“Terlambat…” Aku melihat petunjuk waktu di jam tangan yang kugunakan. 15.10. Lewat 10 menit sejak bel pulang sekolah dibunyikan.
“Nis? Tumben belum pulang?” Tanya Fira, sahabatku, keheranan. Aku memang terkenal di kalangan temanku sebagai anak yang langsung pulang begitu jam pelajaran habis. “Iya, bundaku belum datang. Eh aku boleh pinjam hp mu nggak?” Aku ingin menelepon bunda, apakah terjadi apa-apa. Aku tidak pernah membawa hp ke sekolah karena benda itu akan menganggu konsentrasi belajarku. “Boleh, nih. Aku beli pentol dulu ya!”
Aku segera menekan nomor hp bunda dan memanggilnya. Aku ulang tiga kali berturut-turut, tetapi suara yang keluar tetap sama. “Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif…”
Tiba-tiba detak jantungku berdetak cepat. Kekhawatiran memuncak di kepalaku. Pasti ada sesuatu yang terjadi.
“Nisa!?” Aku menoleh sejenak ke arah suara yang sepertinya memanggilku. Rupanya itu seorang pengemudi ojek online. Aku tidak tahu apakah aku orang yang dimaksud, mengingat banyak anak sekolah ini yang bernama sama. Namun, aku yakin aku tidak memesan ojek dan yang dicari orang itu adalah Nisa yang lain.
“Gimana, Nis? Udah dijawab? Ini aku belikan buat kamu.” Pemilik hp itu datang sembari membawa sebungkus pentol yang diberikan untukku. Baik sekali. “Makasih,” Aku menerima bungkus pentol itu dan mengembalikan hpnya. “Udah kok. Katanya tadi ketiduran, hahaha.”
“Nis… Kamu tahu kan kalau riwayat panggilannya masih ada?” Aku memang tidak pandai berbohong. Jika aku menjawab jujur, Fira pasti akan menawarkan diri untuk mengantarku ke rumah. “Hmm… hehe maaf a. Aku gak ingin merepotkanmu.” “Merepotkan apa sih, Nis? Lagipula aku kan senang jalan-jalan. Ayo sekalian aja kamu bareng sama aku.” “Tapi… rumahku kan jauh dari sini, di daerah kota. Sedangkan rumahmu di daerah sini, kamu bolak-balik dong.” “Halah gak apa. Anggap aja sekarang aku lagi main ke rumahmu, oke? Kalau kamu ingin balas budi, sediakan jajan yang banyak! hahaha!” Fira tertawa, berusaha meyakinkanku agar bersedia diantar olehnya. Sepertinya tidak ada pilihan lain, aku terpaksa mengikutinya.
Kami sudah belasan menit di jalan, tetapi rumahku masih jauh dari jangkauan. Ketika berhenti di suatu lampu merah, aku mengutarakan kekhawatiranku pada bunda.
“Eh, Fir… Kira-kira bundaku kenapa ya?” “Mungkin seperti yang kamu bilang tadi, Nis. Ketiduran?” “Bunda gak pernah ketiduran pas waktu jemput aku. Selain itu, bunda juga gak pernah matikan hpnya.” “Begitu ya, Nis… Kamu jangan panik dulu, ya. Kita lihat di rumah.” Benar, aku tidak boleh panik. Panik hanya memperburuk keadaan. Hingga kami melewati sebuah warung yang berada di pinggir jalan.
“Fir! Fir! Berhenti!!” Aku berteriak sambil menepuk-nepuk pundah Fira. Fira yang terkejut sedikit demi sedikit menekan rem dan parkir di pinggir jalan. “Kenapa, Nis?” “Kamu tunggu sini aja ya!” Aku segera turun dari motor dan berlari menuju warung tersebut. Walau sekilas, aku sangat yakin mengenali benda itu.
Benar saja. Benda itu, sebuah motor beta warna biru dengan plat WXYZ, tergeletak dalam kondisi yang tidak cukup baik. Beberapa bagiannya rusak, bahkan spionnya sudah tidak ada.
“I… Ini…?” Kehadiranku mendapat perhatian dari penghuni warung yang ada. “Adek anaknya ibunya?” Tanya salah seorang dari mereka. Meskipun kata-katanya membingungkan, aku sedikit memahaminya. “I… Iya. Bunda kenapa?” Tidak terasa air mataku mulai mengalir. “Ibumu habis kecelakaan, nak. Sekitar 1 jam yang lalu, di depan sini. Kalau nggak salah, habis senggolan sama pengendara lain, terus oleng dan jatuh.” “Te…terus bunda sekarang dimana?” “Tadi ditolong sama orang-orang sini, terus dibawa ambulan ke rumah sakit.” “Om tahu rumah sakit yang mana nggak!?” “Eh… Kalau nggak salah, ke rumah sakit terdekat sih, RS Alinea kalau gak salah.” Kata orang itu sembari menunjuk arah rumah sakit itu berada. “Baik makasih om!” Aku segera menemui Fira dan memintanya untuk segera menuju rumah sakit tersebut dengan kecepatan tinggi. Tanpa berkata apa-apa, Fira langsung mengeluarkan kemampuannya sebagai penggemar Marc Marquez.
Tidak henti-hentinya aku berdoa selama perjalanan. Akhirnya, kami tiba di RS Alinea. Kutinggalkan Fira untuk memarkirkan motornya dan langsung menuju resepsionis, menanyakan perihal bunda.
“Syukurlah…” Kakak resepsionis itu memberitahu bahwa bunda baru saja melewati masa kritis di UGD dan sekarang sedang menjalani masa pemulihan di kamar pasien.
“Gimana, Nis!?” Fira bertanya padaku dengan napas terengah-engah setelah berlari dari parkiran. “Belum tahu sih, yang pasti saat ini aku mau ke sana buat memastikan.”
Kami berdua menuju kamar tempat ibuku dirawat. Aku membuka pintu perlahan, melihat sejenak kondisi dalam ruangan.
“Bun…” Aku memeluk bunda erat. Wajahku yang penuh air mata tidak sebanding dengan wajah bunda yang penuh luka. Bunda yang sadar atas keberadaanku balik memeluk dan mengusap air mata yang keluar dari mataku. “Maaf ya, sayang. Bunda kurang hati-hati di jalan. Hp bunda juga rusak karenanya.” “Bun, yang penting bunda masih selamat,” Kataku.
“Adek kesini sama siapa?” “Sama Fira, Te,” Fira memperkenalkan diri. “Ini Fira yang dulu pernah diceritakan adek?” “Iya, Bun.” Aku menoleh ke arah Fira. Dia hanya tersenyum malu-malu. “Loh, tadi bunda minta tolong orang buat jemput adek. Adek nggak ketemu?” Ingatanku kembali pada ojek yang memanggil namaku tadi. Apa jangan-jangan orang itu ya?
“Nggak, Bun.”
Bunda tersenyum. Dari semangatnya, aku yakin beberapa hari lagi bunda sudah dapat kembali ke rumah. Fira yang kusuruh pulang tetap bersikeras untuk ikut menemani aku dan bunda. Maka, sore hari di dalam kamar rumah sakit ini, dengan hujan yang tetesannya mulai membekas di jendela, aku senang masih bisa melihat wajah bunda, dan mempunyai teman yang luar biasa baiknya.
Cerpen Karangan: Ahmad Burhan Habibi Blog: abhabibi.wordpress.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com