Aku tidak bisa tersenyum, bibirku terasa berat akhir-akhir ini, tidak mudah untuk diangkat, seperti ada sebuah beban berat yang menempel disana. Ini semua karena mereka, mereka yang menatap sinis dan penuh benci, dengan dahi yang mengernyit seolah menganggapku adalah sampah yang tidak layak berada disini. Kelas ini seperti neraka rasanya, namun tidak panas, hanya saja atmosfernya terasa sangat tajam dan mengerucut padaku. Kalau boleh, aku ingin berlari sekencang-kencangnya dari sini, tapi kemana? Dimana titik akhir pelarianku?
Aku masih berseragam dan berstatus pelajar SMA kelas 3. Aku mempunyai banyak teman, pada awalnya. Namun seperti yang kusebutkan tadi, teman-temanku tersaring karena suatu alasan. Hanya dia, Nindi, teman sebangkuku yang masih bertahan dan menguatkanku di masa-masa sulit seperti ini. Oh satu lagi, kekasihku, namun entah dimana dia saat ini. Dia anak sekolah dari SMA yang berbeda denganku. Belakangan ini dia sangat sulit untuk dihubungi, apalagi untuk ditemui, beberapa ajakan untuk bertemu sudah kukirimkan padanya melalui gawai, namun tidak ada tanda bahwa dia membaca pesannya.
Bel istirahat terdengar nyaring, semua orang berhamburan keluar, kecuali beberapa perempuan yang nampak bergerak dan mengumpul di belakang kelas, persis di belakangku. Nindi beranjak dari kursi, “hey Ajeng, kita ke kantin aja yu,” ajaknya menarik tanganku. Dengan lemas aku bangun dan bersiap melangkahkan kaki ke kantin. Namun langkah kami tersendat tatkala sebuah ejekan melayang dari belakangku dan tertuju padaku. Nindi mencengkram semakin erat, sebelum akhirnya dia berbalik, “HEY BRENGSEK! SEMUA ORANG JUGA PUNYA DOSA! AJENG BUKAN MALAIKAT, HANYA MANUSIA BIASA SEPERTI KITA. APAKAH HANYA KARENA DIA BERBUAT SATU KESALAHAN, TERUS HALAL UNTUK KITA HINAKAN DIA LAYAKNYA SEBUAH SAMPAH? JUSTRU MULUT LO YANG LEBIH BUSUK DARI SAMPAH!“ hardik Nindi dengan menujuk-nunjuk wajah tengil mereka. Sontak aku menarik kedua bahu Ajeng sebelum amarahnya lebih meledak-ledak. “udah gapapa Nin… aku gapapa kok” ujarku berbohong. Karena sebenarnya hatiku perih terkena tebasan dari sungut-sungut mereka, tapi aku merasa layak mendapatkan penghinaan itu, bahkan mungkin aku lebih hina dari apa yang mereka persangkakan.
Kami berdua berjalan menuju kantin. Kutarik Nindi menuju bangku sepi di belakang sana, untuk menghindari keramaian. Nindi mengacungkan tangan, dipesannya soto ayam kepada seorang wanita gempal dibalik kedai dengan setengah berteriak. Nindi berceloteh mengenai perselisihan tadi. Katanya, mereka itu tidak berbudi dan sangat tega kepadaku.
Harum kaldu soto ayam menyapa hidungku, dua mangkuk sup lezat itu terhidang di hadapan kami. Kuambil sendokan pertama dan segera melahapnya. Rasanya yang nikmat seketika menyepak jauh-jauh semua kepedihanku untuk sementara ini.
Sedang enak menyantap soto, terlihat dari kejauhan seseorang dengan perawakan tinggi, bertubuh atletis dan paras yang rupawan tengah menghampiri meja kami, “Hey perempuan jal*ng! Minggir lo!” bentak Fras, seraya menatapku dengan penuh kebencian usai duduk disamping Nindi, dihadapanku. “Perempuan kayak lo gak pantes ada disini! Ganggu pemandangan aja, Pergi sana!” usirnya menaikan suara. Terlihat kepalan tangan Nindi semakin mengeras. Apalagi aku. Hatiku bergemuruh mendengarnya. Ingin sekali aku melemparkan mangkuk ini pada wajahnya, namun amarahku teredam seiring dengan teringatnya kelakuan bejat yang telah kulakukan, aku merasa hina dan pantas dihina. Sedikit kuhela nafas sebelum menerima ajakan Nindi untuk beranjak dari kantin.
Tangan Nindi mencengkeram tanganku dan menariknya ke suatu tempat, perpustakaan sekolah. Terlihat banyak sekali buku yang tersusun rapi pada rak-rak kayu itu. Suasana hening mendamaikan jiwa. Nindi tau persis apa yang sedang kubutuhkan. Dengan suara sedikit tertahan, “gue kesel banget sama si Fras. Mentang-mentang dia cakep, terus dia jadikan kecakepannya sebagai jimat pelindung untuk melakukan hal-hal tidak berbudi!” keluhnya. “hmmm” aku lemas.
Sudah lama kami mengetahui bahwa Fras sering membully orang-orang. Namun akhir-akhir ini aksinya mengerucut padaku. Nindi melanjutkan celotehnya dengan suara pelan, namun nada dering dari gawaiku seketika memotong. Kurogoh saku dan mengambilnya. Terpampang nama kekasihku, Indra. Setelah sekian lama akhirnya dia menghubungiku. Dengan cepat kujawab panggilan itu.
“Halo dra, halo halo. Kamu kemana aja Dra? Aku cemas banget” ucapku dengan antusias. “tenang aja, aku gak kemana-mana kok. kamu udah pergi ke klinik itu kan?” jawabnya datar. “belum, aku takut Dra… temenin aku ya?” “kenapa musti takut? Tenang aja gapapa. Aku gabisa nemenin kamu maaf, banyak PR. Nanti aku kirim uangnya.” Ucapnya terburu-buru. “Dra… kamu kan sudah jan-ji…” belum sempat kuselesaikan kalimat, panggilan sudah terputus dengan paksa. Seketika mataku terasa perih. Air mataku mengalir deras hingga membasahi pipi.
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku pulang dengan perasaan yang campur aduk, marah, sedih, dan menyesal menghinggapi batin. Ditambah lagi Indra yang kini perlahan mengabaikanku, tidak seperti janjinya yang dia persembahkan 2 bulan yang lalu. Nindi melambaikan tangan, ucapan perpisahan di mulut sekolah. Aku melangkahkan kaki pulang ke rumah dengan mata yang sedikit sembab, banyak air yang meggenang disana.
Sebelum pulang ke rumah, Kutujukan langkahku menuju klinik terlebih dahulu. “Tunggu sebentar…” sebuah jawaban setengah teriak terdengar dari dalam rumah seiring dengan pintu yang kuketuk. Aku berbalik dan menunggu seseorang keluar. Kulihat jalanan ramai, orang-orang mengerubungi para pedagang kaki lima. Mataku menyelidik kearah kerumunan itu, I-indra? Tapi siapa perempuan yang digandengnya itu? Aku berlari kearahnya. Banyaknya orang mempersulitku untuk menembus jalan. Sambil menghela nafas, kukitari sekeliling, nihil. Indra dan perempuan itu menghilang seperti sebuah jarum yang tertelan oleh setumpuk jerami. Air mataku turun, hatiku hancur seperti sebuah kaca yang dihantam hingga pecah berserakan. Apakah Indra mengkhianatiku?
Aku berjalan pulang. Kulihat rumahku dari kejauhan, sebuah bangunan dengan dua lantai, cukup megah jika dilihat secara sekilas. Seorang wanita paruh baya nampak sedang duduk bersantai di halaman rumah, di sebuah kursi kayu. Kuhampiri dia dan memberikan salam padanya seraya menyodorkan tanganku. Tidak ada respon, hanya tatapan kosong saja seperti kemarin. Hatiku semakin teriris, lengkap sudah penderitaanku saat ini. Ibuku tidak mau berbicara denganku. Terlihat beberapa pecahan kaca berserakan di lantai, di ruang tengah, sebelum akhirnya kupacu kaki ini kencang menuju kamarku.
Pagi hari yang gelap. Awan tebal nan kelabu menggulung di langit. Aku menjadi semakin malas untuk sekolah. Tiba-tiba terdengar sebuah ketukan keras pada pintu kamarku. “Jeng! Sekolah! Jangan malu-maluin bapak! Cukup sekali aja kamu mencoreng keluarga ini!” bentak bapak. Berbeda dengan ibu yang membisu, watak bapak menjadi keras akhir-akhir ini. Seringkali aku dibentaknya dengan keras, bagaikan sebuah palu besi yang menghantam sebuah batu. Aku tidak berani untuk melawan, juga tidak bisa kabur.
Dengan lemas kupaksakan kaki untuk beranjak dari kasur. Aku tidak akan mandi hari ini, malas sekali. Dengan seragam kusut yang kukenakan, kudekati mulut pintu dan membukanya. Aku terperanjat, beberapa orang berbadan tegap tengah berdiri di hadapanku sekarang. “Selamat siang dik. Nama adik Ajeng, betul?” “i-iya pak, ada apa ya?” “Mari ikut kami ke kantor” ajaknya tegas.
Terlihat di ruangan itu seorang lelaki sedang duduk dan terbungkuk malu dengan rambut gondrongnya, menghadap petugas. I-indra?
—
Satu bulan sudah aku menginap di sini, dibalik pagar besi. Semua ini gara-gara cecunguk sialan itu, si Indra. Dengan mudahnya aku tergoda janji manisnya. Yang lebih parah, dia menyebarkan video kami sehingga menjadi buah bibir dimana-mana. Dengan itu, aku terjerat Undang-undang pornografi tentang penyebaran konten pornografi yang meresahkan.
Perutku terasa sedikit perih akhir-akhir ini. Kurasakan sesuatu menekan-nekanku dari dalam. Tiba-tiba seorang petugas datang dan memanggil keras namaku. “ayo ikut saya” katanya. Dibawanya aku ke sebuah ruangan yang dilengkapi beberapa meja. Dia mendudukanku pada sebuah kursi di samping jendela. Sinar matahari menembus dan menghangatkan sekujur tubuh. Terdengar suara langkah kaki mendekat dari samping kanan, aku menoleh. Nin-nindi? Air mataku berlinang, tak kuasa aku untuk menahannya keluar. Aku sangat rindu padanya, dia yang selalu membelaku kala aku terpuruk. Segera kuberanjak dan mendekapnya erat. Tangis pun pecah diantara kami.
“Jeng, lo baik-baik aja kan disini?” tanyanya memastikan, dengan mata yang masih sembab “aku baik-baik aja ko Nin, jangan khawatir” “sukur deh Jeng, gue khawatir banget sama keadaan lo”
“hmmm” “gimana kondisi janin lo sekarang?” tanya Nindi. “gitu deh Nin, aku gak mau bahas dulu itu sekarang.” “eh Jeng, masih ingat si Fras? Dia udah gue laporin ke BK, dan dia diskors hahaha”
Entah kenapa saat ini bibirku terangkat. Seolah ada sesuatu yang menariknya. Mengetahui bahwa si pembuli, Fras telah dijatuhi hukuman dan si brengsek Indra telah dikurung, membuat hatiku lapang dan sedikit menghiburku.
Cerpen Karangan: Noname Blog / Facebook: mikhwanulkirom.blogspot.com