Siang sekitaran pukul lima, aku beserta keenam sahabatku lagi berkumpul di halaman sekolah SMA Bhakti Saka. Era, Dito, Hanin, Sintya, Varel, dan Letto sengaja tidak langsung pulang, karena masih terasa lelah setelah melakukan serangkaian kegiatan untuk menyiapkan kegiatan perkemahan esok hari.
“Ngomong-ngomong ini sekolahan sudah sepi banget, biasanya sampai magribpun masih banyak yang ekstra.” Ujar Sintya tiba-tiba. Kami berenam serempak melihat sekitaran sekolah, benar. Sekolah sudah sangat sepi hanya tersisa kami bertujuh. Aku dan Hanin, yang emang dasarnya penakut langsung saja bergeser tempat disebelah Letto dan Varel. “Apa-apaan sih kalian berdua.” Ujar Varel yang merasa terusik. Aku dan Hanin menjawab serempak, “Takut.” “Emang dasar penakut.” Ejek Sintya yang berada tidak jauh dari tempat dudukku. “Biarin” Jawabku dan Hanin sambil menjulurkan lidah ke Sintya. “Kalian bertiga tuh hobi banget yaa ribut, berisik tau ngedengernya.” Ujar Dito, yang membuat kami semua langsung diam seketika. Memang diantara kami bertujuh yang paling serius ya Dito, ia juga paling tidak suka ada kegaduhan meskipun kami hanya bercanda.
“Pulang yuk,” Ajak Sintya yang emang rumahnya paling jauh diantara kami. “Nanggung, udah adzan magrib. Sekalian aja habis sholat magrib dulu, lagipula gak boleh lho magrib-magrib melakukan perjalan.” Jawab Varel. “Iya, Pak ustad Varel.”
Kami bertujuh berjalan menuju mushola yang tempatnya agak lumayan jauh dari halaman sekolah. Sayup-sayup terdengar gumuruh hujan, benar saja air dari langit mulai merintik ke bumi. “Yach… hujan.” Ujar Hanin yang mulai merasakan kehadiran hujan. “Disyukuri, Han.” Lagi-lagi Varel mengingatkan. “Iyaa, Pak ustad Varel.” Aku yang mendengar hanya tersenyum.
“Kok, hujannya makin deres ya” Ujarku yang memang agak sedikit phobia dengan hujan. “Udah jangan takut, kan kita semua ada disini. Ra.” Ujar Letto menenangkanku, mereka semua memang sudah tau kalau aku ada phobia hujan. “Iya, Ra.” Hanin dan Sintya memelukku dari samping.
Suara Varel yang sedang mengaji membuatku sedikit tenang, namun disisi lain aku baru sadar bahwa malam ini malam jumat. Seketika itu aku langsung berbisik ke arah Hanin. “Beneran, Ra.” Kaget Hanin. Aku hanya sedikit mengangguk. “Kok baru bilang sekarang, Ra?” “Aku juga baru ingat, Han.”
Karena aku dan Hanin berbisik-bisik dan heboh sediri, Sintya mulai curiga. “Kalian kenapa sih?” Tanya Sintya kepadaku dan juga Hanin. “Malam Jumat kliwon. Sin.” Jawab Hanin “Kalian serius?” Jawab Sintya yang tak kalah hebohnya. Aku dan Hanin mengangguk yakin. “Kita pulang sekarang yuk.” Ajak Sintya “Ini masih hujan, Sin.” Jawab Varel yang sudah ikut bergabung di teras mushola. “Pokoknya pulang sekarang, ayuk.” Kekeh Sintya. Aku dan yang lain mulai cemas, sebenarnya ada apa dengan Sintya. “Kalau kalian masih mau tetap disini nggak papa, aku pulang sendiri.” Sintya sudah siap untuk pulang, ia sudah berlari menuju parkiran untuk mengambil motornya.
“Kalian tadi ngomong apa sama Sintya, sampai dia nekat seperti itu?” Tanya Dito “Malem ini, malem jumat. Dit.” Jawab Hanin. Dito yang mendengarnya juga langsung ikut mengajak kami semua pulang, meskipun hujan lagi deras-derasnya. Aku dan Hanin saling berpegangan, rasa takut sudah menjalur ke seluruh tubuh ditambah hawa dingin yang mulai terasa. Sampai di parkiran, ternyata Sintya juga belum pulang. Ia malah sedang menangis.
“Sin, masih disini?” Tanya Letto, namun Sintya hanya diam saja. Aku dan Varel saling pandang, merasa ada yang aneh dengan Sintya. Aku memberikan kode untuk Varel, karena ia sudah teramat sering menangani hal semacam itu. Varel memang sedikit tau tentang hal gaib. Setelahnya, Varel membaca semacam surat agar Sintya sadar. Namun yang terjadi malah semakin parah. Sintya mendorong Varel hingga terpental lumayan jauh. Dan tiba-tiba Sintya mendekatiku, Aku menutup kedua mata. Teriakan Hanin dan Letto untuk menyuruhku berlari aku hiraukan. Kakiku seolah tidak bisa digerakkan. “Lari, Ra. Ara.. lari.”
Sebisa mungkin aku berjalan mundur untuk menjauh dari Sintya. Karena terlalu gelap aku tidak melihat kalau di belakangku ada kolam ikan, aku terjunggal dan kepalaku terbentur patung air mancur. Darah mengalir segar dari sana, rasa perih menjalur di seluruh tubuhku.
Varel, Ditto dan Letto berusaha menolongku, sedangkan Hanin ia sudah menangis histeris di depan pintu gerbang dekat parkiran. Aku ingin sekali tertawa mendengar tangisannya, namun ini bukan waktu yang tepat untuk tertawa.
Semakin lama kepalaku terasa sangat pusing. Dering telpon bersuara nyaring dari dalam saku, Aku berusaha mengambilnya. Aku terkejut, bagaimna bisa di ponsel itu tertara nama Sintya sedangkan ia berada tidak jauh dariku. Aku mengangkatnya, “Assalamulaikum, Sin.” “Waalaikumussalam, Ra. Kalian cepet pulang dari sana.” Ujar Sintya dengan nada keras dan cemas. “Kamu dimana Sin,?” Tanyaku bingung, kalau yang sedang meneleponku adalah benar sintya lalu siapa yang barusan. “Aku di rumah Pak Salman, dekat sekolah.” Aku langsung mematikan sabungan dari Sintya sepihak. Aku memberitahu Varel dan yang lainnya.
Kami berenam berlari sekencang mungkin, untuk menjauh dari makhluk yang menyerupai Sintya. Lagi-lagi Aku terjatuh, hingga Varel terpaksa menggendongku sampai kami semua keluar dari sekolah itu dan berakhir di depan rumah Pak Salman, Satpam sekolah yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari sekolahan.
Sintya yang melihat kami, langsung menhampiri. “Kalian baik-baik saja kan.” “Kenapa kamu tidak bilang terus terang sih, Sin. Kasihan Ara, ia sampai terjunggal dan berdarah.” Ujar Hanin masih dengan tangisnya. “Maaf.” “Sudah-sudah.” Pak Salman datang dari dalam rumah dan menengahi perdebatan kami.
Kita semua sudah aman di dalam rumah pak Salman. Sembari mendengarkan cerita horror tentang sekolahn itu dari pak Salman Sintya dan Hanin begitu telaten menggobati kepalaku yang berdarah Akibat benturan tadi. “Besok-besok, kalau memang sudah jam nya pulang langsung pulang. Kalau kalian mau ngobrol tau ada sesuatu yang harus diselesaikan segera lebih baik kalian ke rumah bapak saja tidak maslah, bapak malah seneng ada banyak teman.” Ujar Pak Salman memperingati. “Siap Pak.” Jwab kami serentak.
Karena teringat dengan suara tangisan Hanin tadi aku jadi kelepasan tertawa, hingga semua mata tertuju padaku. “Eh, Aku hanya lucu saja teringat suara menangis Hanin tadi.” Aku tersenyum dan mengankat dua jari menjukan tanda piss. Hanin yang tidak terima ditertawakan ia menjitak kepalaku yang sakit. “Aww.” “Eh, sorry. Ra, sengaja.” Tawa menghiasi seisi ruangan rumah Pak Salman.
Cerpen Karangan: Siti Qodiriyah Siti Qodiriyah, lahir 06 Januari 2000 di Demak, Jawa Tengah. Tercatat sebagai mahasiswa Universitas Wahid Hasyim Semarang. Jejak bisa di temukan di akun Instagram @diyahzfq__ dan alamat gmail qodiriyahs[-at-]gmail.com. “Kau tau mengapa saat kau menatap langit hatimu merasa damai dan tenang? Sebab, ketika yang dibumi tidak lagi peduli denganmu, yang dilangit masih sangat menyanyangimu dan akan selalu ada ruang untukmu mengadu Kepada-Nya.” – diyahzfq