Sudah larut malam Amil tidak beranjak dari meja belajarnya, matanya tidak lelah menulusuri buku yang sedang ia pegang. Otaknya menangkap ribuan kata sesekali dahinya mengernyit jika ada satu kata yang membuatnya bingung.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Matanya pun mulai terasa memberat bahkan tubuhnya sudah lelah tapi Amil tidak berhenti ia harus belajar lebih giat ini semua demi cita-citanya untuk masuk ke peguruan tinggi. Ini semua ia lakukan demi ayahnya ia tidak ingin ayahnya dianggap sebelah mata oleh orang-orang. Hidup miskin memang sulit ayahnya yang hanya bekerja sebagai pemulung selalu dicaci karna ingin menyekolahkan anaknya jika saja dirinya tidak lulus SD.
Amil sudah mendaftar untuk masuk ke universitas ternama ia sudah menunggu sebulan lamanya tapi tidak ada pemberitahuan. Ia jadi resah bahkan sekarang buku yang dibacanya tidak lagi dibaca membiarkan Amil dengan segala pemikirannya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Memampangkan seorang pria paruh baya dengan senyum teduhnya, ia menghampiri Amil yang tengah melamun mengelus puncak kepalanya. “Ada apa mil?” Tanyanya. Tangan keriput itu tidak henti-hentinya mengelus rambut anaknya. Amil sontak terkejut ia segera mendongak setelah tahu itu ayahnya Amil tersenyum lalu menggeleng.
“Amil kalo ada masalah cerita sama bapak, jangan simpan sendiri. Kamu ini kayak gak punya bapak kalo ada masalah diem. Cerita selagi bapak masih ada. Bapak masih sanggup menuhin permintaan anak kecil bapak.”
Mata Amil berkaca-kaca ia segera memeluk pria paruh baya itu yang selama ini menghidupinya. Bahkan saat istrinya meninggal bapak masih sanggup merawat dan menjaganya hingga sebesar ini. Sungguh entah sekuat apa hati dan tangan bapak sehingga mampu menahan cacian dari orang, bapak hanya bisa tersenyum dan lagi tangan kasar yang memeluknya itu sangat kuat mendorong gerobak sampah hanya untuk menghidupinya, Amil mengeratkan pelukan. “Amil sayang bapak. Kalo gak ada bapak mungkin Amil gak ada, bapak selalu jadi pahlawan buat Amil.” Seketika suasana berubah haru, Amil akan sedih jika itu menyangkut tentang bapaknya.
Tubuh rapuh itu bergetar, tertawa dengan perkataan anaknya ia menggeleng pelan sambil menepuk punggung Amil penuh kasih sayang. “Kamu ini mil udah gede, gak malu sama bapak atau sama badan kamu?” Ujar bapak bercanda wajah keriput itu menciptakan lengkungan dikedua bibirnya ia tidak ingin suasana terlalu sedih ia hanya ingin Amil kuat. Bapak tahu dengan perangai Amil anaknya selalu sedih jika menyangkut tentangnya.
“Bapak harus nganterin Amil kalau Amil pakai jas sekolah yang semua orang mau!” “Bapak udah tua, umur gak ada yang tahu.”
Amil mendongak menatap bapaknya yang juga menatapnya teduh matanya kembali berkaca-kaca, satu isakan lolos di mulutnya disusul dengan air mata berjatuhan. “Bapak! Jangan ngomong gitu Amil nggak suka! Bapak pasti akan anterin Amil buat jadi orang sukses!” Bapak hanya diam. Membiarkan Amil menangis terisak.
Mata keriput itu memandang kearah depan dengan sendu matanya ikut berkaca-kaca mendengar isakan menyakitkan Amil. “Amil ingat kata bapak, jika kamu mau sesuatu buat sesuatu! Meskipun banyak yang menghinamu abaikan, buat jadi perjuangan bapak nggak sia-sia. Hidup itu rumit mil jika kamu tidak keras maka dunia yang akan keras pada kamu!”
Hingga keesokan harinya, Amil mendapatkan surat dari kantor pos. Jantungnya berpacu dengan cepat bahkan tangannya bergetar. Amil menatap surat yang di tangannya penuh harap semoga penantiannya tidak sia-sia dengan hati-hati Amil membukanya lalu membaca, setitik air mata jatuh di pipinya ia tidak menganga tidak percaya ia lulus, dengan hasil memuaskan masuk ke dalam universitas impian Amil berteriak, “BERHASIL!” Amil langsung bersujud kearah kiblat tangannya memukul lantai bahagia ia menangis haru ini bukan tangisan kesedihan melainkan kebahagiaan, Amil berdiri dari sujudnya ia kembali membaca untuk memastikan dengan jelas. Di kertas tertera namanya dan universitas ternama ia kembali menangis memeluk surat itu. “Pak! Amil berhasil pak!” Tangisnya haru.
Bapak yang sedang dalam perjalanan pulang, terheran mendengar tangisan saat sesampainya di rumah. Jantung bapak berdetak kuat tanpa berpikir panjang bapak segera melepas gerobak sampahnya dan berlari ke dalam rumah, “MIL!” Bapak berteriak lalu dengan tergesa-gesa membuka kamar Amil. Terlihat anaknya sedang menangis serta ditangannya ada selembar surat entah apa itu. Bapak segera berjalan Amil menepuk pundak Amil khawatir, “kamu kenapa mil?” Tanya bapak, Amil mengangkat wajahnya segera memeluk bapak dengan dengan berlinangan air mata. “Pak! Amil lulus dengan hasil memuaskan.”
Bapak terkejut segera melepas pelukannya menatap Amil dengan sorot harap. “Bener mil? Kamu lolos?” Amil mengangguk mantap, bapak mengucapkan syukur lalu bersujud bangga. Amil menatap bapak haru semua usahanya dan kerja keras bapak tidak sia-sia. Tapi amil menunggu hampir lima menit bapak belum bangun juga dari sujudnya ia khawatir. Amil merunduk menyentuh pundak bapak namun tubuh bapak terjatuh dengan mata tertutup rapat serta wajah pucat.
“BAPAK!” Amil menganga ia menangis tersedu-sedu menggoyangkan tubuh bapak berharap ini hanya khayalan semata. Dada Amil terasa sesak ia semakin histeris justru yang didapatkannya tubuh bapak kaku seperti tidak ada kehidupan. Amil menyangka ini hari terakhir bapak jika ia tahu ia akan menemani serta merawat bapak namun itu sudah terlanjur Amil hanya bisa menangisi kepergian bapak. Kini tugas bapak sudah selesai banyak pengorbanan yang ia lakukan itu semua demi Amil, anak kesayangannya setelah istrinya.
Tugas bapak sudah selesai.
Cerpen Karangan: X-xana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com