Aku layaknya sebatang kara. Walau memiliki ayah, tangguh dan sayang padaku. Hidup ini bukan tentang seberapa besar aku harus bahagia setelah kehilangan seseorang yang aku cintai. Aku pun berdoa pada Tuhan agar memberiku kebahagiaan lain. Tapi, aku masih menyangkal bila kebahagiaan yang ada padaku selama ini adalah sebuah konspirasi yang bila sesekali aku memikirkannya, rasa bahagia itu seolah semu.
—
Sebagai siswa baru di SMA Dinamika Bangsa aku cukup kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sekarang. Seminggu menginjakkan kaki di lantai dua. Belum ada satupun teman yang bisa kudekati, bukan karena aku pemilih. Hanya saja aku sengaja menunggu seseorang yang mungkin bisa menjadi tameng sehingga di tempat ini aku merasa jauh lebih nyaman. Sebab saat ini kondisi hati dan jiwaku masih dalam keadaan terguncang.
Kemarin aku melihat seorang siswa di kelas sebelah yang menyapku. Sekilas aku melihat papan nama di seragamnya, Firansyah. Dari yang kudengar dia adalah wakil ketua OSIS dan cukup disegani di sekolah ini, bahkan namanya populer sampai ke sekolah lain. Temannya banyak. Dari yang kuamati Firansyah memang supel dan periang. Ketika siang yang terik menyengat kulitku, dia datang membawa dua buah teh kotak seraya melemparkan satu kepadaku.
“Makasih,” lirihku lalu duduk di bawah pohon akasia di depan ruang TU. “Minggu depan sekolah ada kamping. Acaranya mungkin satu minggu lebih. Acara rutin sebelum ujian semester. Mau ikut gak?” “Emang boleh?” aku kan murid baru. “Tenang, aku yang atur. Minta nomor hape kamu, apa aja yang perlu kamu tahu nanti aku kabari…”
Pembicaraan pertamaku dengannya siang itu terasa sangat berbeda. Seolah aku dengan Firansyah sudah kenal sangat lama. Bisa jadi pula karena pembawaannya yang memang elegan, sehingga aku merasa nyaman. Entahlah. Aku berharap dia bisa menjadi teman sekaligus orang yang menjaga rahasiaku nantinya. Sepanjang jam istirahat kedua pada siang itu setitik harapan kudapatkan darinya, terbenak aku ingin dia menjadi teman baikku. Apapun caranya. Aku yakin dialah orang yang tepat.
Pagi ini Firansyah terlihat agak sedikit berbeda. Wajahnya tak seceria sebelumnya. Aku tahu dia ada masalah walau entah apa, yang jelas dia pasti sedang tidak nyaman. Sebenarnya aku ingin sekali tahu apa sekiranya yang membuat mukanya muram. Sungguh, melihat seseorang yang biasa ceria lalu berubah begitu rasanya tidak enak dipandang. Karena belum terlalu mengenalnya, aku tidak mau ikut campur meski sekali lagi sebenarnya aku sangat ingin tahu.
Mungkin inilah jawaban hatiku.
Ketika aku berharap memiliki teman baik. Saat aku penasaran dengan hal yang menimpa Firansyah, akhirnya sore setelah pulang sekolah dia memintaku menemuinya di dekat halaman parkir, dia bilang sangat membutuhkan bantuanku. Maka ketika kami bertemu dia meminta ijinku tinggal beberapa hari saja karena dia sedang tidak ingin pulang ke rumah. Jelas dia ada masalah serius. Aku tidak masalah asal dia mau saja. Firansyah tidak keberatan sama sekali dia malah senang dan berterima kasih padaku. Lalu, pada malam harinya kami makan malam berdua. Ayahku masih di Bandung karena ada urusan yang baru akan selesai bulan depan.
“Kamu di sini tinggal sendirian?” Firansyah sedikit tidak percaya. “Ada bibi yang kerja di sini, tapi tiap sore pulang.” “Ayah kamu di Bandung, terus ibumu?” lanjutnya dengan wajah ceria.
Mendadak aku menelan ludah. Selera makanku sejenak berkurang meski lauk pauk sangat kusukai di meja makan. Kujelaskan padanya dengan nada agak parau, ibuku meninggal dua tahun yang lalu. Kontan Firansyah meminta maaf dan merasa sangat bersalah. It’s oke. Tidak apa sih. Toh dia juga belum tahu karena aku tidak cerita. Firansyah agaknya mulai berhati-hati setelah tahu keadaanku sekarang.
Setelah makan malam aku mengajaknya tidur. Sebelum tidur Firansyah melakukan shalat sunah. Jujur, tadi adalah kali pertama aku shalat berjamaah di masjid selama aku menetap di Bogor. Andai Firansyah tidak ke rumahku, mungkin aku tidak shalat di sana. Dia sepertinya remaja yang taat ibadah. Agaknya Firan terbiasa dengan jamaah di masjid. Ia luwes dan mudah membaur. Tidak denganku, kaku, dan terkesan garing. Padahal ini bukan lingkungan tempat tinggalnya. Karena ini, aku sering dianggap teman-teman sebagai cowok yang lemah. Firan tersenyum dan menghiburku. Jangan menghiraukan mereka, katanya.
Di atas kasur kami tidur bersebelahan dengan selimut berbeda. Awalnya aku meminta satu selimut saja. Firan menjelaskan meski sesama lelaki tidak baik tidur dalam satu selimut. Bahkan dia juga mengingatkanku untuk tidak membuka aurat di depannya. Biasanya aku tidur dengan boxer pendek yang membuat pahaku kelihatan. Karena ada Firan, aku memakai piyama.
Lalu Firan memulai obrolan, dia sedikit kecewa ketika ibunya memberitahu niat hendak menikah lagi. Firan tidak masalah sebenarnya. Malu ada. Namun bila menikah lagi dengan orang lain, Firan hanya takut kasih sayang ibunya pasti akan berubah, apalagi ibunya akan dinikahi seorang duda. Mendengar penuturan Firan mendadak hatiku berdesir. Nasibnya sama denganku. Alasan aku pergi dari Bandung karena menghindari agar tidak hadir di acara pernikahan ayahku. Tante Linda yang kuakui cantik tapi tidak sebaik alhamarhumah ibuku. Sudah lama aku menentang pernikahan itu. Tapi Karena ayah bersikeras aku bisa apa.
Ah, sudahlah. Malas aku membicarakan urusan orang dewasa. Mendadak aku jadi ngantuk… aku berpindah posisi tidur menghadap ke kanan. Tak terasa kenangan bersama mendiang ibu terlintas di benakku. Cairan panas melata di pipiku. Oh, sungguh, rasanya sakit sekali. Tapi setelah aku pikir-pikir, agaknya Firansyah bisa menjadi teman baikku karena kami memiliki kesamaan nasib. Tapi soal kesamaan nasib ini kupikir Firan belum perlu untuk tahu. Biarlah nanti dia tahu sendiri.
Seiring berjalannya waktu aku dan Firansyah menjadi sangat akrab. Kami sama-sama bisa melupakan urusan keluarga. Firan pun banyak merubah diriku menjadi lebih baik lagi, khusunya dalam hal beribadah kepada Allah SWT. Hampir setiap hari aku berjamaah di masjid. Dan setiap minggu mengikuti kajian di majelis ta’lim. Firan merubah hidupku secara drastis. Sejak pulang dari kamping itulah kedekatanku dengannya kian terjalin. Orang-orang di sekolah mulai menjuluki kami saudara kembar. Di mana ada Firan di situ ada aku. Sebaliknya demikian. Dari jauh aku melihat seorang siswa junior setengah berlari menghampiri kami.
“Kak Levin, dipanggil Pak Sastro di ruang tunggu.” Adik kelas yang datang menghampiriku itu kemudian pamit. Aku pun undur diri pada Firan lalu setibanya di ruang guru aku disambut hati yang kecewa saat melihat ayah duduk bersama Tante Linda di ruang tunggu. Saat aku hendak pergi Tante Linda meraih tanganku. Ia mengajakku bicara empat mata. Melihat wajah tulus Tante Linda aku menuruti maunya. Aneh sebenarnya aku bisa bersikap demikian. Ayah ijin sejenak hendak menemui seseorang dan selama ia pergi ayah memintaku menjaga sikap di depan Tante Linda.
Di sebuah kafe dekat sekolah Tante Linda memintaku untuk datang ke rumahnya. Dia akan mengenalkan keluarganya yang lain. Aku diam saja mendengar semua penuturannya. Aku sering berdoa pada Tuhan agar segera diberi kebahagiaan (keluarga) tapi bukan dengan keluarga Tante Linda. Aku malah sudah berniat tinggal bersama Firan bila nanti ayah dan Tante Linda benar-benar menikah di akhir bulan ini. Aku sudah menetapkan hati. Dan hatiku tidak akan goyah. Dan aku lebih baik mati daripada harus jadi anak tiri Tante Linda.
“Tante memang tidak akan pernah bisa menjadi ibu kandung kamu. Tapi tante akan berusaha menyayangi kamu seperti menyayangi anak-anak tante. Dan terus terang, tante berharap minggu depan kamu bisa datang ke rumah tante untuk perkenalan dengan keluarga tante.”
Maka seminggu setelah hari itu aku memutuskan tidak datang. Ayah marah dan kecewa besar padaku. Ah, peduli apa. Toh ayah selalu memintaku untuk memahami dan memakluminya, tapi sekalipun dia tidak pernah mengerti perasaanku. Di saat bersamaan, ketika aku butuh teman curhat Firan malah pergi berlibur bersama sepupunya. Kecewa ini membuatku sedikit marah.
Esoknya. Ketika masuk sekolah aku yang menyimpan kesal padanya tidak menegur saat kami berpapasan. Firan agaknya merasa bersalah. Jam istirahat dia menghampiri kelasku. Meminta maaf. Anehnya bukan memaafkannya aku malah semakin marah padanya.
Sejak itulah. Karena keegoisanku yang tidak mendasar. Hubungan baik di antara kami pecah. Orang-orang di sekolah heran melihat kami yang seperti tidak saling kenal. Seribu gossip dan kabar miring tentang kami bergema semingu lamanya. Baik aku dan Firan tidak lagi berkomunikasi. Tidak saling menyapa. Bahkan seorang teman di kelas menyindir kalau mendiamkan saudara lebih dari tiga hari tidaklah baik. Peduli apa.
Hari-hari berlalu seperti gasing yang terus berputar. Suasana hatiku tak tentu arah. Kadang hampa. Bimbang. Kecewa. Ada sesekali aku berteriak di depan karang dan deru ombak. Menangis kesal karena takdir yang tak begitu berpihak. Sesekali setelah hari-hari yang panjang, ingin rasanya aku bicara dengan Firan. Kulihat ia sibuk dengan kegiatan OSIS, dan ketika tanpa sengaja kami saling menatap sorot matanya yang teduh itu serasa mencabik-cabik hatiku. Di rumah kadang aku menangis bila mengingat kebaikan Firan padaku.
Di masjid sesekali bayangan Firan muncul di sebelahku. Sekarang aku shalat jamaah tanpanya. Sejak hari itu Firan ternyata tidak pulang ke rumah karena masih belum akur dengan ibunya. Kudengar dia tinggal di rumah Satrio. Aku kesal pada diriku sendiri. Kenapa semua jadi begini? Aku memberanikan diri mengirim pesan padanya. Pesanku masuk. Dibaca. Tapi tak dibalasnya. Aku kirim lagi. Hal sama menimpaku. Aku meneleponnya dan meminta maaf. Tidak diangkat. Firan. Apakah dia marah padaku?
Di sekolah aku hendak menyapa. Tapi aku merasa cemas. Sejujurnya aku takut. Aku sungguh ingin bicara padanya. Ingin meminta pendapat tentang pernikahan ayahku. Hari H semakin dekat. Sayangnya, tiga hari sebelum pernikahan ayahku, Firan tidak terlihat di sekolah. Setiap pagi aku mencoba mencari sosoknya. Tidak kelihatan. Mau bertanya aku segan. Hingga aku tahu dari teman sekelasnya kalau Firan pulang ke rumah ibunya sebab dia akan ijin sekolah selama sepekan. Aku menelepon Firan.
“Percuma, Vin. Hape Firan tuh ilang.” Kata seorang temannya. “Sejak kapan?” tanyaku ingin tahu. “Kayaknya dua minggu yang lalu, saat Firan pulang ke rumah ibunya.” Aku akhirnya mengerti alasan pesan dan teleponku tak dijawab. Ini murni bukan kesalahan Firan. Menyadari hal itu rasa bersalahku pada Firan bertambah besar.
Malam harinya ayah meneleponku. Dengan nada datar ayah berusaha sabar menghadapiku. Lusa, aku harus ke Bandung. Ada acara khusus dua pihak keluarga sebelum hari H. Besar harapan ayah terhadapku dan kali ini semoga aku tidak mengecewaknnya. Pemintaan itu rupa-rupanya membuatku perlahan sanggup menerima keadaan yang kuanggap takdir tak berpihak. Biarlah aku kecewa karena pernikahan ayah. Biarlah aku kecewa karena persahabatanku dengan Firan belum pulih. Tapi aku masih berharap, bahwa aku tidak akan pernah kehilangan sahabat sebaik Firan. Aku akan menemuinya nanti setelah pulang dari Bandung. Aku akan meminta maaf karena kesalah pahaman yang sangat sepele. Aku akan berlutut di hadapannya bila perlu. Sebab akulah yang memang bersalah padanya.
Di Bandung. Aku melihat ayah dan Tante Linda sedang tertawa bahagia. Dekorasi megah dan mewah untuk prosesi foto keluarga tidak bisa kupungkiri kalau itu berkesan. Ayah memakai jas putih. Tante Linda dengan kerudung dan jilbab pengantin yang sebenarnya serasi bila disandingkan dengan ayah. Dan ketika fotografer meminta kami berkumpul, aku melihat Tante Linda memanggil anaknya yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. Anak Tante Linda yang dipanggilnya itu seketika membuat dunia bagiku berhenti berputar. Lengang. Aku tidak bisa mendengar apa-apa selain langkah kaki anak Tante Linda yang mendekati ibunya.
Senyum khas itu membuat jantungku berdetak kencang saking syoknya. Ayah menatapku dan memintaku segera mendekat. Saat itulah. Saat mataku dan mata anak Tante Linda bertemu. Kami sama terdiam dalam kebingungan. Apakah ini nyata? Aku dan anak Tante Linda masih dalam keadaan yang sama-sama tidak mampu berkata-kata. Canggung. Kaget. Bingung. Sorot mata itu… masih sama kurasakan. Teduh dan menenangkan. Tuhan, inikah jawaban doaku?
Aku layaknya sebatang kara. Walau memiliki ayah, tangguh dan sayang padaku. Hidup ini bukan tentang seberapa besar aku harus bahagia setelah kehilangan seseorang yang aku cintai. Aku pun berdoa pada Tuhan agar memberiku kebahagiaan lain. Tapi, aku masih menyangkal bila kebahagiaan yang ada padaku selama ini adalah seperti sebuah konspirasi yang bila sesekali aku memikirkannya, rasa bahagia itu seolah semu. Meski demikian, aku sepertinya bahagia dan menerima, bila Tante Linda akan menjadi ibuku. Tuhan, terima kasih telah memberiku keluarga dan orang yang baik-baik.
Aku dan dia berdiri di balkon menatap jalan raya dan gedung pencakar langit. Suasana canggung sehingga hanya kudengar suara semilir angin. Tak ada yang memulai bicara. Aku hanya merasa bahagia karena dia menjadi saudaraku. Kurasa dia pun demikian. Kami hanya tersenyum sesekali jika tak sengaja bersitatap. Aku tertawa. Membayangkan betapa lucunya hidupku.
Dia ikut tertawa. Entah kenapa. Aku dan dia tertawa bersama-sama. Setelah hening panjang. Dia berdehem, “Gak nyangka, kamu jadi adikku.” Aku tersenyum mengangguk, Firan berjalan mendekatiku.
Sejenak aku bangga menatapnya.
‘Dia jadi, Kakakku?’
Firan tersenyum. Madu sekali. Dia mendekat, memelukku, tak lama kemudian kurasakan ulu hatiku nyeri seiring darah segar seperti menyembur dari perutku. Belati putih menusuk perut ini terasa sangat dalam. Firan tersenyum lalu berbisik ‘aku gak sudi punya saudara tiri yang lemah kayak kamu’ ujarnya menarik belati menyeringai. Rasa sakit membuatku limbung. Perutku perih dan ngilu. Samar-samar wajah Firan berubah buram. Kepalaku pusing. Bumi terasa berguncang. Lalu aku merasa semua menjadi …
Gelap.
Cerpen Karangan: Imuk Yingjun Blog / Facebook: Imuvim Untuk bertegur sapa dengan author bisa hubungi FB dan IG: Imuvim
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com