Aku, Firza, Faris, dan Hendra sedang menyusuri trotoar depan sekolah. Firza dengan sepatu mahalnya dan Hendra dengan sepatu butut yang dibelikan Firza. Kita berempat menuju rumah Firza. Sekedar untuk bermain-main saja. Karena rumah Firza dekat dengan sekolah dan fasilitasnya sangat komplit.
“Tiiiinnn” suara klakson dari pemotor yang nekad lewat trotoar. Sebenarnya kami marah, tapi setelah melihat pemotor itu adalah ibu-ibu, kami tahan. Cuman Faris yang nekad meludah ke arah ibu-ibu itu. Tapi dia belum mengumpukan ludah yang cukup. Jadi yang keluar butir-butir kecil ludah yang tertiup angin dan malah kena kami sendiri. Tapi perhatian Hendra malah ke gadis yang dibonceng ibu-ibu itu, cantik sekali. Memang Hendra ini playboy. Playboy yang lebih sering sakit hati daripada nyakitin hati orang.
Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya kita sampai. Aku asik menulis cerpen untuk dipajang di mading. Maklum, cupu-cupu gini aku sering dijuluki sebagai penguasa mading. Hampir semua tulisan di mading adalah karyaku. Mulai dari cerpen hingga puisi. Kecuali foto, karena itu adalah hasil jepretan Firza dan kamera mahalnya. Dan sekarang, Firza sedang sibuk memilih foto jepretannya untuk dipajang di mading. Sedangkan Faris dan Hendra sedang bermain game Pro Evolution Soccer di PS3 milik Firza. Faris bermain sambil bacot. Mulutnya memang bocor. Bahkan, kita berempat pernah hampir dikeroyok anak futsal yang habis kalah turnamen gara-gara mulutnya. Dia bilang mendingan anak-anak futsal ikut ekskul balet. Untung saja Firza menyogok mereka dengan uang 100 ribu.
Keesokannya, Hendra tak terlihat di kelas. “Fir, telpon si Hendra dong.” Ucapku “Ah, palingan besok udah berangkat.” “Telpon aja apa susahnya. Takutnya dia itu lagi sakit, soalnya nggak mungkin dia nggak berangkat gara-gara nyari gunting kuku” Kata Faris, ngasal. Karena tekanan yang berlebih dariku dan Faris, akhirnya Firza menelepon Hendra. Pada telepon itu Hendra bilang kalau dia sakit. Waktu kita bilang bakal jenguk, dia tidak memperbolehkan. Katanya sakitnya tidak terlalu parah, paling 2-3 hari sudah sembuh.
Hari ini adalah hari ketiga Hendra tidak masuk sekolah. Aku, Firza, dan Faris sedang nongkrong di depan kelas. Terlihat Bella si bendahara kelas berjalan keluar kelas membawa buku catatan. Sudah jelas kalau itu adalah buku kas. Aku dan Faris sudah nunggak beberapa kali. Dan saat ini kami belum punya uang. Cuma Firza yang punya. Jadi, aku dan Faris lari ke kantin, mumpung Bella belum datang. Padahal bayar uang kas bisa bermanfat untuk satu kelas. Sedangkan ke kantin Cuma bermanfaat untuk satu menit, habis itu lapar lagi.
Bel masuk berbunyi. Aku dan Faris kembali ke kelas. Terlihat wajah Firza sangat aneh. “Ada apa Fir? Kok mukamu gitu?” Tanyaku. “Nanti aja ceritanya pas istirahat kedua. Soalnya panjang.” Aku dan Hendra mengiyakan. Kami bingung karena paling masalahnya Cuma Bella menagih kasku dan Faris ke Firza.
Pelajaran membosankan ini sudah berakhir. “Udah istirahat nih, Cepet cerita.” Ucapku. “Tadi Bella nyariin Hendra.” “Busyet. Ada juga yang kecantol.” Ucap Faris. “Bukan gitu. Jadi gini, kalian tahu nggak? Alasan sebenarnya kenapa Hendra lama nggak masuk.” “Mungkin sakitnya parah.” Ucap Faris. “Bukan, dia nggak masuk karena dia punya utang sama kas kelas. Dan 3 hari yang lalu adalah deadline dia harus bayar semuanya.” “Emang berapa utangnya sampai-sampai takut masuk sekolah.” Ucapku. “Nggak sedikit, 500 ribu. Jadi, sepulang sekolah nanti kita ke rumah Hendra. Semoga ada yang bisa kita bantu.”
Kita bertiga menaiki bus ke rumah Hendra. Firza mukanya lebih asem dari pada uang kertas 2000 an. Karena dia biasa naik mobil pribadi. Setelah turun dari bus, kita harus berjalan sebentar, baru sampai di rumah Hendra. Kita mengetuk pintu dan seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Tentu saja dia adalah ibunya Hendra. “Hendra ada di rumah bu?” Tanya Firza. Lalu ibu itu memersilahkan kami bertiga mesuk sementara dia memanggil Hendra.
Hendra terlihat lesu sekali. Tapi bukan seperti orang sakit, melainkan lebih seperti tukang cangcimen di terminal. “Aku kan udah bilang, nggak usah dijenguk.” Ucap Hendra. “Kita udah tahu semuanya Dra. Dan kita ke sini mau menawarkan bantuan.” Ucapku. “Kasih tahu kita Dra. Kenapa kamu bisa utang sebanyak itu?” Sambung Firza. “Kalian udah tahu kalau selama ini ibuku udah nggak didampingi bapak. Dan dia cuman kerja sebagai tukang cuci gosok. Akhir-akhir ini, hampir semua orang punya mesin cuci. Jadi jasa ibuku udah nggak dibutuhin.” Jawab Hendra dengan mata berkaca-kaca. Tapi tetap tersenyum supaya teman-temannya tidak turut bersedih.
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu sih. Kalau kamu bilang, harusnya kamu nggak ngutang. Mending kamu colong, toh duitnya nggak kepakai benget ini.” Ucap Faris, meresahkan. “Jangan didengerin Dra. Terus sekarang kamu makan dari mana?” Tanyaku. “Aku jualan gorengan di terminal. Ibuku di sekeliling kampung, soalnya udah tua. Kita sebenarnya pingin nitip ke kantin, tapi di kantin udah ada yang nitip duluan.” Ucap Hendra dengan pandangan tidak seperti biasanya. Kita memberi saran agar dia menjual gorengan di sekolah. Tidak perlu di kantin, dibawa aja ke kelas. Dan kita suruh dia untuk menjelaskan keaadaanya kepada Bella. Pasti dia paham, meski galak, dia juga punya hewan peliharaan yang nggak kalah galaknya.
Besoknya Hendra sudah kembali masuk sekolah. Membawa gorengan yang akan dia jual. Aku menempelkan poster untuk memromosikan gorengan Hendra. Tapi ternyata sia-sia. Yang beli gorengannya cuman aku, Firza, Faris, dan Bella. Sampai pulang sekolah, tidak ada yang membeli lagi. Kini gorengannya dingin. Aku pikir dia akan ke terminal sepulang sekolah, untuk menjual gorengannya. Tapi ternyata tidak, Dia membagikannya dengan teman-teman sekelas. Aku, Firza, dan Faris tentu merasa sangat kagum karena kebaikannya. Tapi kita juga merasa bersalah karena saran kami menyesatkan.
Kita berempat berdiri di halte bus. Menuju ke rumah Hendra untuk menemaninya dan sebagai permintaan minta maaf kami. Di sepanjang perjalanan kita berempat hanya diam saja. Tidak seperti biasanya. Cuman Hendra yang masih tersenyum-senyum. Bukan karena tidak sedih, tapi karena dia duduk di sebelah Linda, anak kelas sebelah. Sambil sesekali mengobrol. Sial, dia yang susah, kenapa aku, Faris, dan Firza yang beban. Tak lama kami turun dari bus. Meninggalkan Linda yang terus memandangi Hendra. Lalu berjalan dan sampai di rumah Hendra.
Hendra mengetuk pintu yang langsung dibukakan oleh ibunya dan senyum lebarnya. Mungkin dia pikir Hendra pulang membawa banyak uang dan gorengannya habis. Kami berempat merasa sangat tidak enak. Tapi betapa mengejutkannya ketika di belakang ibunya Hendra ada laki-laki paruh baya berjalan mendekati pintu. Laki-laki itu adalah Pak Pujo, guru fisika kami. Guru paling baik yang pernah kami kenal. Lalu ibunya Hendra bilang bahwa ia akan menikah dengan Pak Pujo, jadi Hendra tak perlu jualan gorengan lagi. Karena Pak Pujo yang akan membiayai hidup Hendra dan keluarganya.
Oh iya, kalian tahu namaku ya? Kenalin aku Sudirman, temannya Firza, Faris, dan Hendra. Sorry ya, baru bilang. Tadi sibuk banget soalnya. Tapi kalian enjoy kan? Makasih udah baca.
Cerpen Karangan: Fadil Nursami Blog / Facebook: Fadil Nursami Fadil Nursami, lahir di Sukoharjo 04 Agustus 2005. Saat ini sedang menempuh pendidikan di SMAN 1 Simo, Boyolali, Jawa Tengah.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com