Di sanalah, ia melihat wajah manis Eri yang tersenyum dengan air mata mengalir deras. “Kamu bodoh sekali,” ucapnya menahan isak. Ia langsung memeluk sahabatnya itu erat-erat. “Aku juga rindu padamu. Sangat, sangat rindu.” Lily menghembuskan nafas terakhirnya dengan seulas senyum damai di wajahnya, menyambut kematian yang diundangnya sendiri.
Hari itu dimulai dengan cuaca yang cerah dan langit biru yang indah, kemudian berakhir dengan diiringi lolongan tangis 2 keluarga yang menemukan anak mereka terbaring di tempat tidur dalam kondisi kaku tak bernyawa.
Cerpen Karangan: Charissa. E Yak, kembali lagi ke cerpen dengan bahasa berbunga-bunga?? Ini sebenarnya adalah tugas B. Indonesiaku, jadi mungkin lebih sederhana dari yang biasa aku tulis (kalau kalian ada tugas buat cerpen, jangan plagiat ya! Dosanya besar loh. Semoga kalian suka ya ^-^
-Charissa E.
P.S. ada 2 makna tersembunyi loh di judulnya. Ada yang tahu?