Be yourself! Begitulah bunyi kalimat itu di sampul binder Fania, masih sama dan tidak akan pernah berubah. Fania menundukkan kepala, meremas rok sekolahnya yang sempit karena badannya yang kian membesar. Bersama bel istirahat yang baru saja berbunyi, hatinya patah karena satu pertanyaan yang diterima dari teman sebangkunya.
“Emang, di dunia ini siapa yang mencintai kamu?” tanyanya dengan candaan. Satu pertanyaan itu bukan apa-apa bagi kebanyakan orang, namun bagi Fania adalah sebuah kutukan yang sebenarnya selama ini juga ia tanyakan. Siapa yang mencintainya? ayah ibu? Tidak, bahkan Fania kerap kali mendapatkan perlakuan beda di rumahnya. Mungkin, tidak ada yang mencintainya di dunia ini, mungkin beberapa orang tidak pernah mengharapkan kehadirannya.
Hingga waktu istirahat usai. Beberapa anak segera masuk ke kelas untuk mendapatkan hak mereka di mata pelajaran berikutnya. “Hari ini Pak Damar ada rapat, dan kita semua diberi tugas untuk membuat tugas berupa unggah foto ke media sosial, dengan caption beberapa materi yang kita dapatkan di pertemuan lalu,” ucap Dika-ketua kelas XII MIA 8. Semua siswa mengiyakan, dan melakukan aktivitas mereka yang mereka minati.
Jemari itu terus menari di atas keyboard, lalu menggeser mouse di sisi mejanya dan kembali berfokus pada layar monitor yang memperlihatkan foto seorang gadis berusia 17 tahun. Bibir tebal itu dieditnya sedemikian rupa menjadi bibir tipis dengan skill editan yang dimilikinya. Fania menambah kecerahan untuk menutupi wajah gelapnya, dan meniruskan pipinya yang menggembung hingga membentuk kotak pada wajahnya.
Send! Fania mengusaikan tugasnya tepat pada waktu. Foto itu adalah foto dirinya yang baru saja diambil beberapa menit lalu, yang sudah dieditnya dengan melalui beberapa kolom editan. Gadis itu membanting badannya ke tempat tidur, memejamkan mata dan membiarkan beberapa hal di hari ini berlalu dengan tenang.
“Kakak kenapa?” Pintu terbuka secara kasar. Fania membuka mata yang baru saja terpejam, dan melihat Dania-adik sulungnya yang berjarak dua tahun dengannya. “Ada apa Dan?” tanya Fania dengan raut muka heran. Dania memberikan hp kepada Fania, menunjukkan foto yang tadi diunggahnya. “Lalu masalahnya?” tanya Fania tidak paham. “Kak, ini sama sekali bukan Kakak.” “Itu aku Dan.” “Ini bukan Kakak,” ucap Dania dengan helaan napas pendek. Gadis itu duduk dengan tenang di depan kakaknya, menatap lekat mata cokelat milik Fania. “Aku jelek ya Dan?” Dania menggeleng dan menenangkan kakaknya yang tidak pernah melihat dirinya sendiri. Fania berdiri, berjalan ke arah cermin yang memantulkan raganya. “Aku jelek Dan.” “Kak, kakak itu cantik,” ucap Dania memegang bahu belakang Fania. Fania menggelengkan kepala, menolak ucapan tenang dari adiknya. “Dan, stop membicarakan sebuah kebohongan. Kamu ga perlu repot-repot menenangkanku dengan ucapanmu barusan. Semua orang tahu kok, kalau aku tidak cantik, aku berbeda dari kalian. Aku juga tidak pintar, bahkan aku terbelakang di kelas.”
“Cantik itu bagaimana sih kak?” tanya Dania usai mendengarkan tuturan Fania. Keduanya saling menatap, memberikan jawaban dari pikiran masing-masing kepala. “Cantik itu pembawaan kak. Selama ini aku melihat kakak bisa membawa diri ke mana saja.” Fania mengalihkan wajah atas tanggapan adiknya itu. “Sudah, kakak mau tidur.” “Kak, dengarkan ini sebentar. Kakak cantik beneran, yang bermasalah itu di hati kakak. Kakak ga pernah menerima kehadiran diri kakak sendiri.” “Dan, orang-orang saja tidak pernah menerimaku,” eluh Fania kepada adiknya. Fania tertunduk sendu. Sebenarnya ia mengiyakan ucapan yang dilontarkan oleh Dania, namun hatinya telah keras dengan lingkungan yang tidak pernah menganggapnya ada.
“Lalu, jika hanya bergantung pada orang lain kapan kita akan mengerti tentang memahami kak?” kedua kakak beradik itu melempar pandangan mereka ke jendela. Di luar awan begitu tebal, hujan turun dengan derasnya, hingga mengganggu beberapa aktivitas di luar. Namun bagaimanapun, kebanyakan orang masih juga menerimanya, walaupun satu hingga dua orang ada yang mengutuk kedatangan hujan deras itu. “Bagaimana mengandalkan diri sendiri?” tanya Fania.
Menerima diri sendiri bukan suatu hal yang mudah. Akrab dengan kekurangan yang bersanding dengan kelebihan orang lain merupakan kesusahan yang sukar untuk diterima. Berlebih menerima kritikan atas tubuh yang bukan suatu hal yang diinginkan. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah berdamai. Berdamai dengan diri sendiri yang menjadi tantangan.
“Ada di sini,” ucap Dania menunjuk ke dadanya, tepat pada jantung melambangkan ketulusan, “juga di sini.” Dania meletakkan jari telunjuk di kepalanya. “Ada yang bertanya Dan. Katanya siapa yang paling mencintaiku?” “Tentu jawabannya adalah diri kakak sendiri. Sudah berapa lama kakak membenci diri kakak yang tidak pernah membuat kesalahan?” Fania diam menanggapi pertanyaan Dania. “Sekarang waktunya untuk mencintai kak, dimulai dengan menerima.” “Kenapa adikku lebih dewasa dariku, astaga.” Keduanya tertawa atas penutup cerita di ruang kamar pukul empat sore itu.
Be yourself! Tulisan itu masih juga sama seperti hari kemarin, namun yang membedakannya hanyalah perasaan Fania yang sudah membukakan diri untuk dirinya sendiri. “Siapa yang mencintaimu?” tanya Fania kepada Ela. Ela diam dan terkejut atas pertanyaan yang diterimanya tiba-tiba. “Hahaha, aduh kasian. Tidak adakah yang mencintaimu di dunia ini?” tanya Fania dengan bahakan yang disaksikan tiga puluh empat siswa.
Cerpen Karangan: Nana