Sambil menyeret koper coklat dan sesekali menyedot capuccino cup, aku memasuki sebuah rumah berwarna baby blue, ada kolam ikan kecil di sudut dekat garasi. Secara keseluruhan, rumah ini masih sama persis seperti 18 tahun lalu. Apalagi bayang-bayang masa kecil yang sama sekali tidak ingin kuingat lagi. Bahkan rasanya menyesal pernah memiliki pengalaman menyebalkan itu.
“Jyoti!” Aku menoleh saat suara familiar itu tertangkap telinga, seorang wanita berhijab—Bulik Tuti, setengah berlari lalu dalam sekejap tubuhku sudah berpindah dalam dekapan sayangnya. “Bulik kangen, deh sama kamu.” Tanganku bergerak memeluk balik, “aku juga kangen sama, Bulik.” Ucapku sambil menyusupkan kepala di bahunya. Bulik Tuti lalu melepaskan pelukannya dan menatapku dengan kening berkerut dalam. “Sama Bulik doang? Aska enggak, nih?” Mendengar nama Si Cengeng di sebut, wajahku langsung mendung. Memoriku memutar begitu saja kenangan masa kecil, bahkan aku ragu menyebutnya sebagai kenangan saking suramnya. Itu jauh lebih tepat kalau disebut sebagai penyiksaan.
Masa kecilku dulu, tak pernah jauh dari yang namanya penyiksaan oleh Si Cengeng itu. Padahal dia yang sering menyiksa dan berbuat jahil, tapi dia sendiri justru cengeng. Heran aku. Bahkan bulik dan orangtuaku sapai hafal kebiasaan kami yang satu itu.
Aska kecil memang sangat menyebalkan. Wajahnya yang selalu menyeringai jahil masih kuingat, tubuh kurus kering dan dekilnya juga. Dia dulu susah sekali kalau disuruh mandi, kadang malah seharian tidak mandi dan dia santai saja. Astaga, aku penasaran bagaimana rupa Si Cengeng itu sekarang. Apa dia masih cungkring seperti dulu?
“Sampe kapan kalian mau pelukan kayak Teletubbies di situ?” Suara itu spontan membuat kami—aku dan Bulik Tuti menoleh. Berbeda dengan bulik yang tersenyum lebar menatap putranya datang, aku justru memasang ekspresi datar lalu memindai penampilannya dari bawah ke atas. Satu kata yang detik itu terlintas begitu saja di kepalaku.
Wow! Dia seperti bukan Aska yang kukenal. Lihat penampilannya sekarang, dia jauh lebih keren dan uhuk tampan. Dia tidak lagi kurus kering dan dekil seperti dulu. Kulitnya jauh lebih bersih walau tidak putih, tubuhnya juga lebih berisi dan terlihat kuat, mungkin saja aku bisa bergelantungan di lengan kekarnya. Waw, pikiran gilaku mulai muncul.
“Ka, kamu antar Jyoti ke kamar ya, Ibu mau ke dapur dulu.” Aska hanya mengangguk singkat lalu berlalu begitu saja. Bulik Tuti juga sudah keluar, tanpa pikir panjang aku mengikuti lelaki itu.
“Ini kamar kamu,” aku melangkah masuk ke dalam. Kamar yang sama setiap aku menginap ke rumah Bulik. Tapi yang menyebalkan, karena kamar ini tepat di sebelah kamar Aska. “Enak banget main nyelonong, aja.”
Kuhela nafas pelan dan menoleh, Aska tengah bersedekap sambil bersandar di dinding. Aku menatapnya dengan tatapan jutek seolah bertanya ‘apa?’ kurasa dia mengerti, karena dia langsung melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang. Aku tak mempedulikannya, lebih baik menyusun pakaian lalu mengintip dapur, siapa tahu Bulik Tuti memasak makanan favoritku karena ada aku di sini.
“Jadi…,” aku hanya melirik sekilas saat Aska mulai bicara lalu kembali sibuk dengan pakaian. “Kamu ngungsi ke sini karena mau cari kerja?” Aku diam saja, pertanyaannya itu tak perlu dijawab. Hanya buang-buang waktu. Tapi kurasa salah karena mengacuhkannya, dia justru berkesempatan untuk membuka mulut kembali. “Emangnya di Jakarta yang segede itu gak ada lapangan pekerjaan lagi, sampe-sampe kamu malah mau nyari kerja di desa begini?”
Hening. Tentu saja karena aku tetap diam membisu. Tak sedikitpun ucapannya yang berdiam di telingaku, karena hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Dia berdecak kesal lalu berdiri. “Eh! Kalo ditanya itu jawab, dong!”
Aku tetap diam. Hehe…, seru juga mengerjainya. Aku melirik lewat ekor mata, dia sedang mengacak rambutnya hingga berantakan. “Kayaknya kuping kamu ditinggal di Jakarta deh, makanya gak denger aku ngomong apaan.” “Enak aja! Kalo ngomong itu—” “Apa? Kenyataannya begitu, kan?” Bantal di depanku langsung melayang begitu saja ke wajahnya. Aku tertawa keras sampai tidak sadar kalau tubuhku sudah terbaring di atas ranjang. Masih sambil tertawa, ekor mataku meliriknya yang menatap dongkol—dengan bantal yang tadi kulempar—dia meremasnya kuat.
Entah, tapi aku tidak takut dengan wajahnya yang merah padam karena emosi atau karena bantal yang diremas kuat sampai buku jarinya memutih, tawaku tetap membahana di penjuru kamar. Sampai dia melempar bantal yang diremasnya ke atas ranjang lalu berdesis menyeramkan, “Liat aja, kamu gak bakalan betah di sini!” setelah mengatakan itu, dia melenggang keluar dan membuatku sontak bangun dari rebahan, menatap punggungnya yang menjauh. Kukedikkan bahu acuh lalu kembali memeluk guling.
Solo, atau yang lebih sering disebut dengan nama Surakarta, adalah sebuah kota di provinsi Jawa Tengah yang dikenal sebagai kota budaya. Pada zaman dahulu, Solo masuk dalam wilayah Kerajaan Mataram dan pernah menjadi pusat pemerintahan selain kota Yogyakarta. Namun sejak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti di tahun 1775, Mataram terbagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Ada banyak tempat wisata di kota ini, mulai dari wisata alam, sejarah, budaya, hiburan, hingga edukasi yang pastinya menarik untuk dikunjungi. Dulu saat masih kecil, aku paling suka kalau diajak berkeliling kota Solo dengan bus bertingkat Werkudoro, dan juga menyusuri Sungai Bengawan Solo yang melegenda dengan perahu kayu bersama papa juga Aska. Dan di kota inilah, perjalanan karirku yang menyedihkan akan dimulai.
Bulik Tuti adalah seorang single parent sejak 10 tahun lalu. Suami bulik meninggal karena penyakit jantung. Sedangkan Aska, dia sebenarnya bukan anak kandung bulik, dulu Aska tinggal di panti asuhan dan diadopsi bulik saat usianya masih 6 bulan. Terpaut 5 tahun lebih tua, tidak membuat diriku segan terhadapnya.
Sejak kecil, aku tak pernah suka memanggilnya dengan sebutan mas, walaupun bulik dan orangtuaku sudah sering mengingatkan. Karena bagiku, dia tidak pantas dipanggil dengan sebutan itu. Sikapnya yang seperti iblis benar-benar membuatku menjerit kesal. Sebagai seorang kakak, dia harusnya bisa melindungi dan mengayomi, tapi realita mengatakan sebaliknya. Dia suka sekali berbuat jahil hingga membuatku menangis baru dia merasa puas. Tapi saat kuadukan perbuatannya itu pada bulik, dia justru menangis dan mengelak kalau itu semua bukan perbuatannya. Dan akhirnya, malah aku yang dimarahi mama karena terlalu melebih-lebihkan. What the— benar-benar seorang Aska dan aktingnya yang luar biasa—licik.
2 tahun selepas wisuda sarjana, aku masih saja menganggur. Padahal sudah banyak lamaran yang kukirim kebanyak tempat. Namun satupun tak pernah ada yang berhasil. Pernah satu kali, aku berhasil melamar di sebuah koperasi, namun saat baru sampai tahap wawancara, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja koperasi itu dikabarkan telah ditutup paksa oleh pemerintah karena dianggap ilegal bahkan sempat-sempatnya terdeteksi adanya penggelapan uang di sana. Ya Tuhan, begini sekali nasibku.
Dan dengan baik hatinya, mama menyuruh untuk mencari pekerjaan di Solo saja. Karena Bulik Tuti memiliki butik yang bisa dibilang cukup terkenal di kota itu, lalu juga ada Aska, lelaki itu sudah bekerja tentu saja. Entah apa pekerjaannya, aku tidak pernah tertarik untuk tahu apa pekerjaan lelaki itu. Mama bilang, siapa tahu kantor tempat Aska bekerja membuka lowongan. Kalau tidak ya, bantu-bantu Bulik Tuti di butik dulu.
Bulik Tuti memasak sayur sop dan telur dadar untuk makan malam. Aku hanya membantunya sedikit, karena jujur saja tidak banyak yang bisa kulakukan di tempat favorit kebanyakan wanita itu. Jadi lebih baik, aku duduk manis di depan televisi daripada menghancurkan dapur.
Bulik baru saja pamit untuk menjawab telepon di kamar. Di sini hanya ada aku dan Aska yang masih sibuk dengan piring juga sendok masing-masing. Lelaki itu menghabiskan makanannya lebih dulu. Masih ada sepotong telur di piring, aku melirik Aska dan dia ternyata sedang sibuk dengan ponselnya. Kuanggap saja dia tidak mau telur itu, jadi lebih kuambil. Mubazir kalau dibuang. Tepat saat aku menusukkan telur itu dengan garpu—hendak memindahkannya ke piringku—ada garpu lain di atas telur itu. Spontan aku mendongak lalu menyipitkan mata, “eh, ini punyaku, tau!” pekikku sambil berusaha mendorong telur itu mendekat ke piring milikku dengan garpu. Namun Aska juga menarik telur itu mendekat ke arahnya. “Kamu, kan gak masak, jadi ini buat aku.”
“Tapi aku dapet duluan!” seruku tak mau kalah. Aku menarik piring telur itu mendekat ke arahku. Tapi Aska tetap keras kepala. Dia juga menarik piring telur itu kembali ke tempatnya. “Jangan rakus, nanti kamu gendut, makin gak ada perusahaan yang mau nerima kamu.”
Sekonyong-konyong, akhirnya terjadilah tarik menarik piring telur. Sampai suara bulik mengagetkan kami, hingga tanpa sadar aku melepaskan tarikanku pada piring telur dan Aska langsung melahap telurnya dengan sekali suap. Astaga! Aku benar-benar berharap kalau detik ini dia tersedak. Aku tidak ikhlas!
~ Bersambung
Cerpen Karangan: Permaisita Tiaras Blog: siaramoon.blogspot.com Halo, salam kenal! Terima kasih sudah membaca cerita saya, semoga kalian suka, ya. Ingin kenal saya lebih dekat? Let’s check this out! IG: permaisita_tiaras Wattpad: Tiarapermai Blog: siaramoon.blogspot.com