Aku hanya memasang wajah datar ketika pria tambun berusia 50an itu merobek revisi proposal kelimaku. Tak sedikitpun aku melirik robekan kertas yang kukerjakan semalaman dan membuatku tidak tidur selama 2 hari penuh. Ya, 2 hari, karena 2 hari yang lalu pun aku terjaga semalaman untuk mengerjakan revisi keempat yang juga sudah berakhir di tempat sampah.
“Kamu itu idiot atau bodoh sih?” cecarnya dengan nada jijik. “Entah,” balasku acuh tak acuh. “Lu aja yang ga bisa baca, tolol,” gumamku lirih. “Ngomong apa kamu tadi, hah?! Ulangi dengan keras!” Ia meraung dan melotot. Aku hanya tertawa sinis. “Udah tolol, budeg lagi. Kasian.” “Keluar kamu dari ruangan saya! Jangan harap saya mau setujui proposal kamu!” “Nanti ga dapet duit loh, Pa,” sindirku dengan suara rendah. Pria tambun itu langsung gelagapan. Mungkin kebingungan harus berkata apa untuk membela diri. “Ya udah, saya pamit ya, Pa. Terima kasih,” kutekankan 2 kata terakhirku seraya merobek selembar cek berisi Rp 10.000.000,00 dan membuangnya begitu saja ke lantai.
Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam kantung hoodie hijau terangku sebelum keluar dari ruangan luas ber-AC hasil kolusi dengan para mahasiswa kaya raya yang bodoh itu. 2 teman dekatku menunggu di luar, sibuk memainkan game di ponsel masing-masing.
“Ayo balik, gue laper,” ujarku singkat dan datar. Keduanya tidak mengatakan apa-apa, hanya mengikutiku sembari terus menatap ponselnya.
Aku berjalan menuju kafe di luar kampus dan memesan 2 porsi nasi padang serta segelas es teh, kemudian kutendang salah satu teman bodohku yang duduk tepat di depanku agar segera memesan.
“Santai, bos, KDRT mulu,” sungut Sam, korban yang baru kutendang. “Gue sate aja, dua puluh tusuk. Nasinya dua. Minumnya air putih.” Ia menyikut Gavin, temanku yang berkacamata, namun sepertinya terlalu keras karena kacamata bulat berbingkai tipisnya hampir jatuh. “Heh, ini mahal tau!” sergahnya yang langsung membalas sikutan Sam. “Gua mau fish n chips sama lemonade.” “Halah, udah kaya juga,” cibir Sam. “Itu aja, Mba, cepetan ya, makasih,” kulemparkan senyum singkat pada mba-mba malang yang sedari tadi berdiri di ujung meja kami selama hampir 10 menit.
“Lah ini satu malah tebar pesona tapi ga niat.” Makhluk berisik itu kembali bersuara. “Napa sih? Si Mata Duitan meres duit lu lagi? Udah gue bilang ga usah dikasih.” Gavin menaruh ponselnya di atas meja, mungkin sudah kalah. “Lo budeg apa gimana sih? Jelas-jelas proposal dia ditolak lagi.” “Oh… terus lu gimanain, Dre?” “Gue robek cek yang sepuluh juta terus gue buang depan matanya,” tuturku datar. “Wow… sadis…” Sam berkomentar, diikuti dengan suara tawa Gavin.
Aku hanya membuang muka, menopang daguku di atas sebelah tangan. Aku lelah sekali dan tidak berminat berbicara pada siapapun, bahkan pada kedua sohib karibku ini. Angin sejuk yang pelan-pelan bertiup mulai membuat kelopak mataku berat, dan dalam hitungan detik, aku tertidur.
Aku terbangun tepat 10 detik setelahnya lantaran si Idiot Sam menarik tangan yang menopang daguku dan membuatku menghantam meja yang keras. Aku menatapnya dengan datar dan diam, mengacuhkan tawa puasnya.
“Sori, Dre… lu mau tidur tuh di rumah, bukan tempat umum kaya begini,” katanya tanpa rasa bersalah sama sekali. “Eh, bego, lo peka dikit bisa ga? Dia begadang dua hari berturut-turut!” cetus Gavin yang memukul kepala Sam.
Brengsek. Aku berdiri, menggendong ranselku, dan segera menuju mobilku yang berada di parkiran kampus. Tak kuhiraukan panggilan Gavin dan permintaan maaf Sam. Aku lelah.
Kupicu mobilku secepat yang kubisa. Entah berapa banyak mobil yang kusenggol tanpa sengaja, tapi untungnya aku tidak menabrak siapapun. Begitu sampai di rumah kontrakan 2 lantai yang kami sewa bersama, aku meninggalkan mobilku begitu saja di carport tanpa memarkirkannya dengan rapi seperti yang biasa kulakukan. Aku kesal melihat mobil putih itu terparkir secara sembrono, tapi aku terlalu lelah untuk memperbaikinya.
Sepanjang sisa hari itu, aku mengurung diri di kamar. Aku sengaja membawa sekardus air mineral, selusin mie instan, 5 kaleng kopi hitam, sebuah termos listrik, pisau buah, dan buah-buahan yang ada di dapur agar aku tidak perlu keluar dan bertemu sepasang idiot itu. Aku tidak ingin melampiaskan rasa kesal dan lelahku pada mereka.
Dengan kesal, kukerjakan ulang proposal bodoh itu dari awal. Aku tahu tidak ada yang salah dengan proposalku, tapi akan kubuat ulang berikut beberapa proposal tambahan lainnya agar pria mata duitan itu puas. Oya, cek yang tadi itu asli, tapi jangan khawatir, uang itu milikku. Aku tidak akan pernah tega membuang-buang uang orangtuaku seperti itu.
Gavin dan Sam sempat beberapa kali menggedor pintu kamarku, memanggil-manggil namaku dengan suara cemas. Gavin bahkan berkata ia meninggalkan 2 bungkus nasi padang pesananku tadi siang di depan pintu, yang tentu saja tak kusentuh sedikitpun. Memakan nasi akan membuatku mengantuk. Sebagai gantinya, kugigit sebuah apel tanpa mengupasnya sama sekali. Rasa kecutnya turut membantu membangunkan otakku, memaksanya bekerja lagi.
Pukul 1 pagi, aku menyelesaikan proposal ketigaku. Aku memencet tombol “Save” sebelum membuka kaleng kopi keempatku dan menyeruput isinya, juga merenggangkan badanku yang terasa kaku. Aku bangkit berdiri dari kursi kerjaku yang nyaman, beranjak menuju kamar mandi. Kusiramkan air yang dingin ke mukaku. Anehnya, aku bahkan tidak terkejut. Aku menatap cermin sekilas, mendapati sesosok wajah yang sangat menyedihkan: pucat, kelelahan, dan kelihatan seperti penyakitan. Ah, terserahlah. Aku masih kelihatan ganteng walau sedikit.
Untuk sejenak, aku memutuskan untuk beristirahat. Kunyalakan ponsel yang sedari tadi kumatikan agar tidak ada rentetan notifikasi yang menganggu. Tentu saja, ribuan notifikasi dari seluruh media sosialku mulai muncul dan memekakkan telingaku. Kuputuskan untuk memeriksanya—siapa tahu Mama atau Papa menghubungiku. Mataku membelalak ketika yang kudapati adalah hujatan dan makian dari orang-orang yang bahkan tidak kukenal. Ketika kucari sumbernya, seseorang tak bertanggung jawab membeberkan chat pribadinya denganku, di mana aku seolah-olah sedang melecehkannya. Orang itu mengaku usianya baru menginjak 16 tahun dan meminta keadilan ditegakkan.
AKU BAHKAN TIDAK MENGENALNYA.
Aku memang bekerja sebagai seorang YouTuber di sela-sela kuliahku, dan yah, akhir-akhir ini konten yang kubuat menarik cukup banyak orang. Pengikutku bertambah begitu cepat sehingga tentunya langsung berdampak besar terhadap keuanganku. Aku senang menjalani pekerjaan ini, tapi juga benci ketika orang-orang asing yang membenciku berusaha memulai suatu drama. Ah, tidak, lebih tepatnya, orang-orang asing yang berusaha mendapat perhatian.
Aku melihat Gavin dan Sam—yang juga merupakan YouTuber—membelaku dan berusaha membersihkan namaku. Aku sangat menghargai usaha mereka, tapi banyak bicara hanya akan membuat mereka yang membenciku senang. Mereka mendapat perhatian yang mereka inginkan.
Walau biasanya aku akan mendiamkan oknum-oknum seperti ini, aku tidak tahan lagi. Kulabrak orang bodoh itu melalui Twitter secara habis-habisan. Untung saja aku masih ingat untuk tidak mengumpat. Walau begitu, aku tidak tahan untuk tidak terlihat marah. Aku tahu siang nanti aku akan mendapat lebih banyak hujatan, tapi aku sudah tidak peduli lagi. Kulempar ponselku begitu selesai mengetik, tidak peduli jika benda itu rusak.
Kepalaku terasa pusing ketika aku hendak kembali ke meja kerjaku. Tidak hanya berhenti di sana, perutku mulai terasa nyeri. Ah, sial. Kurasa asam lambungku naik.
Tertatih-tatih, aku berjalan menuju dapur. Seharusnya ada obat maag di sana.
“Dre? Lo begadang lagi?” Suara Gavin terdengar dari belakangku. Kamarnya memang berada di dekat sini. “Ya, biasalah,” balasku dengan suara serak. “Lo udah makan? Atau lo lagi nyari makan?” tanyanya. “Gue butuh obat maag.” Gavin menghela nafas. “Andre, lo itu butuh makan, bukan obat maag. Gua panasin nasi padang lo ya? Tadi malem gua masukin kulkas biar ga basi. Duduk dulu sana.”
Aku mengabaikannya. Kuobrak-abrik kotak P3K di atas meja dapur. Begitu kudapatkan obat yang kumau, Gavin menahanku pergi. “Andre, sumpah, kalo lo gini terus, lo bisa sakit beneran,” dia mengoceh dengan wajah kesal bercampur khawatir. Aku tahu yang dia katakan benar, tapi aku sedang dalam keadaan tidak ingin digurui sama sekali. Kuhentakkan tangannya sebelum berjalan kembali ke kamarku.
“Andre!” dia menarikku lagi, kali ini hingga badanku terhentak ke belakang dan menabrak meja dapur yang terbuat dari marmer—yang tentunya sangat keras. Aku menatapnya kesal sambil menahan nyeri di punggungku. “Astaga, sori, Dre, gua ga maksud—“ “Lu diem aja bisa ga sih? Kenapa kalian berdua ga ada puasnya sih ngerjain gue? Seneng ya gue stress kaya gini, hah?” salakku marah. “Dre, gua minta maaf. Bukannya gua seneng liat lo kaya gini, tapi—“ “BACOT! DIEM AJA BISA GA SIH?!” raungku seraya menendang kakinya sekuat tenaga hingga Gavin terjatuh begitu keras. Aku berusaha berdiri walau seluruh badanku terasa begitu lemas.
“Apa-apaan sih?! Lo tuh kalo ada masalah bilang! Kalo lo cuma cengar-cengir haha-hihi sepanjang hari, mana kita tau lo lagi badmood?! Lo pikir lo doang yang stress?! TUH FANS FANATIK LO BIKIN GUA PUSING TIAP HARI!” dia balas meraung dan menonjokku setelah berhasil kembali berdiri.
Nafasku mulai memburu, tak lagi terkendali. Amarahku tak dapat kukendalikan lagi. Kutarik kerah kaus Gavin dan kuhempaskan ia ke meja marmer itu hingga ia meraung kesakitan. “MAMPUS LU, SIALAN!” makiku. Kujambak rambut cokelat gelapnya dan kubenturkan kepalanya berulang kali ke meja itu.
“ANDRE! Astaga sadar, Dre! Itu temen lu sendiri!” Sam yang mungkin terbangun akibat kericuhan ini langsung menahan kedua tanganku dari belakang. “Lepasin gue, Brengsek! Ga usah sok jago!” Aku meronta-ronta tanpa kendali. “Sumpah lu kerasukan apa sih, Dre?! Sadar! Ini Sam sama Gavin! Sohib lu dari jaman batu!” Suara Sam memekakkan telingaku, membuatnya berdenging menyakitkan. “Vin, lu oke?” Hanya ada suara lengguhan kesakitan yang menyahuti Sam. Hal itu membuat Sam menghempaskanku ke arah yang berlawanan dari Gavin dan menghampiri cowok berkacamata itu. “Vin? Vin, jangan bercanda, Vin, sumpah ini ga lucu…” suara Sam bergetar.
Aku berpegangan pada tembok, berusaha menyeimbangkan tubuhku. Kepalaku terasa pening sekali. Tadi aku sedang apa? Tunggu, bukannya aku ada di kamar? Kenapa aku ada di dapur? Aku tak sengaja melihat telapak tanganku yang dipenuhi bercak darah. Oh, benar juga. Aku bertengkar dengan Gavin.
“Dre, lu sadar ga sih?! Lu baru aja ngebunuh sohib lu sendiri! DEMI TUHAN LU KENAPA, DRE?! SALAH DIA APA?!” Kedua tangan Sam mencengkeram bahuku. Aku menatapnya datar. Sejak kapan aku membunuh seseorang? “Apa sih? Ngaco lu. Dah ah, gue mau balik.” “Astaga, Andre, lu bahkan ga sadar lu ngebunuh Gavin?!” Cengkeraman Sam mulai terasa menyakiti bahuku. Ia menatapku nanar, kemudian melepaskanku beberapa detik kemudian untuk menelepon seseorang.
Aku hanya terdiam di tempatku. Memangnya apa yang tadi kulakukan? Seingatku tadi aku sedang mengedit video… eh, tidak. Aku sedang membuat makalah—tunggu, bukan. Argh. Ah, iya, aku sedang membuat proposal. Lalu kenapa aku ada di dapur…? Oh benar juga, aku butuh obat. Obat… mual? Tapi aku tidak merasa mual. Kurasa tadi aku hanya merasa pusing. Apa tadi aku kemari untuk mengambil aspirin? Rasanya tidak. Ah, sebenarnya aku ini sedang apa sih? Linglung, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku.
“Lu bener-bener udah gila ya?” Suara Sam yang bergetar membuatku berhenti melangkah. Kedua tangannya meraih hoodieku dan menarikku mendekatinya. “Kenapa lu bunuh dia, hah? Dia yang dari tadi paling khawatir sama lu, tau ga?! DIA YANG PANASIN MAKANAN LU BERKALI-KALI DAN NARO MAKANAN ITU DI DEPAN PINTU LU SETIAP SEJAM SEKALI! DAN LU MALAH BUNUH DIA?!” “Berisik. Ngapain sih lu teriak-teriak ga jelas,” gerutuku malas sebelum menguap. Tiba-tiba, Sam menonjok wajahku. “Sumpah gue udah ga kenal lagi sama lu.”
Lidahku mengecap rasa logam yang kuat. “Mau lu apa sih?” tanyaku dengan nada meninggi. “Siapa sih yang gue bunuh? Gue ga pernah bunuh siapa-siapa!” “Lu bunuh Gavin, tolol! Ini mayatnya ada di depan mata lu!” “Gavin ada di kamarnya, bego! Gue baru main bareng dia tadi!” Sam tiba-tiba menonjok perutku, membuatku hampir muntah. “SADAR, DRE! INI KENYATAAN! BUKAN MIMPI!”
Amarahku memuncak kembali. Cepat-cepat kusambar sebilah pisau di dekat kompor sebelum Sam dapat menonjokku lagi dan kutendang kakinya. Begitu ia jatuh berlutut, kutusukkan benda itu ke lehernya berulang kali. “UDAH GUE BILANG GUE GA PERNAH BUNUH SIAPAPUN!”
Kuhujamkan benda itu sekuat tenaga untuk terakhir kalinya setelah Sam berhenti meronta. Rasa pening kembali menghujani kepalaku. Nyeri di perutku mulai bergelora dan mendorongku untuk memuntahkan apapun yang kukonsumsi hari ini. Aku buru-buru berlari ke kamarku, masuk ke kamar mandi, dan muntah di toilet. Aku meyadari hoodie hijau terangku menjadi basah dan berwarna merah. Rasanya aku tidak pernah ketumpahan cat. Apa ada bajuku yang luntur ya?
Aku membuka benda itu dan langsung melemparnya ke dalam keranjang cucian. Sepertinya aku harus mandi. Hari masih sore, mungkin aku bisa siaran langsung sebentar. Mungkin aku juga bisa mengajak Sam dan Gavin untuk bermain bersama. Kurasa mereka belum pulang. Akan kutelepon mereka nanti. Aku berusaha mengingat-ingat tugasku untuk besok. Rasanya aku punya tugas membuat makalah atau sejenisnya… atau proposal ya?
Aku mematung terdiam di tempatku. Sedang apa aku di sini?
-fin-
Sleep Deprived: sangat kekurangan tidur
Cerpen Karangan: Charissa. E Hello ^-^ Mungkin cerpen kali ini sedikit berbeda dari yang biasa aku tulis. Yah, beda banget sih. Tapi semoga kalian menikmati ya ^-^ Happy reading??
-Charissa E.