Aku ingin berbagi sedikit kisah dari jendela putih abu-abu yang seharusnya menjadi masa-masa paling menyenangkan, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Hari ini sekolah kami kedatangan guru Matematika baru, karena guru kami yang lama harus pindah dengan alasan yang tidak kami tahu. Kepindahannya juga sangat mendadak. Sungguh menyedihkan sekali, kami harus kehilangan guru favorit sekaligus guru kesayangan kami semuanya, Pak Iwan.
Pagi ini seperti biasanya, kami punya aktivitas masing-masing di kelas. Bagi yang sudah selesai mengerjakan tugas maka sibuk main gadget, ada juga yang membaca buku, baca novel, ngaji, dan sebagian yang lain sibuk meminjam buku teman untuk menyalin tugas mereka. Sementara aku juga masih sibuk dengan gadget, bukan karena sudah selesai mengerjakan tugas, namun tentu saja karena yang akan masuk kelas pagi ini bukan Pak Iwan, tapi guru baru yang sampai saat ini kami belum tau bagaimana rupanya.
“Assalamu’alaikum!” Seraya menjawab salam dari guru baru tersebut, kami semua berlarian menuju tempat duduk masing-masing. Setelah berdoa, guru baru tersebut berjalan dan mengambil posisi tepat di tengah-tengah kelas. Sementara aku masih sibuk dengan gadget di tanganku. Bermain games yang memang sudah menjadi candu. Andai saja yang masuk adalah Pak Iwan, maka handphone ini sudah aku masukkan ke dalam tas dengan mode silent.
“Ananda yang di pojok belakang, handphone-nya bisa disimpan dulu!” Sontak aku langsung kaget, namun aku juga tidak mempedulikan teguran dari guru baru tersebut. Aku lebih memilih izin keluar kelas dengan alasan ke toilet. Meskipun sebenarnya tidak mendapat izin, aku tetap keluar. Aku sama sekali tidak mempedulikan larangan dari guru baru tersebut.
Sekitar dua jam pembelajaran aku hanya nongkrong di kantin belakang. Bel ketiga berbunyi, yang artinya jam pembelajaran Matematika sudah berakhir. Aku bergegas kembali menuju kelas. Tidak disangka ketika menuju kelas, aku harus berpapasan dengan guru baru tersebut.
“Nayla, tadi katanya cuma izin sebentar, tapi kenapa sampai jam pembelajaran ibuk berakhir, kamu tidak masuk. Apa kamu sakit, bibir kamu pucat?” “Pertama, ibuk tidak usah sok kenal dengan saya, yang kedua ibuk tidak usah sok peduli!”, ujarku dengan kesal dan pergi meninggalkan guru baru itu.
Pada saat jam istirahat, teman-temanku menceritakan tentang semua hal terkait guru baru tersebut yang kata mereka namanya adalah Buk Rindu. Mereka juga menceritakan alasan kenapa dia bisa menggantikan posisi Pak Iwan. Namun aku tidak tertarik sama sekali untuk mendengarkan celoteh tidak penting tentang guru baru itu, karena yang aku rasakan saat itu hanyalah kebencian. Kalau bukan karena dia, mungkin Pak Iwan masih mengajar di sekolah ini.
Hari kedua sebelum pulang aku ditahan di kelas, karena ulahku kemaren yang cabut pada jam pelajarannya. Wajar saja sebenarnya dia menegurku, karena toh dia juga sama dengan guru-guru lainnya yang akan memarahi siswa pada saat mereka datang terlambat, cabut dan lain sebagainya tanpa tahu apa penyebab siswanya melakukan tindakan demikian.
“Nayla, ibuk mau minta waktunya sebentar. Pertama ibuk minta maaf karena sudah sok kenal dengan kamu, dan yang kedua ibuk juga mau minta maaf karena sudah sok tahu dengan keadaanmu. Tapi sebagai seorang guru, tentu ibuk peduli dengan siswa-siswa ibuk siapapun orangnya!”
Sebenarnya aku cukup kaget, semua benar-benar tidak sesuai dengan ekspektasi. Aku pikir dia akan langsung marah-marah seperti yang kebanyakan dilakukan oleh guru-guru lain. Namun justru ternyata dia malah minta maaf. Tapi aku yakin dia hanya sedang mencoba mengambil hatiku saja, karena mau berusaha agar aku bisa menerimanya sebagai pengganti Pak Iwan.
“Nayla, kenapa kamu diam aja. Apa perkataan ibuk tadi kurang jelas. Perlu ibuk ulang nak?” “Gak perlu buk, saya gak budeg kok buk. Kedua telinga saya masih berfungsi dengan normal!”, ujarku seraya berlalu pergi meninggalkan kelas. “Nayla.. Tunggu dulu, ibuk belum selesai ngomongnya!” Aku mendengar dengan sangat jelas panggilannya. Namun aku tidak peduli sama sekali. Aku hanya ingin dia sadar, bahwa aku seperti ini karena tidak suka dengan kedatangannya yang membuat Pak Iwan harus pindah.
Malam ini seperti biasanya, rumah Laura selalu menjadi tempat nongkrong bagi aku dan lima teman lainnya yaitu Arvin, Digo, Vania, Aisyah dan tentu saja Laura sebagai orang yang punya rumah. Tapi malam ini aku tidak terlalu tertarik untuk memainkan senar gitarku. Aku justru ingin menyampaikan rencana besarku kepada mereka. Aku merencanakan sesuatu pada saat pembelajaran dengan Buk Rindu Hari Sabtu besok. Teman-temanku pada awalnya menolak. Namun bukan Nayla namanya jika aku tidak bisa mempengaruhi teman-temanku.
Bertepatan dengan Hari Sabtu kami melancarkan aksi yang sudah direncanakan. Setelah pembelajaran Sejarah berakhir, kami semua kompak untuk meninggalkan kelas karena setelah ini adalah pembelajaran Matematika dengan Buk Rindu. Tapi sayangnya ada beberapa siswa sok rajin yang tidak mau diajak kompromi. Mereka memilih untuk tetap stay dan belajar dengan Buk Rindu. Dasar mereka, padahal tadi sudah sama-sama setuju.
Akibat ulah kami yang cabut berjama’ah, Buk Rindu dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Aku sangat senang sekali karena pasti setelah ini Buk Rindu akan dipecat. Namun kenyataannya justru tidak sesuai lagi dengan ekspektasiku. Kepala sekolah pada akhirnya tahu, bahwa kejadian cabut berjama’ah tersebut terjadi karena ideku. Belum lama menikmati euforia kesenangan, aku harus menerima kenyataan bahwa aku harus diskors selama 3 hari sebagai sanksi akibat ulahku kemaren. Semua ini membuat aku tambah benci dengan guru baru bernama Buk Rindu tersebut.
Hal yang tak kusangka terjadi, pada hari Selasa sekitar jam 3 sore Buk Rindu datang ke rumahku. Dia membawakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dan catatan yang tadi dipelajari di sekolah. Hal ini kembali terjadi pada hari kedua dan ketiga selama aku masih diskors. Namun aku tidak pernah mau untuk menemuinya, aku selalu menyuruh pembantuku untuk menemui Buk Rindu.
Pada malam harinya Buk Rindu juga mengirim pesan singkat kepadaku. Isi pesannnya yaitu mengingatkanku untuk membawa semua tugas dan catatan selama aku diskors, dia juga mengingatkan aku supaya besok pagi tidak terlambat karena akan diadakan kuis Matematika. Aku hanya membaca pesan tersebut walaupun sebenarnya aku harus mengucapkan terimakasih karena sudah diingatkan, namun tentu hal itu mustahil aku lakukan.
Keesokan harinya pada saat aku menuju ke sekolah, aku melihat orang sangat ramai berkumpul di persimpangan lampu merah. Sepertinya ada peristiwa kecelakaan, namun aku tidak mempedulikannya karena takut terlambat. Bukan karena ingin cepat bertemu Buk Rindu, namun aku hanya teramat kangen dengan suasana di kelas apalagi pada saat pagi hari. Buk Rindu seharusnya sudah masuk ke kelas kami dari 30 menit yang lalu. Namun sampai sekarang dia belum datang. Sampai pada akhirnya wakil kepala sekolah masuk dan mengumumkan bahwa Buk Rindu kecelakaan dan meninggal dunia di tempat. Sontak aku langsung ingat kejadian kecelakaan yang aku lihat tadi pagi, sudah bisa dipastikan bahwa orang itu adalah Buk Rindu. Ada sesal mendalam di hatiku. Andai tadi aku berhenti dan ikut menolong, mungkin Buk Rindu tidak harus meninggal.
Air mata kami tidak bisa dibendung, termasuk aku. Walaupun kami belum lama mengenal Buk Rindu dan walaupun aku sangat benci padanya, namun harus kehilangan Buk Rindu untuk selamanya juga tidak pernah aku inginkan, karena aku yakin sikap yang selama ini kami tunjukkan adalah hal wajar dari seorang siswa yang sudah terlanjur sayang sama gurunya. Sehingga tidak rela bila posisinya harus digantikan oleh guru lain.
Sesampainya di rumah duka, aku benar-benar tidak menyangka bahwa Buk Rindu sudah terbujur kaku. Ada penyesalan sangat mendalam di hatiku, terutama karena selama ini teramat benci pada Buk Rindu karena beranggapan kedatangnnya membuat Pak Iwan harus pindah. Hal yang lebih kusesalkan lagi adalah karena tadi pagi aku tidak membantunya. Andai saja aku tadi berhenti dan menolong Buk Rindu, mungkin aku tidak harus melihatnya terbujur kaku seperti sekarang.
Buk Rindu sekarang sudah tenang disana. Buk Rindu guru yang baik dan sangat peduli dengan siswanya, aku saja yang selama ini terlalu egois. Seharusnya dari awal aku mendengarkan penjelasan Buk Rindu, bahwa kedatangannya ke sekolah kami bukanlah menjadi penyebab Pak Iwan pindah. Pak Iwan pindah tugas karena memang dia diterima di tempat kerja yang baru. Dia lebih memilih tempat kerja barunya dibandingkan kami siswa-siswinya.
Aku mendekap erat surat pemberian Buk Rindu yang dititipkannya pada Arvin yang aku tidak tahu kapan dia menulisnya. Aku sebagai orang yang selama ini paling tidak suka dengannya, adalah orang yang paling rindu dengan sosoknya. Belum pernah selama ini aku menemui guru yang benar-benar peduli dengan siswa sepertiku, yang suka cabut, membolos dan bahkan sering bikin onar di sekolah bersama teman-teman laki-laki. Namun dia tidak pernah membedakan perlakuannya kepada siapapun.
Terimakasih Buk Rindu, atas Pertemuan singkat yang telah berhasil menularkan banyak energi positif pada kami. Maafkan aku yang selama ini justru menjadi siswa yang tidak berguna dan menjadi buta dan tuli atas nasehat dan kasih sayang yang ibuk berikan. I miss u Buk Rindu, kami akan selalu mengenang jasamu selamanya. Semoga ibuk tenang disisi-Nya.
Cerpen Karangan: Nani Wijaya Blog / Facebook: Nani Wijaya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com