Ting! Satu pesan whatsapp muncul di layar handphonenya. Dengan senyum merekah ia segera menghampiri notifikasi itu, jelas saja ia telah menunggu lama. Tiba-tiba senyumnya hilang, muncul ekspresi kesal di wajahnya sesaat setelah membuka pesan.
“Aku itu sibuk Nad…” Tulis pesan whatsapp tersebut. “Sekali ini aja, please… Bisa ya…” Balasnya. Kali ini ia berharap hanya kepada Tuhan, berharap Tuhan mengabulkan doanya sekarang juga.
Ting! Sekali lagi notifikasi itu muncul di layar handphonenya. Sambil berdoa ia membuka pesan itu. “Oke.” Hanya satu kata tapi mampu membuat matanya secerah bunga matahari yang mekar. Berulang kali dia mengucap syukur pada Tuhan. Ia kemudian bergegas ke rumah sahabatnya untuk bercerita.
Namanya Nadia, perempuan penyuka lagu-lagu K-Pop dan pecinta kucing itu sedang berbahagia hari ini. Salah satu cita-citanya akan tercapai, bukan cita-cita profesi tetapi hanya keinginannya saja. Sudah 10 kali ia ingin menemui seseorang yang sudah 8 tahun tidak ia temui, dan yang kesepuluh ini ia mendapat kata setuju dari tujuan cita-cita. Ia membeli seblak pedas langganannya dan membawanya ke rumah sahabatnya, Thika. Tentu saja ingin teriak-teriak kegirangan dan menganggu pendengaran Thika.
“Thik! Aku berhasil hehehe.” Ucapnya kegirangan sembari mengayun-ayunkan dua bungkus seblak di tangannya. “Terus bakal ke Jogja dong?” tanya Thika. Dijawab anggukan oleh Nadia yang kini sibuk membuka bungkus seblak. “Sendirian? Yakin Nad? Dia gak bakal php kan?” Sebenarnya ada sedikit kekhawatiran di hati Nadia, tetapi ia harus percaya bahwa laki-laki itu tidak akan mengecewakannya. “Aku percaya sama dia.” Kalimat itu membuat Thika mengedikkan bahu, ia tahu Nadia sedang bahagia dan ia tidak ingin merusak mood Nadia hanya karena kekhawatirannya. “Kalo gak yaudah, aku jalan-jalan sendiri hehehe”. Itulah Nadia, jika ia memiliki sebuah keinginan, ia akan selalu gigih untuk memenuhi keinginannya. Ia menjadi perempuan yang tak takut apapun, meski sebenarnya ia takut. Ia menjadi seorang yang tidak apa, meskipun ada apa-apa.
Sabtu pagi, ia sudah bersiap sejak pukul 10.00 Ia sudah menyiapkan baju yang akan ia kenakan sejak hari rabu, dan ia juga sudah menyiapkan semua yang akan ia bawa di dalam tas ransel kecilnya sejak hari jumat pagi. Ibu yang kaget melihat ia sudah siap sejak subuh bertanya, “Kamu mau kemana pagi-pagi udah wangi? Tumben banget, biasanya juga belum bangun kalo belum diteriakin.” Nadia yang juga kaget dengan kehadiran ibu di pintu kamar sontak berdiri, “Yee ibu, aku mau main ke Jogja, sama temen hehehe.” Ia memberikan senyum pagi terindah untuk ibunya. “Yaudah, hati-hati ya…” Nadia mengacungkan jempol lalu bersalaman pamit kepada ibunya. Ia akan berangkat ke stasiun pukul 11.00 karena kereta yang dinaikinya berangkat pukul 12.25 dan tiba di Jogja pukul 13.33
Sekali lagi ia mengirim pesan yang sama sejak kemarin pagi, “Bener ya, sabtu jangan lupa!” dan berulang kali juga laki-laki itu mengirim jawaban yang sama, “iya…”, hanya satu kata tetapi Nadia selalu tersenyum membacanya seperti sedang menerima pesan gombalan. Entah apa yang merasukinya, atau ia hanya menutupi rasa gugupnya karena sesungguhnya ia sendiri tidak percaya diri untuk bertemu dengan laki-laki itu lagi setelah sekian lama. Apakah ia akan mengenali laki-laki itu nanti? Apakah ia akan langsung berlari melihat laki-laki itu di Jogja? Apakah laki-laki itu akan mengenalinya dari jauh? Berbagai pertanyaan berhamburan di kepalanya, ia mengambil earphone dan memutar lagu Cold Hands dari Chan. Apapun yang akan terjadi, ia hanya akan menikmatinya.
Setibanya di stasiun Tugu Jogja, ia kembali mengirim pesan pada laki-laki itu, tetapi pesannya hanya centang satu. “Mungkin dia lagi di jalan”, pikirnya. Rumah laki-laki itu lumayan jauh dari daerah Malioboro, jadi maklum jika memakan waktu yang agak lama. Tetapi seharusnya dia datang lebih cepat, pikir Nadia, ia sedikit kesal sekarang.
Nadia mengirim pesan ke laki-laki itu, “Aku tunggu di dekat kursi-kursi pinggir jalan”, padahal ia tidak tahu akan berhenti di kursi yang mana. Ia hanya berjalan perlahan, menikmati ramainya kota Jogja di akhir pekan ini. Ia menikmati ramainya lalu lalang orang-orang dan kendaraan, menikmati banyaknya penjual makanan, pakaian dan pernak-pernik khas jogja. Ia mengeluarkan buku berjudul Memories dari Lang Leav untuk menemaninya duduk menunggu.
Sudah 15 menit ia duduk di salah satu kursi yang tidak terlalu jauh dengan simpang rel kereta karena ia takut laki-laki itu akan kesusahan mencarinya. Saat ia melihat ke depan, pandangannya tertuju pada sate telur puyuh di hik seberang jalan, ia pikir mungkin lebih baik ia menunggu laki-laki itu di hik sambil makan, daripada melamun di kursi ini sendirian. Ia melangkah ingin menyeberang, tiba-tiba handphonenya bergetar. Ketika ia mengambil handphone di kantong dan ingin melihat siapa yang menelwpon, ia merasa menginjak sesuatu yang licin terpeleset di pinggir jalan. Sedetik kemudian, ia sudah berada di pelukan seseorang. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena ia berada di pelukan seseorang, tetapi karena ia hampir saja terjatuh dan tertabrak mobil jika tidak ada yang menarik tangannya.
Matanya masih terpejam dan napasnya tidak teratur, ia memberanikan diri membuka matanya. Mata itu tiba-tiba bertemu, kini jantungnya berdetak lebih kencang karena melihat siapa yang memeluknya kini. Mata yang 8 tahun lalu ia lihat tersenyum padanya terakhir kali, mata yang bisa menyerupai garis lurus ketika tersenyum. “Syukurlah…” ucapnya. Nadia hanya tersenyum gugup, ia masih menatap mata itu dalam-dalam. Mata yang dirindukannya.
Rafi. Laki-laki bertubuh jangkung, bermata sipit dan memiliki lesung pipi, laki-laki yang sudah membuat Nadia penasaran selama bertahun-tahun akan rupanya kini. Laki-laki itu akhirnya berdiri di hadapannya, menatap matanya, bahkan memegang tangannya sejak pertama kali berjumpa. “Kamu… Kok lama sih”, ucap Nadia sambil kembali berdiri tegak, ia masih gugup. “Maaf, macet” jawab Rafi, tidak ada wajah bersalah sedikitpun. “Kalo jalan hati-hati, untung ada aku”, lanjutnya. “Maaf, kepeleset” jawab Nadia. Obrolan itu terasa sedikit kaku sebab Nadia tidak mampu lagi melihat mata Rafi. Ia berdehem, lalu bertanya, “Mau kemana ini?” Rafi hanya mengedikkan bahu, “Lha kamu tadi mau kemana?” ucapnya. “Tu, ada hik, kesitu dulu yuk” kata Nadia, tiba-tiba Rafi memegang tangannya dan membawanya menyeberang jalan, tanpa Rafi tahu Nadia sedang menahan napas merasakan tangannya digenggam.
Nadia mengambil dua tusuk sate telur puyuh dan meminum segelas es teh. Pukul 14.00, mentari sudah naik cukup tinggi secerah hari yang akan dilewati Nadia. Setelah selesai makan, mereka lanjut berjalan kaki menyusuri jalan Malioboro yang bertambah ramai. Ia sudah membuat daftar perjalanan dan sudah memberi tahu Rafi terlebih dahulu lewat Whatsapp. Mereka menyusuri jalan panjang Malioboro berdua, ditengah teriknya matahari siang, tetapi hati Nadia terus berbunga-bunga.
“Kamu tahu gak”, ucap Nadia. “Enggak”, sela Rafi. “Ih belum selesai, aku tu tadi takut tahu, kirain kamu bakal ingkar janji terus biarin aku sendirian di sini”, lanjut Nadia. “Enggak mungkin lah, nanti kamu nangis lagi”, jawab Rafi. “Nyebelin”, ucap Nadia yang hanya dibalas dengusan oleh Rafi.
Mereka lalu berjalan menuju ke Benteng Vredeburg, “Foto yuk”, ucap Nadia saat setelah sampai di depan Benteng Vredeburg. Rafi menoleh ke arah lain, Nadia lalu menarik tangannya, memaksanya untuk foto selfie berdua. “Woi senyum dong ih” ucapnya. Lalu kini ia memiliki foto berdua untuk pertama kalinya.
Mereka memasuki area Benteng setelah membeli tiket, masuk ke tiap-tiap diorama yang ada, foto dengan berbagai patung dan spot-spot yang tersedia di dalam diorama. Rafi yang cuekpun dipaksa menjadi model ini itu oleh Nadia, cewek pecinta fotografi itu puas dengan hasil fotonya. Terkadang ia juga menjadi fotografer dan selalu diomeli Nadia jika fotonya tidak pas. Tapi itu menyenangkan baginya, karena Nadia mampu membuat suasana tidak kaku diantara mereka.
Setelah puas berkeliling Benteng Vredeburg dan mengoleksi puluhan foto, Rafi melihat jam di handphonenya. Sudah hampir masuk waktu Ashar rupanya, mereka duduk di salah satu kursi di pinggir jalan, hari sudah semakin panas. “Sholat dulu yuk”, ajak Rafi. Ia mengajak Nadia menuju mesjid yang ada di tengah-tengah jalan Malioboro, letaknya agak tertutupi dengan para pedagang baju dan pernak-pernik. Mereka melepas sepatu di pelataran mesjid. “Nanti kalo udah siap duluan, tunggu di situ ya”, ucap Rafi sambil menunjuk salah satu kursi di depan pelataran mesjid. Nadia mengangguk lalu mereka berpisah.
Nadia menuju ke tempat wudhu perempuan di tangga bawah sedangkan Rafi melalui pintu depan mesjid. Sejuk dan dingin Nadia rasakan ketika wajahnya tersapu AC mesjid dan kakinya menginjak keramik. Sekarang ia akan berdoa lagi pada Tuhan untuk kebahagiaan yang kini ia rasakan.
Nadia melihat Rafi dari belakang, jadi begini rasanya ditunggu seseorang, pikirnya. Rafi duduk di sebuah kursi, Nadia menghampirinya sembari tersenyum, “Ngapain senyum-senyum?” tanya Rafi. Nadia menaikkan sebelah bibirnya, “Ya masa mau digalakin sih.”
Mereka melanjutkan perjalanan ke Pasar Baringharjo. Nadia ingin membeli pernak-pernik khas Jogja seperti yang biasa ia lakukan jika berkunjung ke sini. Mereka berkeliling putar sana sini tetapi tak ada yang menarik perhatian Nadia. Dia melihat sebuah tas serut kanvas bergambar lucu di salah satu kios kaki lima. Nadia sibuk menawar harga dengan pembeli sedangkan Rafi sedang melihat-lihat gantungan kunci lucu di kios sebelah.
“Ke sana yuk” tunjuk Nadia ke arah utara. “Ngapain?” tanya Rafi. “Di sana ada yang jual pernak-pernik K-Pop gitu”, jawabnya. Rafi hanya menurut kemana Nadia membawanya.
Sepanjang jalan, Nadia bercerita tentang drama Korea yang baru-baru ini ia tonton. Berbagai ekspresi ia tunjukkan, “Gemes tahu sama penulisnya, kan seharusnya endingnya gak gitu”, ia bercerita sambil kesal sepanjang jalan. “Ya suka-suka yang bikin cerita dong, masa harus yang kamu mau endingnya”, ucap Rafi. “Ya tapi gak gitu harusnya, kan diawal udah dikasih harapan sama penulis kalo yang couple itu ceweknya sama mantannya”, lanjut Nadia cerita. “Loh bukannya kamu bilang cowok satunya udah suka cewek itu diam-diam dari awal episode?” tanya Rafi. “Iya sih, tapi ih pokoknya aku kesal”, akhirnya Nadia mengakhiri ceritanya tentang drama setelah mereka sampai ke tempat penjual pernak-pernik K-Pop. Di sana Nadia hanya membeli beberapa gantungan kunci untuknya dan untuk teman-temannya yang menyukai K-Pop. Nadia sempat menawari Rafi sebuah kipas bergambar wajah Taeyong NCT, tapi malah diberi tatapan tajam olehnya.
Waktu beranjak petang, mereka kembali ke mesjid tadi untuk menjalankan sholat Maghrib. Seperti sebelumnya, yang selesai duluan akan menunggu di kursi depan pelataran mesjid. Kali ini Nadia selesai lebih dulu, ia membuka instagram sembari menungu rafi selesai sholat. Ia mengunggah foto langit sore di instastorynya dengan tulisan “Senja di Jogja”.
Setelah sholat mereka akan makan malam di sebuah kedai soto pinggir jalan. Sepanjang jalan Nadia hanya menahan senyum berjalan di samping Rafi, setiap kali akan menyeberang Rafi selalu memegang tangan Nadia. Setelah ini ia akan membulatkan hari ini kalender di rumah dengan warna pink.
Rafi memperhatikan Nadia makan di sampingnya. Nadia yang sadar diperhatikan berhenti makan dan menoleh, “Apa liat-liat?” tanyanya. Rafi menggeleng, “Cara makan kamu aesthetic” ucapnya. Nadia mengerutkan dahi, lalu menggeleng dan melanjutkan makan.
Setelah ini mereka berencana untuk melihat penampilan seniman-seniman lepas di sudut titik 0 KM Jogja. Mereka menyusuri malam berdua, Malioboro masih terang benderang dengan lampu-lampu jalanan. Malam semakin ramai lalu lalang orang dan kendaraan, sejuk menambah tenang. Mereka menikmati alunan musik dan lalu lalang kendaraan di jalanan, gedung-gedung semakin terlihat megah dengan cahaya lampu.
Malam tampak benderang, tetapi langit semakin kelam, tidak ada bintang, sepertinya mendung. Angin bertiup kencang, udara semakin dingin ditambah gerimis rintik-rintik. Nadia khawatir akan turun hujan, penonton satu demi satu melarikan diri. Mereka berteduh di salah satu kios wedang ronde dan asle pinggir jalan. Semangkuk wedang asle menghangatkan tenggorokan mereka, hujan tidak terlalu lama berlalu tetapi Jogja di malam hari masih selalu bertambah ramai.
Hari sudah semakin malam, dingin merasuk ke dalam kulit. Sudah pukul 18.43 malam, kereta api yang Nadia naiki berangkat pukul 19.10. Rafi mengantar Nadia ke stasiun, membawakan bungkus oleh-oleh yang dibelinya tadi sementara Nadia hanya menghela napas, ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Sesampainya di depan stasiun, Nadia tidak langsung masuk ke dalam, ia duduk di teras stasiun.
Rafi membeli dua buah minuman dan memberikan satu untuk Nadia, “Kenapa?” tanyanya, Nadia hanya menggeleng. “Kan udah ketemu aku”, lanjut Rafi. “Kurang lama sih”, ucap Nadia, ia kembali menghela napas dalam. “Udah jam tujuh, masuk gih, entar ketinggalan kereta lagi”, ucap Rafi. Gak apa, pikir Nadia, ia hanya ingin lebih lama lagi di sebelah Rafi, duduk dengannya, bercerita, dan berdebat yang tidak penting.
“Udah masuk sana, kalo ketinggalan entar kamu sendirian di sini sampe pagi” kata Rafi. “Lah? Kamu gak nemenin aku kalo aku ketinggalan kereta?” tanya Nadia. “Ogahlah,” jawabnya. Nadia mendengus, “Nyebelin banget” ucapnya. “Tapi ngangenin” lanjut Rafi. Nadia mendengus lagi.
Nadia akhirnya berdiri, tiba-tiba Rafi melepas jaket yang ia kenakan dan memberikannya pada Nadia. Nadia hanya menatap heran pada Rafi, “Untuk apa?” tanyanya. “Bawa, di dalem kereta nanti dingin” jawab Rafi. Nadia sempat menolak karena ia tahu Rafi juga membutuhkannya, tetapi Rafi memaksa untuk Nadia membawa jaketnya. Akhirnya Nadia menyerah dan membawa jaket Rafi.
Setelah masuk ke dalam kereta, ia memakai jaket Rafi, ia dapat mencium bau Rafi di jaketnya dan itu menyebalkan. Hari ini akan berakhir, Nadia memasukkan tangannya ke saku jaket, ia merogoh sesuatu di dalam jaket, ada sebuah gantungan kunci custom dengan tulisan “Kutunggu Kau di Jogja”. Nadia tersenyum, ia berharap hari seperti ini akan selalu terulang kembali.
Ia mengaduk-aduk tasnya dan mengambil earphone. Kemudian ia memutar lagu Inception dari Airman untuk menemaninya di kereta malam itu. Dingin dan tenang, ia tertidur sembari tersenyum.
Cerpen Karangan: Novia Ika Savitri Facebook: facebook.com/NoviaIkaSavitri I’m just human that have a dreams. I want to go to Namsan Town.