Pagi hari menunjukkan pukul 06.40 aku sampai di depan gerbang sekolah. Ayah selalu mengantar aku setiap berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor klasik miliknya. Ayah juga pernah berjanji padaku, ia bilang kalau nanti ayah punya banyak uang, ayah akan membelikan mobil untukku kuliah.
Meski terkadang teman-teman sekolahku mengejek perihal kehidupanku yang serba kekurangan. Ayah yang hanya seorang pedagang kecil dan ibu seorang penjahit, tak membuatku malu pada siapapun. Mereka sangatlah berharga bagiku, apapun yang teman-teman katakan tentang keluargaku, aku hanya membalasnya dengan senyuman dan berdo’a pada tuhan agar aku tetap kuat menghadapinya.
Jam dinding di kelasku menunjukkan pukul 07.00. Aku sudah duduk sendirian di bangku pojok belakang, tidak ada yang mau duduk disebelahku. Bukan masalah bagiku, yang penting aku bisa belajar dengan baik disini.
Bel berbunyi. Tak lama kemudian guru matematika masuk ke dalam kelas dan mulai mengajar. Aku seringkali manjawab soal-soal atau kuis yang diberikan, aku suka pelajaran menghitung dan menggambar. Bahkan aku bercita-cita ingin menjadi seorang arsitek. Aamiin..
Ketika jam istirahat tiba, Elma si gadis cantik yang sangat terkenal di sekolah dan merupakan anak dari seorang pengusaha sukses, ia menghampiriku bersama kelima temannya.
“Eh lo Karin kan anak miskin yang bapaknya banyak utang?” ejek Elma sambil tertawa. “Gua emang anak orang miskin, tapi gua punya akhlak dan bisa jaga mulut gak kaya lo!” jawabku tegas. “Widih dah berani jawab ni anak” kata Elma dengan nada tinggi. Tanpa menjawab lagi aku langsung pergi meninggalkan mereka yang hanya mengganggu waktu istirahatku saja.
Aku pergi ke kantin membeli roti lalu membawanya ke kelas. Aku memakan roti itu sambil memikirkan perkataan Elma tadi. Apa ayah punya banyak hutang? Untuk apa uang yang ayah pinjam? dan kenapa Elma bisa tahu semua itu?. Semua pertanyaan itu memenuhi otakku, hanya itu yang aku pikirkan saat ini.
Pukul 13.30. Kegiatan belajar mengajar untuk hari ini pun selesai. Aku segera bergegas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah. “Assalamualaikum..” “Waalaikumsalam nak, masuk” jawab ibu. “Udah anter makan siang ayah bu?” tanyaku pada ibu. “Kebetulan perut ibu agak sakit nak, jadi ibu belum anter makanannya, kasihan ayahmu sudah jam segini belum makan” jawab ibu sambil kesakitan memegang perutnya. “Yasudah kalo gitu bu, biar aku saja yang antar makan siangnya ayah” ujarku.
“Kamu gak capek nak? kamu baru aja pulang sekolah loh, memangnya kamu juga sudah makan?” tanya ibu khawatir. “Gak apa-apa bu aku antar aja, Karin belum makan juga sih bu hehe” jawabku sambil sedikit tertawa. “Yasudah ibu bungkus nasinya agak banyak ya, biar kamu makan bareng di sana sama ayah” kata ibu sambil berjalan menuju dapur. “Oke bu, Karin ganti baju dulu ya” jawabku sambil berjalan menuju kamar.
Setelah aku selesai berganti baju dan ibu sudah menyiapkan makan siang aku dan ayah. Aku berpamitan pada ibu. “Bu, Karin berangkat ya” kataku sambil mencium tangan ibu dan membawa makanannya. “Iya nak, hati hati ya” kata ibu.
Sesampainya di toko kelontongan yang ukurannya sangat kecil, tempat itu ayah sewa untuk dapat berjualan. Lokasinya pun tidak jauh dari rumahku, hanya tinggal berjalan kaki kurang dari 2 kilo meter. Aku segera menghampiri ayah.
“Ayaahh!!” kata aku sedikit berteriak. “Eh karin, kenapa ke sini nak?” tanya ayah heran. “Iya yah, kan hari ini ibu gak bisa anter makan siang ayah, soalnya perut ibu agak sakit katanya yah. Yasudah aku pulang sekolah langsung ke sini biar bisa makan siang juga bareng sama ayah hehe” jelasku. “Ibu tidak apa-apa nak?” tanya ayah khawatir. “Ibu bilang cuma sakit perut aja katanya yah” jawabku. “Yasudah yuk kita makan di dalam” kata ayah sambil memegang pundakku agar mengikutinya masuk ke dalam toko.
Setelah aku dan ayah makan, aku pun memberanikan diri untuk menanyakan tentang apa yang Elma katakan di sekolah. “Yah, Karin boleh tanya sesuatu ngga?” ujarku. “Gak apa-apa nak, tanya aja. Apapun ayah jawab” jelas ayah. “Memangnya ayah punya banyak hutang?” tanyaku sedikit gugup. Ayah yang mendengar pertanyaanku seketika terdiam.
“ooh itu, ngga lah Karin.. untuk apa ayah pinjam banyak uang pada orang lain, dari hasil ayah jualan juga alhamdulillah sudah cukup untuk biaya hidup keluarga kita” jawab ayah setelah beberapa saat melamun. “ooh gitu ya yah” aku hanya mengiyakan jawaban ayah tanpa menceritakan apa yang Elma katakan. “Memangnya ada apa Karin? kok kamu tiba-tiba nanya soal itu?” tanya ayah penasaran. “Gak apa-apa yah, aku cuma pengen tanya aja. Yaudah kalo gitu Karin pamit pulang ya yah, mau ngerjain tugas juga soalnya hehe” jawabku sembari berpamitan pulang pada ayah.
3 Bulan kemudian. Waktu terus berjalan tanpa sedikitpun berhenti. Seiring berjalannya, ayah pun perlahan-lahan mulai mengubah sikapnya. Ayah yang tadinya sangat penyayang, sangat penyabar, dan ayah juga merupakan sosok yang sangat aku banggakan, kini telah jauh berbeda. Ayah menjadi seorang kepala keluarga yang sangat tempramen, akhir-akhir ini ayah jarang pulang, dan menghilang begitu saja dalam beberapa hari ini. Terkadang ayah pulang dan hanya menimbulkan masalah saja.
Aku tak tau mengapa ayah sudah lagi tak lagi seperti dulu. Sekarang ayah tak lagi berjualan di toko kecil sewaan, sekarang ayah sudah menjadi seorang pengusaha sukses, bisnisnya pun ada dimana-mana. Aku tak mengerti mengapa ayah bisa secepat itu mengubah keadaan ekonominya. Aku kira ayah akan lebih perhatian pada ibu, karena sekarang ibu sedang hamil anak kedua untuk keluarga kami. Tapi sayang, dengan kesuksesan instan yang ia raih itu membuatnya buta akan segalanya. Aku seringkali berdoa’a pada tuhan agar ayah kembali seperti dahulu. Tak apa hidup kami miskin, asalkan ayah selalu menyayangi aku dan ibu.
Hidupku yang berbeda pun dimulai. Aku sangat membenci dia yang katanya sebagai ayahku.
Namaku Karin Salsabila, umurku 17 tahun. Aku iri pada teman-temanku yang mempunyai keluarga yang bahagia, aku memang tak seberuntung mereka. Ayahku mulai menelantarkan aku dan ibuku yang sedang mengandung calon adikku yang berumur 4 bulan sejak bisnisnya mulai sukses dan perusahaan asing tempat dia bekerja pun mulai terkenal. Tak jarang ayah mengunjungi tempat hiburan malam dan menghabiskan uangnya untuk perihal yang sangat tidak berguna.
Tiba-tiba saja kudengar suara teriakan ibu dari ruang kerja ayah, disertai suara pecahan benda kaca yang jatuh. Segera aku menghampiri ibu. “Pergi kamu mas, pergi!” teriak ibu sambil meneteskan air mata. “Ya! Aku memang akan pergi dari sini, sudah lama aku ingin meninggalkan rumah ini, kamu dan anak itu hanya membuatku muak saja!” jawab ayah sambil mengemasi berkas-berkas penting dokumen kantornya. “Ayah jahat, ayah tega sama Karin dan ibu. Aku benci ayah!” ujarku sambil menangis memeluk ibu. “Biarkan saja Karin, biarkan ayahmu itu pergi. Dia sudah tak becus lagi menjadi seorang kepala keluarga” kata ibu dengan nada tinggi. “Enak saja kamu bicara begitu, memangnya kamu sudah baik sebagai istri dan ibu?!” jawab ayah sambil mengangkat jari telunjuknya ke arah wajah ibu. “Ibu baik kok sama Karin, ibu bekerja keras setiap hari menjahit baju-baju untuk bisa memberiku makan dan uang saku. Tidak seperti ayah, ayah hanya sibuk mengurusi bisnis dan perusahaan, sampai-sampai lupa untuk pulang menemui kami. Ibu sedang hamil yah, seharusnya ayah perhatian sama ibu, memangnya ayah tak sedikitpun memikirkan kami? Aku ingin sekali punya keluarga yang bahagia, seperti teman-temanku. Mereka seringkali berkumpul bersama keluarga hanya sekedar untuk makan malam, aku tak minta banyak sama ayah, Karin hanya ingin ayah dan ibu baik-baik saja seperti dulu lagi” ujarku panjang lebar. “Diam kamu Karin! Kamu tidak tahu apa-apa soal ini. Yasudah kamu urus saja ibumu, ayah tak mau lagi berada di sini” jawab ayah sambil berjalan keluar meninggalkan yang memeluk ibu menangis di sudut ruangan.
Dua hari kemudian. Dipagi hari aku sedang membereskan kamar tidurku yang penuh dengan poster-poster The Beatles yang merupakan band favoritku. Aku sangat menyukai musik jazz barat tahun 60-an sejak umur 10 tahun. Karena ayah mengidolakan band klasik tersebut sejak dulu, dan aku pun menyukainya sampai saat ini. Saat kubuka jendela kamar yang menghadap lurus ke halaman depan rumahku, ibu datang menghampiriku.
“Karin kamu bisa bantu ibu nak?” tanya ibu. “Tentu saja bu” jawabku singkat. “Hari ini kamu libur sekolah kan?” tanya ibu sambil melihat kalender yang menunjukan tanggal merah, hari libur. “Iya bu, hari ini kan hari minggu” jawabku meyakinkan. “Yasudah kalau begitu, kamu pergi ke toko langganan ibu, kamu beli kain untuk menjahit baju-baju pesanan ibu RT kampung sebelah” kata ibu menyuruhku. “Iya bu” jawabku sambil mengambil celengan ayam yang aku taruh sebelumnya di atas tumpukan buku-buku paket sekolahku.
“Ini bu, aku punya sedikit tabungan, aku kumpulkan uang ini selama 6 bulan dari sisa uang jajanku. Ibu pakai saja untuk membeli keperluan menjahit” ujarku sambil memberikan celengan itu pada ibu. “Tak usah Karin, kamu simpan saja uang tabungan itu untuk keperluan sekolahmu. Syukurlah ibu masih punya uang simpanan yang cukup untuk modal usaha ini” jawab ibu menolak tawaranku sambil menaruh kembali celengan ayamku. “Tapi bu, ibu kan yang lebih membutuhkan uang itu” ujarku meyakinkan. “Simpan saja uang itu nak” kata ibu sambil mengelus-elus pundakku. “Baiklah bu, kalau nanti ibu akan butuh uang ini, ibu ambil saja” jelasku. “Iya Karin” jawab ibu singkat. “Yasudah bu, Karin ganti baju dulu ya” ujarku sambil membuka lemari baju dan mengambil hoodie hitam bertuliskan Brooklyn kesayanganku. “Iya nak, ibu akan catat dulu apa saja yang akan kamu beli di toko itu” kata ibu sambil berjalan keluar menuju ruang keluarga.
Cerpen Karangan: Ira Andani Blog: raratujuhdua.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com