Jam menunjukkan pukul 08.00 pagi, dan aku pun akan pergi ke toko kain langganan ibu yang berjarak lumayan jauh dari rumah.
“Bu mana catatannya?” tanyaku pada ibu. “Ini nak” jawab ibu sambil memberikan satu kertas kecil dan tiga lembar uang seratus ribu rupiah. “Iya bu, Karin berangkat ya” ujarku sambil mengambil kertas dan uang yang ibu berikan lalu berjalan keluar rumah. “Hati-hati nak” kata ibu sedikit berteriak.
Aku berjalan keluar rumah sembari perlahan menghirup udara segar pagi ini. Hari ini langit Jakarta cukup cerah, dihiasi awan-awan indah yang menemani. Untuk mendapatkan kain-kain yang diperlukan ibu, aku harus berjalan kaki yang kurang lebih berjarak 1 kilo meter dari rumah untuk dapat menaiki angkot yang melewati tujuanku, toko kain langganan ibu.
Tak disangka, di dalam angkot yang aku naiki hanya ada satu penumpang remaja laki-laki. Davin. Dia merupakan anak dari kepala sekolah sekaligus ketua basket di sekolahku, ia memang cukup tampan sehingga tak sedikit perempuan yang menyukainya.
Davin melihat ke arahku sambil tersenyum. “Eh hai, lo Karin kan anak XI IPA 2?” tanya Davin. “Iya gua karin, tapi gua kelas XI IPA 1” jawabku. “Ohaha gua salah, sorry sorry” kata Davin sambil tertawa renyah. Aku hanya membalasnya dengan senyuman tipis sambil berpikir mengapa dia tahu namaku. Hmm entahlah.
Aku memang tak begitu menyukainya, berbeda dengan kebanyakan perempuan lain di sekolahku yang tergila gila padanya. Dia juga terkenal sering menyakiti hati banyak perempuan, karena itulah aku tidak sedikitpun menyukai Davin. Satu hal yang membuatku bertanya, “kenapa Davin mau menaiki angkot? bukankah dia selalu membawa mobil pribadinya sendiri?” batinku.
Tiba-tiba Davin bertanya padaku. “Rin, lo mau kemana emang sendirian gini?” tanya Davin. “Gua mau ke toko kain langganan nyokap gua” jawabku singkat. “Emang dimana tokonya?” tanya Davin, lagi. “Keyaknya ga penting deh buat lo” jawabku malas. “Yee gua kan cuma tanya” kata Davin sambil sedikit tertawa.
Akhirnya aku bertanya pada Davin, aku cukup penasaran tentang hal ini. “Eh lo ngapain naik angkot, biasanya kan lo bawa mobil sendiri?” tanyaku penasaran. “Ciee lu suka perhatiin gua ya? Yaudah lah Rin lo jujur aja” ledek Davin sambil senyum-senyum tidak karuan. “Ya kagak lah, ngapain juga gua merhatiin lo” jawabku malas. “Mobil gua lagi di bengkel, motor juga lagi di pake dek gua, jadi gua naik angkot buat ke rumah sakit jagain bokap” jawab Davin serius. “Ooh gitu Vin, semoga cepet sembuh ya buat bokap lo” ujarku sambil sedikit tersenyum. “Iya makasih ya Rin” jawab Davin singkat.
Angkot yang kami naiki akhirnya sudah sampai di toko kain tujuanku. “Eh Vin gua duluan ya, tuh tokonya kalo lo pengen tau” kataku sambil perlahan turun dari angkot. “Eh iya Rin hati hati ya” kata Davin sambil tersenyum lebar.
Sesampainya di toko itu aku langsung membeli kain pesanan ibu. Setelah aku membeli kain, aku memutuskan untuk segera pulang. Sesaat sampai di rumah, kulihat ruang tamu yang entah mengapa berubah menjadi seperti kapal pecah. “Ada apa ini?” batinku. “Ibu! Bu? Karin pulang bu, ibu dimana? Aku sudah membeli kainnya bu!” teriakku heran sambil berjalan ke kamar ibu.
Celaka! Kudapati ibu yang terbaring di lantai kamarnya dan ada banyak darah yang melumuri kaki kirinya. “Ibu! Bu! Bangun bu!” ujarku dengan sedikit berteriak sambil mengguncang-guncangkan tubuh ibu.
Tanpa ada jawaban, kulihat ada bekas luka pukulan yang sangat keras di bagian pelipis dan tangan kanan ibu. Tanpa berpikir panjang, aku segera meminta bantuan pada tetangga sebelah rumahku yaitu Pak Andi yang merupakan guru bahasa inggrisku sewaktu aku SMP dan ia juga salah satu pelanggan setia ibuku.
Setelah Pak Andi melihat kondisi ibu, ia langsung menelepon rumah sakit terdekat. Tak lama kemudian datang mobil ambulans dari rumah sakit R.A Kartini, ibu pun langsung diangkat masuk ke dalam mobil ambulans, aku dan Pak Andi ikut menemaninya.
Sesampainya di UGD, dan ibu pun sudah dibawa masuk agar segera diperiksa oleh dokter. Aku dan Pak Andi hanya bisa menemaninya di luar ruangan, kami duduk di kursi tunggu dekat meja resepsionis. Kulihat wajah Pak Andi yang begitu cemas.
“Karin” kata Pak Andi membuyarkan lamunanku. “Eh iya pak?” ujarku dengan sedikit rasa keget. “Memangnya pak Wisnu ayahmu itu kemana? Saya sudah jarang melihatnya” tanya Pak Andi penasaran. “Ayahku sudah pergi dari rumah pak, dia meninggalkan kami berdua” lirihku sembari mengusap air mata yang tanpa kusadari telah membasahi pipiku. “Jangan menangis Karin, maafkan saya. Saya tidak bermaksud membuatmu menangis” kata Pak Andi dengan mimik wajah yang merasa bersalah. “Tidak pak, tidak apa-apa. Aku hanya sedih mengingat keadaan keluargaku yang seperti ini” jawabku sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Semoga ibumu tidak kenapa-kenapa ya Karin, maaf saya tinggal ya, karena ada urusan yang harus saya selesaikan” kata Pak Andi sembari tersenyum padaku. “Iya pak tidak apa-apa, terimakasih atas bantuannya” jawabku sambil bersalaman dengan Pak Andi. “Yaudah kamu hati-hati ya Karin, kalo ada sesuatu kamu boleh kabarin saya” ujar Pak Andi sambil menepuk-nepuk pundakku. “Iya pak” jawabku singkat. Lalu Pak Andi pergi meninggalkanku sendirian duduk di kursi tunggu.
Aku hanya diam sambil tertunduk, aku tak bisa menahan kesedihanku. Aku sangat takut kehilangan ibu. Hanya ibu yang kumiliki sekarang, cukup ayah saja yang pergi meninggalkanku.
Tiba-tiba saja ada Davin yang membuyarkan lamunanku. “Eh kok lo disini?” tanyaku kaget melihatnya ada disini. “Kan tadi di angkot gua bilang mau jagain bokap gua” jawab Davin sambil perlahan duduk di sebelahku. “Ooh iya gua lupa” kataku. “Lah lo ngapain sendirian duduk disini, bukannya lo tadi ke toko kain?” “Iya tadi gua udah beli kain pesanan ibu, pas gua sampe rumah ibu pingsan, terus banyak luka juga, gua panik banget makanya gua langsung bawa ke rumah sakit” jelasku. “Bokap lo mana? ga ikut?” tanya Davin, lagi. “Ayah gua sibuk kerja” jawabku singkat. “Ooh gitu, yaudah gua lanjut jaga bokap ya, gak bisa gua tinggal lama-lama, cepet sembuh juga buat nyokap lo” kata Davin sambil berdiri lalu berjalan ke arah lift. “Iya thanks Vin” kataku sambil melihatnya sampai pintu liftnya sudah tertutup.
Setengah jam aku menunggu, sebelum akhirnya dokter laki-laki yang rambutnya sedikit memutih keluar dengan didampingi suster yang membawa papan jalan dan map merah.
“Dokter, bagaimana kondisi ibu saya? Baik-baik saja kan dok?” tanyaku khawatir. “Ibumu mengalami pendarahan hebat nak, sehingga bayi yang dikandungnya pun gugur, dan luka lebamnya juga cukup parah” jelas dokter. “Ya ampun ibu…” lirihku sembari menangis terisak-isak. “Tapi ibu saya bisa sehat lagi kan dok?” ucapku penuh tanya. “Ibu kamu masih butuh banyak perawatan intensif, kami dari pihak rumah sakit akan memberikan pelayanan semaksimal mungkin agar ibumu bisa sembuh. Kamu bisa melunasi biaya perawatannya terlebih dahulu agar kami bisa melanjutkan pengobatannya” jelas dokter. “Baiklah dok, terimakasih” ujarku sembari sedikit tersenyum. “Sama-sama, kalau begitu saya permisi dulu” ucap dokter mengakhiri pembicaraan.
Aku berada di sebelah ibu, menatap lurus wajah ibu yang sangat pucat pasi. Suara detik jam dinding yang jelas kudengar, sembari memikirkan keadaan ibu. Cukup! Ayah sudah cukup membuat kami menderita, terutama ibu yang harus kehilangan calon anaknya. Dan ini semua karena ayah. Sekali lagi, aku sangat membenci ayah. Aku tak mau lagi bertemu dengannya dan melihat wajah busuknya itu.
Sudah seminggu di rumah sakit, akhirnya ibu diperbolehkan pulang. Aku membongkar celengan ayamku untuk membayar biaya pengobatan ibu.
Sesampainya di rumah, aku teringat untuk menanyakan pada ibu bagaimana bisa ada luka pukulan keras di tubuh ibu. “Bu, Karin boleh tanya sesuatu?” tanyaku sambil menaruh gelas yang berisi air putih di meja rias kamar ibu. “Tentu saja boleh nak, memangnya ada apa?” tanya ibu penasaran. “Sewaktu aku pergi ke toko kain hari itu, apa yang terjadi dengan ibu sampai-sampai ibu jadi begini?” tanyaku pada ibu yang sedang berbaring di kasur. “Ada dua orang rentenir yang menagih hutang secara kasar, ibu juga tidak tahu bahwa ayahmu berhutang pada rentenir itu” jawab ibu. “Ayah kan punya bisnis yang sukses bu, kenapa dia berhutang?” tanyaku lagi. “Dulu waktu ayahmu baru memulai bisnisnya, ternyata dia meminjam uang untuk modal usahanya” jawab ibu sembari perlahan meneteskan air mata. “Ibu jangan menangis bu” lirihku. “Ibu tidak menangis nak, ibu hanya memikirkan bagaimana kalau rentenir itu datang lagi dan melukaimu Karin. Sekarang ibu tidak punya siapa-siapa lagi, hanya kamu nak. Ibu berharap kamu bisa jadi orang yang sukses dan jangan sampai kamu dapat laki-laki yang seperti ayahmu” jawab ibu sembari mengusap air mata yang membasahi pipinya. “Doakan Karin selalu ya bu, semoga Karin bisa membahagiakan ibu dengan kesuksesan yang Karin raih” ujarku sembari memeluk ibu. “Pasti nak, Karin belajar yang sungguh-sungguh agar dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah” ujar ibu sembari perlahan melepaskan pelukanku. “Yasudah bu, aku pergi ke kamar dulu ya bu” ujarku sambil berjalan keluar kamar ibu.
Cerpen Karangan: Ira Andani Blog: raratujuhdua.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com