Para pelayat yang mulai berdatangan ke rumahku tampak duduk memenuhi tikar yang digelar di ruang tamu dan teras. Mereka begitu khidmat mengikuti serangkaian prosesi penguburan jenazah lelaki tua yang kini disemayamkan di dalam keranda di ruang tamu. Tak seorang pun yang memakai pakaian hitam tanda turut berbela sungkawa. Mereka seragam memakai sarung dan kemeja koko putih. Duduk dengan kepala tertunduk. Bibir tiada henti melantun-kan zikir dan Yasin. Asap kemenyan dupa menyeruak ke berbagai tempat. Memenuhi setiap ruangan rumah kami di mana biasanya Ayah duduk di kursi rodanya.
Puluhan pasang mata menyapu seluruh ruangan dan dinding rumahku. Entah apa yang sedang mereka cari. Yang membuatku terheran semenjak itu tak seorang pun dari mereka yang menutup hidung dengan tangan karena bau busuk. Jangankan bau, debu pun enggan menempel di seluruh lantai maupun barang perabotan seperti kursi atau meja. Justru yang tercium oleh mereka adalah semerbak bunga mawar yang ditanam oleh tangan dingin almarhummah Ibu di halaman rumah kami.
Lihatlah bunga mawar yang baru menguncup, wajah mereka tampak tertunduk lesu. Tangkai mereka bergoyang ketika angin menampar dengan keras. Mungkin mereka (bunga-bunga) itu merasa kalau sudah tidak ada lagi satu orang yang merawat dan menyayangi mereka setiap pagi. Lantas mereka menundukkan tangkainya ke tanah untuk menaikkan doa untuk lelaki yang semasa di ujung senjanya menyibukkan diri dengan menyemprotkan air kepada mereka. Dan mereka merasa sedih karena setelah kepergian Pak Tua itu, mungkin sudah tidak ada yang peduli terhadap mereka. Hal itu dapat mereka rasakan dengan sikap orang-orangnya yang membiarkan bunga mereka gugur satu per satu menghunjam bumi.
Berbeda dengan ketika Ayah masih hidup. Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai karyawan sebuah bank rakyat, Ayah selalu menyapa bunga-bunga peninggalan Ibu setiap pagi. Dengan penuh kasih sayang Ayah merawat bunga-bunga Ibu layaknya anaknya sendiri. Ayah memberinya pupuk dan menyemprotkan air agar bunga-bunga mawar Ibu selalu bermekaran. Menyebarkan semerbak harumnya ke penjuru kampung. Tetangga yang kebetulan lewat di depan rumah kami pun selalu memuji bunga-bunga itu. Apalagi warnanya yang mencolok. Jangankan manusia, kumbang-kumbang pun tak merasa jemu mengisap serbuk sarinya untuk dikumpulkan menjadi madu. Angin pun dengan tanpa pamrih membantu membawa serbuk sarinya hingga mawar itu beranak-pinak di mana-mana.
Ayah selalu berpesan kepada anak-anaknya supaya jangan memetik tangkai bunga mawar peninggalan Ibu sembarangan. Karena bunga-bunga itu akan merasakan sakit seperti layaknya manusia. Ayah akan marah apabila mata tuanya memergoki anak-anak kampung memilin tangkai bunga mawar. Lalu Ayah akan bertanya kepada mereka dengan tegas, apa yang mereka rasakan kalau tangan atau kaki mereka dipilin seperti mawar itu. Ayah juga tidak pernah membakar sampah sembarangan dekat-dekat dengan tumbuhan perdu mawar itu. Ayah bilang kalau bunga-bunga tersebut akan merasakan sesak napas. Kalau Ayah melihat bunga-bunga Ibu tampak layu sampai mengering, maka Ayah akan memindahkan pot mereka ke dalam rumah. Bunga itu akan dirawat oleh Ayah layaknya seorang anak di tempat yang teduh. Memberinya minum dan makan sampai benar-benar sembuh.
Selain mencintai bunga-bunga Ibu, Ayah juga sangat kritis menilai kebersihan rumah kami. Tidak jemu-jemu Ayah mengingatkan pada istriku agar rumah kami selalu bersih dan jauh dari bau busuk. Tiap pagi sebelum memasak, istriku selalu menyapu seluruh lantai di ruangan rumah. Lalu mengepelnya dengan air dalam ember yang telah dicampur dengan cairan pewangi. Melihat rumah kami selalu bersih dan wangi, kami pun betah tinggal di dalamnya. Meski rumah kami tidak semodern rumah-rumah tetangga yang satu komplek dengan kami. Ayah juga mengingatkan kepada istriku supaya tidak membuang sampah sembarangan. Di depan rumah sudah tersedia tempat sampah. Ayah berpesan agar sampah-sampah itu tidak dibakar. Karena selain dapat mengganggu tetangga, sampah juga dapat menyumbat pernapasan bunga-bunga Ibu.
Ayah meninggal dunia pada malam yang sama dengan meninggalnya Ibu. Ayah meninggal setelah bertahun-tahun berperang melawan penyakit paru-paru komplikasi ginjal dan stroke. Dari hasil pernikahannya dengan Ibu, Ayah mempunyai empat orang anak. Tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan bungsu. Aku adalah anak nomor dua Ayah yang paling bandel. Sementara ketiga saudaraku dikenal disiplin. Ayah mendidik kami dengan sangat keras. Namun aku yang paling mengkal. Kakak sulungku kini bekerja sebagai petinggi di PN Timah Belitong. Adik nomor tiga bekerja mengikuti jejak Ayah sebagai pegawai bank. Dan adik perempuan bungsuku masih merampungkan S1-nya di salah satu perguruan tinggi negeri di kota yang mendapat sebutan sebagai Kota Dingin.
Menjelang pukul 8 pagi, para pelayat mengantar jenazah Ayah ke pemakaman. Cahaya matahari terasa lebih hangat. Bunga-bunga Ibu meriap manja dengan cumbuan matahari yang begitu intim menyetubuhinya. Sepasang kupu-kupu berjingkat-jingkat di atasnya. Menari-nari dengan riang atas kepergian Pak Tua yang setiap pagi menyapa mereka. Mereka melepaskan kepergian orang tua itu dengan ikhlas sebab mereka tahu kalau Ayah akan ditempatkan di surga. Setelah jenazah Ayah ditidurkan di liang lahat, aku duduk di dekat kepalanya. Mengumandangkan azan dan iqamat terakhir untuknya. Ketiga saudaraku menangis pilu. Air mata meleleh dan membentuk parit di pipi. Seperti ketika mereka melepaskan Ibu yang meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Kini orangtua kami telah bertemu kembali. Cinta mereka disatukan oleh pelukan surga.
Masih tertanam kuat dalam benakku. Sebelum Ayah pergi meninggalkan kami, malam itu Ayah mengeluh sakit di dadanya. Semalaman Ayah batuk. Lalu di tangannya aku melihat segumpal darah. Aku dapat mendiagnosa kalau Ayah memiliki riwayat penyakit paru-paru karena faktor keturunan. Nenek kami juga meninggal karena paru-paru. Lantas esok harinya kami membujuk Ayah supaya memeriksakan penyakitnya ke dokter. Dari dokter kami tahu bahwa Ayah menderita paru-paru komplikasi ginjal. Ayah tidak mau dirawat secara intensif. Sebulan kemudian Ayah tidak bisa berjalan karena stroke. Semenjak itu Ayah memakai kursi roda. Meski duduk di kursi roda Ayah masih merawat bunga-bunga Ibu.
Setiap sore Ayah duduk di dekat bunga-bunga Ibu. Memandangi kuncup bunga yang baru mekar. Ayah bilang, memandangi bunga-bunga itu buatnya sama saja dengan memandang wajah Ibu. Bahkan setiap Ayah menyapa bunga-bunganya, Ayah melihat ada sosok bidadari yang berdiri di kejauhan. Memandanginya lama. Lalu sebelum bidadari itu raib dari hadapan Ayah, dia mengulum senyum seolah memberi tanda-tanda.
—
Ayah baru saja pulang dari kantor. Sementara Ibu sudah selesai mandi. Tentu saja Ibu sudah menyambangi bunga-bunga kesayangannya di halama rumah. Menyapa mereka dengan penuh kasih sayang. Lantai rumah sudah kinclong di sana-sini. Semua perabotan sudah bersih dari debu yang menempel. Melihat Ayah yang baru saja turun dari sepeda motor, Ibu langsung menyuruh Ayah pergi mandi dan berganti pakaian. Ayah menurut saja perintah Ibu karena istrinya itu menomorsatukan kebersihan. Ibu bilang noda dari luar tidak boleh masuk ke dalam rumah karena hanya akan membawa penyakit. Setitik nila dapat merusak susu sebelanga. Itulah pepatah yang sering Ibu pesankan kepada kami. Begitu juga kepada kami anak-anaknya, pulang dari sekolah Ibu langsung menyuruh agar kami segera mandi supaya kuman yang menempel di kulit tidak dapat mengotori rumah kami. Dan seragam yang kotor karena noda langsung disuruh ditaruh di dalam ember untuk dicuci. Ibu juga selalu menekankan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman.
Pernah suatu ketika Ayah pulang dari kerja, Ayah lupa memeriksa isi dalam tas kerjanya terlebih dulu. Dengan santai Ayah masuk ke dalam rumah dan langsung mandi. Ibu yang memiliki indera penciuman yang tajam mencari-cari sumber bau yang mengotori ruangan dalam rumah. Lalu Ayah yang sudah bersih setelah berganti pakaian dibuatnya terkejut melihat Ibu sudah berdiri dengan berkacak pinggang di pintu ruangan tengah sambil mengibas-ngibaskan selembar surat yang lecek dan basah. Ayah baru ingat kalau surat itu dia masukkan ke dalam tas kerja sebelum diperiksanya. Seketika Ibu muring-muring perihal sepucuk amplop yang menjadi biang kerok kotornya rumah. Karena sepucuk amplop, ruangan rumah menjadi bau. Tanpa babibu, Ibu menyuruh Ayah membuang amplop kumal itu ke dalam bak sampah dan mengambil isinya.
Di lain hari, adikku yang nomor tiga membakar kertas bekas ujiannya yang menumpuk di halaman rumah. Api langsung melahap kertas-kertas itu sehingga asapnya mengepul di udara. Ibu yang mencium aroma kebakaran langsung menyiram api tersebut. Tidak hanya itu, Ibu juga memarahi adik lelakiku. Ibu bilang jangan membakar sampah di rumput karena rumput-rumput itu akan ikut terbakar dan mati. Rumput juga berhak hidup dan mengirup udara segar layaknya manusia. Rumput juga makhluk Tuhan. Selain dapat membakar rumput, asap sampah kertas juga bisa membuat bunga-bunga mawar sesak napas. Karena telah membuat Ibu marah, adik lelakiku meminta maaf sambil menangis dan tidak akan mengulangi perbuat-annya lagi. Lalu Ibu mengajarkan agar kertas-kertas bekas itu dibuang ke tempat sampah agar bisa didaur ulang lagi dan menjadi produk yang bermanfaat.
Pensiun dari pekerjaannya sebagai guru sebuah SD, Ibu menyibukkan diri dengan merawat bunga-bunganya di halaman rumah. Awal Ibu merawat bunga dan ditanamnya di halaman rumah adalah ketika suatu pagi Ibu berolah raga berkeliling perumahan ditemani Ayah. Saat Ibu melewati depan sebuah rumah, sepasang mata Ibu melihat sebuah pohon bunga mawar yang hampir mati tergeletak di dalam bak sampah. Merasa kasihan akan nasib bunga tersebut, lantas Ibu langsung membawanya pulang. Ditanamnya bunga mawar yang hampir mati itu di rumah barunya. Dirawatnya dengan penuh cinta. Diberinya makan pupuk kompos setiap pagi. Disiramnya pagi dan sore. Ajaib, dalam beberapa hari tumbuhan mawar yang hampir mati itu perlahan-lahan kembali hidup. Tangkai dan daun-daunnya kembali hijau. Dan bunga-bunga-nya kembali bermekaran.
Setiap kali jika ada tetangga kami yang melewati depan rumah, mereka akan mencium aroma wangi bunga mawar Ibu yang menyeruak ke penjuru kampung. Disapanya mawar-mawar itu dengan ramah. Dan mawar-mawar Ibu akan tersenyum kepada mereka. Memamerkan bunga-bunganya dengan sombong. Sebab itulah, ibu-ibu begitu sangat menyayangi bunga-bunganya. Dia ingin membahagiakan hati orang-orang dengan aroma wangi bunganya. Namun bunga-bunga Ibu hingga kini masih hidup dan berseri-seri ketika orangtua yang merawatnya harus pergi menemui Tuhan. Yah, Ibu meninggal dunia karena kanker getah bening yang telah merenggut kehidupannya. Setelah itu barulah Ayah yang bergantian merawat bunga-bunga itu.
Di saat aku hendak menikah, Ayah berpesan supaya aku harus menemukan sosok perempuan yang memiliki jiwa penyayang pada tanaman seperti Ibu. Maka kupilih istriku yang sekarang karena aku tahu kalau dia juga suka merawat bunga-bunga. Selain dapat merawat bunga, istriku juga mengetahui seluk-beluk hama tanaman. Dia juga bisa menyembuhkan tanaman yang diserang oleh penyakit. Karena istriku adalah sarjana Botani di salah satu kampus ternama di negeri ini.
Dengan kepergian Ayah dan juga Ibu, aku menempati rumah peninggalan kedua orangtua kami. Sebelum berangkat mengajar di kampus, istriku terlebih dulu menyapa bunga-bunga mawar Ibu. Memberi mereka pupuk dan menyiraminya dengan penuh cinta. Kebiasaan istriku yang merawat bunga mengingatkan aku pada Ibu. Aku merasa kalau Ibu masih hidup. Atau istriku adalah reinkarnasi dari Ibu.
Pagi seperti biasanya, setelah shalat Shubuh, istriku menyapa bunga-bunga Ibu. Dia selesai mencuci pakaian kami dan langsung menjemurnya. Tampak di kebun bunga mawar dua kucing belang berguling-guling di rerumputan. Lalu ketika kedua kucing itu melihat istriku, mereka berlarian. Kemudian mereka meliuk-liuk manja di bawah kaki istriku yang putih. Istriku langsung memahami bahasa mereka. Lantas istriku memanggil kedua kucing belang itu dan mereka langsung berlari ke arah dapur.
Aneh. Sebelum aku menutup pintu depan rumah, di kejauhan aku melihat sosok yang selama ini selalu datang kepada Ayah sebelum kematiannya. Sosok itu menatapku lekat-lekat. Lalu sosok itu mengulum senyum seakan-akan memberikan sebuah tanda-tanda. Apakah sosok yang kutemui itulah sosok bidadari yang menjemput Ayah? Lalu aku masuk ke dalam kamar dan menceritakan kejadian aneh yang baru saja kualami kepada istriku. Justru istriku tersenyum setelah aku menandaskan cerita keganjilanku. Sebab kata istriku sosok itu bukanlah seorang bidadari.
Aku masih berusaha memecahkan rahasia yang selama ini sering dikatakan oleh Ayah tentang sosok yang menurutnya adalah bidadari itu. Apakah mata Ayah yang telah menua tidak bisa membedakan antara sosok bidadari yang elok parasnya dengan Iblis yang buruk rupanya? Ataukah Ayah berusaha untuk mengusir rasa takut akan kematian yang sudah melayang-layang di depan matanya? Karena sosok yang sering menemui Ayah dan melambai-lambaikan tangannya itu bukanlah bidadari melainkan Malaikat Izrail.
Izrail lah yang menjemput Ayah dan selalu tersenyum padanya itu. Bukan bidadari yang selalu tumbuh dari pohon imajinasi para pujangga dan pelukis.
Kota Angin Timur, 2021
Cerpen Karangan: Khairul Azzam El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliiiky Novelis. Lahir di Probolinggo 35 tahun silam. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com