Derapan langkah kakiku menggendang di telingaku. Guratan kekecewaan tergambar di wajahku. Aku merasa gagal menjadi anak yang baik pada orangtua.
Hembusan angin menggerakkan rambutku, aku tengah duduk di sebuah bangku taman bermain. Aku memandangi anak-anak dengan girang bermain dengan orangtua mereka.
Aku Riko, bayangan kejadian seminggu yang lalu itu masih berbekas di benakku. Saat itu aku dan ibuku sedang berjalan bersama, mmengitari jalanan yang penuh dengan insan. Dengan hati yang tulus, ibuku menggenggam jari jemari anaknya yang masih berusia 7 tahun. Dan ayahku sudah lama meninggal sejak aku berusia 2 bulan.
Ibu adalah seorang pahlawan bagiku. Di mana aku sedang bersedih, beliau selalu menghiburku. Saat aku terluka ia juga yang mengobatiku. Aku tidak yakin, apakah aku bisa membalas jasa ibu? Saat aku demam ibulah yang kerap mengompresku, dan selalu menemaniku. Hanyalah ibu. Saat ini aku sedang duduk bersama ibu di bangku taman.
“Ibu Riko mau beli jajan, boleh gak bu?” tanyaku. Dengan wajah ramah, bak malaikat ibuku menjawab, “Boleh yuk kita beli.” “Ya bu,” kataku.
Kami berjalan menyeberangi jalan raya. Setelah itu ibukupun membeli jajan untukku. Kemudian aku berjalan sendiri di pinggi jalan dan ibuku menuntunku dari belakang. Tiba-tiba suara klakson menggetarkan telinga. Entah mengapa sebuah kereta melaju dan hendak menabrakku.
“Riko awas!” sebuah tangan menolak tubuhku untuk menghindar. Hantaman kereta itu menabrak ibuku. Seseorang yang mengendarai kereta itu menghidupkan mesinnya dan langsung malaju, ia tak mau bertanggung jawab.
Aku lihat ibuku terbaring tak sedarkan diri di jalan. Aku menghampirinya, dan memeluk tubuhnya. “Ibu… bangun bu..” aku terisak. Namun tak ada jawaban. Sampai seorang Pemuda menghampiri kami. Ia menanyakan kenapa dengan ibuku, kemudian aku menceritakan apa yang terjadi. Pemuda itu pun memeriksa detak jantung ibu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Innalillahi wainnalillahi rha ji’un… yang sabar ya dek ibu kamu udah meninggal.” Mendengar perkataan itu akupun menangis dan memeluk ibu. Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Aku berdiri dan meratapi pusara ibuku, terlalu cepat Tuhan memanggilnya. Aku sungguh sedih atas kepergian seorang pahlawan yang sangat berjasa bagi hidupku.
“Hai, kamu kenapa sedih?” seseorang menepuk pundakku, dan membuyarkanku dari lamunannku. Aku mendongak, dan seorang gadis sebayaku sedang duduk di sampingku. Aku mengusap air mataku, “gak, aku cuma ngantuk aja.” “Jangan bohong deh, aku tau kamu sedih, terlihat dari wajah kamu.” Karena aku tak tega melihat wajah perempuan kecil ini, akupun menceritakan keluh kesahku.
Beberapa saat kemudian. Aku lihat di sela matanya mulai berkaca mendengar ceritaku. “Kamu yang sabar ya. Kamu mau gak jadi sahabat aku?” “Baiklah, aku mau. Tapi sebelumnya nama kamu siapa?” Gadis kecil itu mengulurkan tangannya, “Nama aku Aya.” Aku membalas uluran tangannya, “Namaku Riko.” Kemudian kami mengaitkan kelingking kami, “Sahabat!”
Itulah kisahku, mungkin kehilangan orang yang kita sayangi memang sakit. Namun kita harus bersabar, sampai ada seseorang yang memggati orang tersebut yang selalu ada dalam suka dan duka. Kalau tidak ada? Kan masih ada Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
WASSALAM!
Cerpen Karangan: Tinta Hitam
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com