Afreen mengamati lekat setiap buku yang terlewati oleh jemarinya. Beberapa buku membuat dahinya mengernyit dalam. Judul-judul buku yang menurutnya ‘unik’ berjajar rapi di rak Best seller tahun ini. Dan sayangnya, dari sekian banyak buku Best Seller di sana, tak ada satupun yang membuatnya tertarik. Ia lalu melangkah menuju rak buku lain.
Ia sama saja dengan gadis remaja pada umumnya yang menyukai bacaan berbau teenlit, atau terkadang romantis. Genre misteri, thriller, apalagi horor adalah kategori bacaan yang tidak akan pernah disentuhnya. Selain penakut, ia juga bukan pecinta adegan-adegan ‘mengerikan’ yang bisa membuat jantung berdebar. Lebih baik jantungnya berdebar karena membaca cerita tentang ‘Si Cowok yang akhirnya melamar Sang Pujaan Hati setelah sekian lama berpisah’. Menurutnya itu jauh lebih menyenangkan untuk diingat sebelum tidur, ketimbang adegan ‘Si Penjahat memutilasi korbannya dengan sadis.’
Satu buku sudah berada dalam pelukannya. Tinggal satu lagi. Dalam satu bulan, biasanya Afreen akan membeli dua buku novel untuk ia bawa pulang dan menghabiskan waktu di dalam kamar hanya untuk membaca. Kebetulan, kelas terakhirnya hari ini sudah selesai sekitar dua jam lalu. Jadi ia memutuskan untuk ke sini setelah makan siang supaya bisa berkutat dengan buku lebih lama.
Dan akhirnya dua buku sudah selesai dipilih. Sebelum membayar, Afreen biasanya akan duduk manis di sana sambil membaca beberapa buku yang plastiknya sudah terbuka. Saat sedang memilih buku, matanya tak sengaja menangkap sosok pria kurus berkacamata yang juga sedang membaca buku di balik rak ini. Tanpa sadar ia memekik dari balik rak, “Kaivan!”
Merasa namanya dipanggil, sosok itu balik menatap Afreen. Matanya membulat. Keterkejutan jelas terlihat di wajahnya yang berangsur memucat. Segera ia mengembalikan buku dan hendak berbalik, namun sayangnya, Afreen sudah lebih dulu menghadang satu-satunya jalan keluar dari rak itu. Ia mengumpat dalam hati, merutuki kebodohannya yang memilih rak di ujung seperti ini.
Tanpa bicara apa-apa, ia hanya diam menunduk begitu Afreen berjalan mendekatinya. “Seneng, deh bisa ketemu kamu di sini.” Kaivan tetap diam tanpa berniat menjawab pertanyaan Afreen, meskipun dalam hati, ia tidak membenarkan apa yang diucapkan gadis itu barusan. Seneng katanya? Aku malah sebaliknya. Ujarnya dalam hati.
“Kamu tadi baca buku, ya?” Kaivan tetap diam. Sedangkan Afreen merutuki pertanyaan konyolnya barusan. Ya iyalah, dia baca buku. Ini kan toko buku, gak mungkin juga dia main catur di sini! Batinnya memekik gemas. Memiringkan kepala, Afreen memindai penampilan Kaivan dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, begitu seterusnya.
Hampir satu bulan tak bertemu, penampilan pria itu masih sama. Celana jeans kebanggaan dan kaos lengan pendek bergaris menjadi andalannya. Rambut pria itu yang sedikit tebal juga tak pernah dibiarkan berantakan, pasti selalu tersisir rapi. Juga kacamata kotak yang membingkai wajahnya secara pas.
Merasa risih karena ditatap lama, Kaivan berdehem pelan dan berujar, “permisi, aku mau keluar.” Masih sambil menunduk, ia berjalan perlahan berusaha melewati Afreen, namun gadis itu dengan sigap langsung merentangkan tangan—menempelkannya pada rak buku—hingga membuat Kaivan mendadak menghentikan langkah dan mengangkat kepala, “aku mau—” “Hei, kenapa buru-buru? Kita, kan bisa ngobrol dulu.”
Kaivan terdiam tak berusaha menanggapi Afreen, ia justru menunduk dan meremas jemari gugup. Sedangkan, Afreen yang melihat itu kemudian menurunkan tangan dan menghela nafas. “Aku Cuma mau ngobrol sama kamu, kok. Gak masalah, kan?”
Masih tak ada jawaban, pria itu tetap diam membatu layaknya patung. Afreen mencoba untuk buka suara, “kenapa tadi kamu gak masuk kuliah?” Memiringkan bibir, Afreen mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di ujung sana ada kursi kosong, tanpa pikir panjang, ia menarik lengan Kaivan. Tentu saja pria itu tersentak kaget. “Mau ke mana?” kali ini gantian, Afreen yang mengabaikan pertanyaan Kaivan.
Begitu sampai di sana, Afreen langsung duduk dan meletakkan bukunya di atas meja kecil yang tersedia, lalu menatap Kaivan yang justru berdiri gugup di sebelahnya. “Ayo, duduk.” Pria itu tetap diam. Karena gemas, Afreen berdiri dan meraih kedua bahu Kaivan lalu mendudukkan pria itu di kursinya, sementara ia pindah ke kursi depannya.
Hening selama sekitar lima menit tanpa pergerakan berarti. Afreen terus menatap Kaivan yang menunduk canggung tanpa sedikitpun niat untuk balas menatapnya. Kembali, Afreen mengarahkan tangannya untuk menangkup kedua pipi pria itu dan menghadapkan padanya. Semburat merah menghias pipi Kaivan saat maniknya bertemu dengan manik Afreen, ia langsung menepis tangan Afreen dan kembali menunduk gugup.
“Hei, apa aku se-menyeramkan itu sampe kamu, aja gak mau natap aku?” Afreen merasa percuma saja bertanya, karena Kaivan seolah tak tertarik menanggapinya. “Tadi kenapa gak kuliah? Eh, bukan, kenapa sebulanan ini kamu gak masuk?” ia mencoba mengganti pertanyaannya. Tapi sama saja, pria itu tetap diam di tempat.
“Harusnya kamu jangan begini, kan kasian orangtuamu,” tetap hening. “Nanti kalo kamu ngulang mata kuliah semester depan, bisa-bisa kamu jadi mahasiswa abadi.” Guraunya. Berharap siapa tahu, Kaivan akan tertawa. Tapi nihil. Bahkan membuka mulut saja tidak sama sekali. Afreen kemudian berdecak gemas. “Kamu begini apa gara-gara perlakuan mereka ke kamu? Kamu ngindarin mereka, ya?
Kaivan melirik sekilas, lalu kembali menunduk. Dan itu membuat, Afreen menganggukkan kepala kecil, “kayaknya, iya.” Tak ada tanggapan. Afreen menggeser kursinya mendekati, Kaivan. “Kenapa? Mungkin kamu mau cerita? Aku ini pendengar yang baik, lho.” Ide gila! Bahkan kalau temannya curhat tentang kekasih mereka saja, Afreen pasti terus-menerus menguap karena bosan.
“Aku heran, kenapa kamu gak ngelawan mereka yang bully kamu?” masih tak ada jawaban. Ia tahu kalau, Kaivan adalah bahan bully-an di kampusnya. Padahal menurutnya, pria itu sangat cerdas, bahkan pernah menjadi Asisten Dosen juga saat semester 4. Ia tak habis pikir apa yang membuat mereka semua memperlakukan, Kaivan seperti ini. Apa mungkin karena penampilannya yang, kutu buku banget? Atau karena sifat pemalu dan gugupannya?
Afreen berdecak gemas dan kembali menangkup pipi, Kaivan agar menatapnya. “Ayo, jawab!” pekiknya pelan, namun Kaivan hanya diam dan melarikan tatapannya selain ke arah Afreen. “Hei, kamu lihat ke mana? Aku di sini, lho.” Ragu-ragu, Kaivan memberanikan diri menatap Afreen yang juga tengah tersenyum menatapnya. “Mungkin kamu mau cerita?”
Kaivan menunduk perlahan meski tangan Afreen masih menangkup pipinya. “Kenapa?” lirihnya. Dan Afreen langsung tersadar kalau Kaivan baru saja bicara. Ia langsung melepaskan tangannya dan duduk dengan tegak. “Maksudnya? Apa yang kenapa?” kembali hening. Afreen berdecak frustasi. Entah sudah berapa kali dalam hari ini ia berdecak. “Kamu mau tanya apa, sih? Jangan sepotong-sepotong, dong! Aku pasti tanggapin, kok!” ia frustasi karena sudah kepalang penasaran.
Kaivan melirik sekilas dan kembali menunduk. “Kenapa kamu mau tau?” Afreen berdehem sejenak. “Karena aku peduli. Kita, kan teman.” Hening sejenak, sampai Kaivan kembali bicara. “Cuma orangtuaku yang peduli sama aku. Dan aku gak punya teman.” Kening Afreen mengernyit dalam. Bagus, Kaivan sudah mau menanggapi perkataannya. Ia harus tahu apa membuat Kaivan seperti ini, pasti ada alasan di baliknya. “Kenapa begitu? Aku, kan temanmu, jelas aku peduli, dong.” Kaivan mengangkat kepala, “aku gak pernah nganggep kamu temanku.” Entah kenapa rasanya seperti ada petir yang meyambarnya di siang bolong, Afreen tersentak dan seketika melotot. “Jahat amat! Kok ngomongnya gitu?!” ia tak terima tentu saja, padahal ia menganggap Kaivan adalah temannya. “Aku emang gak punya teman dari dulu. Aku pernah sekolah biasa kayak kamu, tapi cuma sampe kelas lima, dan seterusnya aku home schooling.” Kaivan menatap arah lain tanpa mau melirik Afreen. Afreen diam mendengarkan. “Kenapa gak dilanjutin?” perlahan, Kaivan menoleh dan menatapnya, namun hanya sebentar sebelum kembali menunduk. “Sama kayak sekarang, aku juga dibully. Dan orangtuaku bilang, mending aku home schooling aja.”
Home schooling. Memang banyak orangtua yang memilih jalur itu untuk pendidikan anak-anaknya. Karena menurut mereka lebih berkualitas. Apalagi bagi anak-anak yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan di sekolah. Selain karena sibuk, para orangtua juga mungkin terlalu malas untuk meladeni kasus yang sama terus-menerus, maka home schooling menjadi pilihan tepat bagi mereka. Tapi jujur saja, menurutnya, itu bukanlah pilihan tepat untuk anak. Karena bagaimanapun, anak masih dalam proses pertumbuhan, tentu saja lingkungan bermain dan sosialisasi sangatlah penting.
“Kenapa kamu dibully?” Hening beberapa saat, Afreen yakin kalau Kaivan sedikit ragu menceritakan padanya. Tapi akhirnya, pria itu mau membuka suara. “Biasa saja. Intinya, aku gak suka berteman.” Afreen berdehem pelan, “pasti ada alesannya, kan?”
Kaivan menghela nafas pelan masih sambil menunduk. “Waktu kecil, aku punya beberapa teman. Aku senang berteman sama mereka karena baik. Tapi kalau ada PR mereka pasti selalu nyalin dari bukuku. Kalo ujian juga begitu, kadang mereka minta aku traktir. Aku selalu ngikutin kemauan mereka. Awalnya aku emang nolak, tapi kalo aku nolak, mereka ngancem gak mau temenan sama aku lagi,” hening sejenak. “Jadi aku ikutin, aja kemauan mereka. Puncaknya waktu kelas tiga, mereka minta aku jailin anak lain, dan aku gak mau, justru malah aku yang bantuin anak itu waktu dia dijailin sama teman-temanku. Dari situ mereka mulai bully aku.”
Afreen berdehem pelan. “Apa orangtuamu tau?” Kaivan kembali memalingkan wajah. “Awalnya enggak, aku juga gak pernah ngasih tau mereka. Sampai mereka tau sendiri, dan minta aku buat belajar sendiri aja alias Home Schooling.”
Hening. Afreen tak berusaha menanggapi cerita Kaivan, ia hanya mencoba mendengarkan. Dan pria itu yang terus bercerita. “Padahal kirain, kalo kita baik sama mereka, pasti mereka juga akan baik sama kita. Nyatanya enggak, tuh. Mereka semua fake.”
Afreen menggenggam kepalan tangan Kaivan di atas pangkuan pria itu dan tersenyum. “Tapi gak semuanya begitu, kok. Masih banyak teman yang peduli sama kita.” Kaivan terdiam dan menatap tangannya yang digenggam Afreen. “Kamu gak harus ngikutin kemauan mereka untuk bisa berteman. Cukup jadi dirimu sendiri, aja. Teman yang baik itu, yang bisa nerima apapun keadaan kita, bukannya malah justru ngerubah kita. Kalau ngerubahnya dalam hal baik, mah gak masalah, tapi kalau yang gak baik? Nah, itu baru masalah!”
“Menurut kamu begitu?” Afreen mengangguk cepat saat Kaivan bertanya. Lalu hening setelahnya. Kaivan memalingkan wajah ke arah lain dan Afreen menatapnya lekat. “Kamu, kan punya teman.” Spontan Kaivan menatapnya dengan kening berkerut. “Siapa?”
Afreen tersenyum lebar dan mengangkat tangan Kaivan yang ia genggam lalu menggoyangkannya tepat di depan wajah mereka. “Aku!” Kaivan hanya diam menatap Afreen dan tangannya yang digenggam gadis itu. Seolah tersadar dari hal gila yang ia lakukan, Afreen sontak melepaskan tangannya dan memalingkan wajah ke mana saja.
“Terima kasih.”
Dua kata itu membuat Afreen kembali menoleh dan mendapati senyum tipis Kaivan terpatri di sana. Meski tipis, namun membuat Afreen tertular dan ikut tersenyum. Ia baru menyadari, ada untungnya juga hari ini ke toko buku, karena akhirnya bisa bertemu dengan Kaivan.
End.
Cerpen Karangan: Permaisita Tiaras Blog: siaramoon.blogspot.com Halo, salam kenal! Terima kasih sudah membaca cerita saya, semoga kalian suka, ya. Ingin kenal saya lebih dekat? Let’s check this out! IG: permaisita_tiaras Wattpad: Tiarapermai Blog: siaramoon.blogspot.com