Namanya Nanika Lestari. Semua orang memanggilnya Nika. Dia adalah seorang gadis yang berumur 15 tahun. Tidak ada yang spesial darinya, hobinya hanya bermalas-malasan setiap hari. Tidak tau apa untungnya bermalas-malasan, banyak orang di dunia ini yang suka melakukanya. Justru menjadi rajin yang sulit. Semua hal yang hebat itu pasti sulit. Kalau mudah, semua orang di dunia akan sukses. Dan jika semudah itu, kesuksesan tidak akan berarti dan semua orang tidak akan memahami jerih payahnya perjuangan.
Pagi ini seperti biasa, bukanya membantu orangtua, Nika malah bermain ponsel di kamarnya dengan earphone menempel di telinga. “NIKAA! SAMPAI KAPAN MAU DI KAMAR TERUS?!” Mama Nika berjalan dari arah dapur, masih dengan daster dan spatula di tanganya. Nika mengerling malas, melepas earphonenya.
“Setiap hari hanya bermalas-malasan mau jadi apa?!” Mama Nika meraih ponsel di tangan Nika, menatap garang. “Tugas kamu pagi ini, menyapu halaman rumah. Disapu sampai bersih sampai pikiranmu itu jernih, nggak malas-malasan lagi!” Nika terpaksa mengangguk. Mau bagaimana lagi? Sebelum mamanya semakin marah dan beresiko meledakkan Gunung Merapi. Iya, itulah seorang mama, seorang ibu yang rela memberikan apa saja demi kebaikan anaknya. Tidak pernah lelah menasehati, dan khas sekali dengan omelannya. Nika meraih sapu lidi di samping rumah dan mulai menyapu halaman depan rumahnya.
Angin pagi yang sejuk berhembus lembut. Terdengar suara gemerisik daun dan kicauan Burung Pipit bersahut-sahutan. Kalau saja rasa malasnya itu bisa hilang seketika, Nika sangat menyukai pagi. Sebuah momen terindah ketika hari baru saja dimulai.
Di rumah seberang, seorang pak tua sedang memerhatikannya diam-diam dibalik kaca jendela. Pak tua itu memegang sebuah pena di tangannya. Sementara Nika yang tidak mengetahui kalau ia sedang diperhatikan, tetap fokus menyapu. Mencoba lapang dada dan senang hati melakukan tugas itu.
Setelah selesai melakukan pekerjaannya, Nika hendak membuang sampah daun yang sudah memenuhi keranjang. Tapi dengan tiba-tiba, seorang pak tua sudah berdiri di depannya. “Nak, kuberikan ini padamu.” Pak tua itu menyodorkan sebuah pena hitam, dengan ukiran kecil yang menghiasi tubuh pena. Nika menatap heran. Untuk apa pak tua itu memberikan pena padanya? Bukannya sebuah pena bisa didapatkan dimana saja? “Terimalah, ini hadiah dariku untukmu.” Ujar pak tua itu meraih tangan Nika dan memberikan penanya. “Untuk apa bapak memberikan pena ini padaku?” Pak tua itu hanya tersenyum. “Kuberikan padamu, rawat baik-baik. Gunakan untuk menulis. Menulis kisahmu, menulis keluh kesahmu, menulis tentang hidup ini. Satu pesan dariku, jangan bermalas-malasan lagi. Hidup ini terlalu berharga, jangan disia-siakan.” “Da-darimana bapak tau kalau-” Sebelum Nika menyelesaikan pertanyaannya, pak tua itu sudah berbalik ke rumahnya, menutup pintu. Ribuan pertanyaan di kepala Nika menerima pena antik dari pak tua tetangga depan rumahnya. Jujur saja, baru kali ini dia melihat pak tua itu. Karena dia juga jarang keluar rumah, sibuk bermalas-malasan di kamarnya.
Hari-hari berikutnya, setiap pagi Nika mengecek lewat jendela. Barangkali pak tua itu keluar rumah. Untuk berjalan-jalan atau minum teh sejenak di beranda rumahnya. Tapi nihil, pak tua itu tidak pernah terlihat lagi. Nika jadi sering merenung. Merenungkan perilakunya selama ini yang hanya bisa bermalas-malasan. Makan, minum dan tidur. Pak tua itu benar, hidup ini terlalu berharga. Apakah kamu rela impianmu sia-sia hanya karena rasa malas? Nika menghela napas. Lalu mulai menggoreskan pena dari pak tua di buku catatannya.
Waktu itu, aku bertemu seorang pak tua. Pak tua itu memberikanku sebuah pena hitam yang antik. Tanpa sempat bertanya, pak tua itu sudah kembali ke rumahnya. Dan berpesan kepadaku “jangan bermalas-malasan lagi. Karena hidup terlalu berharga. Jangan disia-siakan.” Dan aku merasa perkataanya benar. Aku merasa perlu merubah kebiasaanku. Walau ini bukanlah hal yang mudah, tapi kita tetap harus berusaha. Harus berani memulai! – Nika, 17 febuari.
Lama-kelamaan menulis menjadi kebiasaan baru Nika. Dia tidak ingin mengecewakan pak tua yang memberinya pena antik. Walau itu hanya sebuah pena, tapi sangatlah bermakna. Pertemuannya dengan pak tua, serta pena itu merubah hidupnya. Pelan tapi pasti, Nika mulai mengurangi rasa malasnya. Rajin menulis, apapun yang bisa ditulis. Suatu hari nanti ketika pak tua keluar dari rumahnya, dia ingin pak tua itu tersenyum bangga karena memberikan penanya pada orang yang benar.
Terkadang sebuah pena pun dapat merubah jalan hidup seseorang.
Cerpen Karangan: Indy Ainun Blog: daydiary12.blogspot.com