Dina Diatmika, begitu orang-orang memanggilku. Aku bekerja di PT Permata Husada Jakarta selatan sebagai kepala produksi. Hari ini adalah hari terakhir bekerja sebelum menyambut tahun baru. Suasana kantor ini tentu tidak akan seramai biasanya, tidak ada printer yang berbunyi meramaikan suasana pagi yang sepi, komputer yang selalu menyala dari pagi sampai sore, dan para pekerja yang berlalu-lalang ke sana-kemari mengantarkan hasil laporan.
“Wid, kenapa cemberut gitu? Habis dimarahin Pak Teja ya?” tanyaku pada Widia yang tiba-tiba masuk ke ruangan kerjaku. “Iya, aku tadi salah nulis laporan” kata Widia. “Kebiasaan kamu Wid. Lain kali yang teliti ya, Pak Teja itu orangnya teliti” kataku menenangkannya. “Iya Din, terima kasih sudah mengingatkan aku” kata Widia. “Sudah jangan cemberut lagi. Liburan akhir tahun ini aku berencana ke rumah nenekku di Solo, gimana kalau kamu ikut aku?” ajakku kepada Widia. “Mau banget, kebetulan aku belum pernah main ke Solo” jawab Widia. “Oke, lusa kita berangkat ya,”.
Aku dan Widia berangkat menuju Solo pukul 13.00 WIB, perjalanan dari Jakarta ke Solo memakan waktu 8,5 jam dengan kereta. Dalam perjalanan, aku menceritakan masa kecilku di Solo dan beberapa hal yang ada di sana kepada Widia, dia sangat antusias mendengarnya. Setibanya di stasiun Solo Balapan, kami segera bergegas menuju rumah nenek. Aku sudah merindukan serabi, nasi liwet, dan selat solo buatan nenek.
“Assalamualaikum, Nenek,” “Waalaikumsalam,” teriak Nenek dari dalam rumah. “Nek, Dina datang” kucium tangan Nenek dan memeluknya. “Cucu Nenek. Liburan ke sini akhirnya” dengan erat Nenek memelukku. “Nek, aku datang bersama teman kerja sekaligus sahabatku, namanya Widia” “Widia Nek, dari Jakarta” salam Widia dengan Nenekku. “Oh iya, cantik sekali seperti Dina juga ya. Ayo masuk, Nenek akan siapkan masakan paling enak buatan Nenek”
Rumah ini masih terlihat sama sejak aku meninggalkan kota ini dan pindah ke Jakarta bersama Ayah dan Ibu sepuluh tahun yang lalu. Rumah joglo yang masih terdapat aksen-aksen ukiran jawa dan beberapa wayang peninggalan kakek. Nenek begitu senang dengan kedatanganku dan Widia. Nenek membuatkan kami makanan khas dari kota ini. Akhirnya serabi, nasi liwet, dan selat solo yang sudah kurindukan bisa kunikmati lagi. Aku kenalkan makanan-makanan khas Solo ini kepada Widia.
“Ini namanya selat solo Wid, coba kamu lihat ini mirip makanan apa?” tanyaku pada Widia. “Mirip makanan orang Eropa ya Din,” jawab Widia. “Betul sekali Wid,” “Tapi kenapa bisa dinamakan selat solo Din?” tanya Widia. “Dulu saat masa penjajahan Belanda, terjadi perundingan Kasuananan Surakarta dengan Belanda. Makanan yang disajikan dalam perundingan itu adalah steak yang berbahan daging setengah matang. Namun, makanan ini tidak bisa diterima oleh lidah orang Indonesia. Akhirnya makanan steak ini dimodifikasi dengan mengganti daging dengan empal, telur, dan sayuran seperti kentang, wortel dan buncis” jawabku pada Widia “Oh, jadi selat solo ini steak Eropa versi Jawa ya Din?” tanya Widia. “Iya, betul sekali” “Wah aku jadi tambah pengetahuan Din, ternyata banyak makanan Indonesia yang berasal dari modifikasi makanan negara luar ya”
Setelah menikmati makanan masakan nenek, aku mengajak Widia pergi ke sebuah pesta perayaan tahun baru atau Solo Car Free Night yang tidak jauh lokasinya dengan rumah nenek. Pesta pergantian tahun ini menampilkan beberapa pertunjukan seni tradisional berupa tarian, musik, gamelan, keroncong, perkusi, dan wayang. Pesta perayaan tahun baru di sini terbilang cukup unik, karena tidak boleh menyalakan kembang api dan mercon dan sebagai gantinya yaitu dengan pemukulan gong dan sirene. Widia senang sekali melihat dan belajar apa saja kesenian yang ada di kota ini. Maklum saja, Widia besar di tengah kota Jakarta yang sudah jarang melestarikan kesenian-kesenian khas Indonesia.
“Dong, dong, dong” suara gong dipukul. “Selamat tahun baru Dina, terima kasih sudah mengajakku ke sini. Aku seneng banget” Widia memelukku. “Iya Wid, aku juga seneng ngajak kamu ke sini” ku peluk Widia.
“Dina,” suara di seberang sana. Aku mendengar ada yang memanggil namaku dalam keramaian pesta. “Dina, ini aku Mira teman kecilmu dulu” teriak Mira dari kejauhan. “Mira, apa kabar?” kataku kepada Mira. “Baik Din, sudah lama kita nggak ketemu ya. Kamu tambah cantik” “Ah, bisa aja kamu Mir. Aku ke sini dengan temanku dari Jakarta, kenalkan ini Widia” “Halo Widia, salam kenal aku Mira” “Iya, Widia”
“Kalau sudah kumpul kaya gini, gimana besok kita jalan-jalan ke Yogyakarta mumpung liburan tahun baru” ajak Mira. “Wah boleh Mir, kebetulan aku dan Widia belum ada rencana jalan-jalan kemana” “Ok besok kita berangkat ya” kata Mira.
Pagi ini kami berangkat menuju Yogyakarta. Perjalanan dari Solo menuju Yogyakarta hanya ditempuh 2 jam dengan mobil. Mendengar nama kotanya saja seolah membawa kenangan manis, tidak hanya karena tempatnya yang memang spesial, namun Yogyakarta dinilai memiliki keiatimewaan mulai dari nilai historis hingga tempat wisata yang menakjubkan. Mira membawa kami menuju sebuah pantai yang bernama Pantai Ngrumput.
“Kita sudah sampai” kata Mira. “Wow, tempatnya keren banget Mir” kata Widia. “Pantai ini masih jarang dikunjungi, jadi masih asri” jawab Mira. “Keren Mir tempatnya, alamnya masih terjaga” kataku pada Mira.
Pasir yang putih, ombak yang bergulung menabrak batu karang, suasana alam yang indah berteman dengan kicauan burung menemani liburan kami di pantai ini. kami mendaki sebuah bukit yang dinamakan Bukit Kosakora yang berada tepat di depan pantai ini. moleknya laut biru dengan kehijauan alam dari atas bukit ini tidak kalah indahnya dengan pucuk gunung. Banyak orang mendirikan tenda di pantai ini untuk berburu indahnya matahari terbenam dan kedamaian malam di sini. Tapi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju kawasan paling istimewa di Yogyakarta.
“Malioboro, ini tempat paling istimewa di Yogyakarta Wid” kataku pada Widia. “Aku banyak denger dari orang-orang yang sudah pernah berkunjung ke sini Din, katanya ini tempat paling unik, kok bisa sih?” tanya Widia. “Tempat ini unik karena nggak pernah sepi dari pengunjung Wid, tempatnya selalu ramai” jawab Mira. “Nah, kalo udah di sini wajib coba makanan khas Yogyakarta” kataku. “Gudeg” seru Mira.
Kami mengahampiri salah satu penjual gudeng yang paling terkenal di kasawan Malioboro. “Ini Mbak monggo gudegnya” kata penjual gudeng yang mempersilakan kami. “Iya Bu, terima kasih” jawab kami. “Gudeg ini juga ada sejarahnya nggak Din?” tanya Widia kepadaku. “Menurut Murdijati Gardjito, seorang profesor dan peneliti di Pusat Makanan Tradisional, gudeg sudah ada sejak kota Yogyakarta pertama dibangun” jawabku pada Widia. “Dulu saat kerajaan Mataram membongkar hutan belantara di Kotagede banyak terdapat pohon nangka, dan akhirnya dijadikan gudeg ini” tambah Mira. “Berarti umur makan ini sudah tua sekali ya” kata Widia. “Benar sekali” jawabku.
“Ini liburan tahun baru paling keren yang pernah aku alami, terima kasih ya Mira dan Widia yang sudah mengajakku ke tempat ini, aku bukan hanya liburan tetapi juga banyak belajar tentang kebudayaan dan sejarah yang ada di Indonesia” kata Widia. “Kalau bukan kita yang belajar, lalu siapa lagi, iya kan” kata Mira. “Benar sekali, tidak hanya menikmati tapi juga mempelajari apa yang sudah nenek moyang kita buat sejak dulu” kataku.
Setelah mengahabiskan gudeng, kami berkeliling di tempat yang paling istimewa ini. membeli pernak-pernik untuk oleh-oleh, menyaksikan pertunjukan angklung, dan melihat orang berlalu-lalang menyusuri jalanan. Gemerlapnya kota Yogyakarta mengisahkan sejuta kemanisan pada setiap orang yang datang di tempat ini. Kota yang selalu meninggalkan rindu di hati para pengunjungnya.
Orang-orang sekarang cenderung sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sibuk bekerja dan lupa untuk sekedar membawa dirinya menggapai kesuksesan batin. Dengan sejenak mencicip semesta yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita semua, mengagumi keindahan yang Tuhan ciptakan, dan banyak belajar dari orang terdahulu, kesuksesan batin itu akan menyertai setiap jiwa yang membuka hati dan matanya. Banyak sekali keindahan yang sudah Tuhan titipkan untuk kita jaga, sejarah dan budaya yang nenek moyang kita wariskan. Tugas ini berada di pundak kita, sebagai seorang manusia yang beragama dan bernegara.
Cerpen Karangan: Riska Dyah Oktaviani Blog / Facebook: Riska Dyah Oktaviani Riska Dyah Oktaviani. Beralamat di Desa Jimbaran, Rt 03 Rw 01, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Berdomisili di Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. (a) Instagram: @riskadyaho_ (b) Facebook: Riska Dyah Oktaviani (c) Twitter: @riskadyaho. Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, IAIN Surakarta. Bahwa hidup harus menerima penerimaan yang indah, tak peduli lewat apa penerimaan itu datang, tak masalah meski lewat keadaan yang sedih dan menyakitkan.