Malam itu bapak tampak tidak bersemangat dari malam biasanya. Dia hanya termenung di atas kursi rotan dengan guratan kekhawatiran yang begitu kentara. Saat bertanya apa yang tengah dirisaukan bapak dia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aku pun tak dapat bertanya lebih banyak karena setelahnya bapak memilih masuk kamar daripada duduk bersama di ruang tengah. Ibu pun kelihatan kuatir melihat bapak yang tidak banyak bicara dari biasanya. Dia tersenyum sebentar padaku dan Esi kemudian menyusul bapak masuk kamar.
Tadi sore sebelum bapak seperti ini, beliau sempat bertemu dengan seorang laki-laki muda dan sempat terlibat dalam perbincangan. Entah apa yang laki-laki itu katakan hingga pulang-pulang bapak menjadi muram. Aku yang hanya duduk di kamar memperhatikan mereka dari jendela tanpa bisa mendengar apa-apa.
Esi menepuk bahuku pelan sebelum mengutarakan pertanyaan yang tampaknya ingin sekali dia tanyakan sepulangnya bapak kerumah.
“Mbak yun, bapak nopo?” “Enggak tau dek, kamu belum tidur?” Esi memonyongkan mulutnya membuatku sedikit gemas dan menarik kedua pipi gembulnya. “Bagaimana bisa tidur, bapak kan biasanya ceritain kita dulu kalo mau tidur.” “Udah sini, bapak sepertinya lagi banyak pikiran. Kamu ke kamar dulu, nanti mbak susul buat dongengin kamu tidur.” Esi mengangguk kemudian menjawab, “oke mbak, eh iya mbak, besok bisa enggak teman Esi buat beli buku gambar. Kalau ajak bapak takutnya enggak enak. Bapak lagi muram,” tanyanya membuatku terpikir hari esok.
Setelah mengantar kue, aku sepertinya bisa menemani Esi sebentar. Tidak banyak jadwalku di hari sabtu. “Iya mbak temenin sekalian beli sarung buat bapak. Kan sudah lama bapak tidak beli sarung baru. Ibu juga sepertinya pingin makan bubur ayam akhir-akhir ini.” Esi bersemangat, entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Dia menarik tanganku untuk segera masuk kedalam kamarnya dan mengunci pintu. “Mbak, bagaimana jika kita membeli sarung yang bagus untuk bapak sebagai hadiah? Siapa tau itu bisa sedikit menghibur hati bapak,” ucap Esi yang sebelumnya tak terpikirkan olehku.
Mungkin dengan ini bapak bisa merasa bahwa kami tidak akan membiarkannya bersedih seorang diri. Semoga saja dengan hadiah yang tengah kami rencanakan ini, bapak setidaknya mau sedikit menceritakan keluh kesah yang mengganjal hatinya.
“Yaudah, besok kita belinya pake uang mbak.” “Lah, aku mbak? Masa kan hadiahnya dari mbak Yun sendiri,” jelas Esi tampak sedikit tidak terima. “Kamu kan mau beli buku gambar, engga mungkin kan enggak beli pensil warnanya?” Tanyaku mengundang anggukan dari kepala Esi. “Nah itu, uang kamu enggak bakal cukup Si. Enggak apa-apa, biar mbak yang beli, kamu nanti kasih surat di hadiahnya. Gimana?” “Boleh deh.” “Nah, sekarang tidur. Mbak nyanyikan lagu.”
Aku bernyanyi untuk Esi sebentar karena tampaknya rasa kantuk Esi hadir di tengah-tengah lagu. Memeriksa apakah Esi benar-benar sudah tidur, aku pun bergegas kembali ke kamarku sendiri.
Paginya, Esi membangunkanku karena aku hari ini terlambat bangun. Tidak seperti biasanya ibu membiarkanku kesiangan seperti ini. Aku pun bergegas mencuci muka lalu ke dapur untuk menghampiri ibu yang duduk di kursi meja makan. Wajahnya tanpa senyum mengundang tanya besar di kepalaku. Kemarin bapak, sekarang ibu. Ada apa sebenarnya ini?
“Buk,” panggilku pelan. Ibu merespon kecil dengan mengangguk tapi tidak menoleh padaku. “Kenapa pagi-pagi udah murung?” Tanyaku membuat ibu menoleh. “Bapak kamu itu, entah kenapa dia enggak mau bilang sama ibuk kemarin paman kamu kecelakaan …” Tangis ibu pecah. “Dia meninggal di tempat, tapi enggak ada yang bisa datang ke rumah duka.” “Kenapa?” “Kamu kan tau kita enggak punya duit buat beli tiket pesawat … Paman kamu itu tinggal di London.”
Aku segera memeluk ibu kembali saat air matanya turun. Ternyata ini yang mengundang aura suram yang tidak mengenakkan di keluarga kami. Aku hanya bisa sedikit bersimpati karena tidak mengenal baik paman mana yang ibu maksud. Ibu menangis kencang, saat mengangkat telepon dari sanak saudara yang ada di sana.
“Sabar buk,” ucapku pada ibu. Ibu tak mendengarkan suaraku. Dia menangis kencang hingga suaranya mengundang bapak dan Esi datang ke dapur. Mengingat bapak, sepertinya hadiah yang akan aku dan Esi berikan akan kami tunda dulu sekarang. Bagaimana pun, meski sudah tau penyebab kesuraman kami akan tetap memberikan bapak hadiah seperti halnya bapak yang selalu bercerita setiap malam pada kami sebelum tidur tanpa tau lelah seharian bekerja.
“Maafin bapak buk, bapak bukannya mau sembunyikan dari ibu. Hanya bapak enggak mau ibu sedih meski tau ibuk bakal kayak gini.” ” … Bapak kan tau, mas Endy saudara ibuk yang paling dekat sama ibuk. bahkan waktu kecil, mas Endy yang biayain sekolah ibu.” “Iya buk, bapak tau,” ucap bapak memeluk ibu. Aku secara alami bergeser ke samping Esi dan memperhatikan bapak dan ibu tanpa suara. “Ibu sedih pak, waktu terakhir mas Endy, ibu enggak ada nengok dia.” “Kita doakan saja buk buat mas Endy, semoga dia diterima disisi-Nya. Amal ibadah serta hidupnya bisa berkenan kepada sang Pencipta.” Ibu semakin menangis dan memeluk bapak erat, aku menarik Esi untuk meninggalkan dapur karena tampaknya bapak bisa menenangkan ibu dengan baik.
“Mbak Yun, kita ke pasar aja sekarang,” ajak Esi saat aku telah menyalakan motor Mio milik bapak. “Oke, mbak juga mau ngantar kue ini,” tunjuk ku pada kantong plastik merah yang berisi toples kue yang lebar yang sempat kuambil di atas meja makan.
Aku menitipkan jajanan yang ibu buat di salah satu warung makan yang menjadi langganan ibu untuk membeli bubur ayam. Memang bubur ayam segera tau bahwa aku ingin memesan setelah mengantar kue. Seperti rutinitas tiap sabtu yang aku lakukan.
“Kayak biasa ya mang,” ucapku duduk di samping kursi mamang. Mamang bubur menunjukkan jari jempolnya sebelum berucap, “oke neng.”
Esi sendiri telah kusinggahkan di warung serba ada di sekitar sini. Dia sudah cukup besar untuk membeli barang-barangnya sendiri.
“Ini neng, 20 rebu.” Mamang menyerahkan kantong plastik berisi bubur. Sehabis membayar, aku pun bergegas mencari Esi yang ternyata sudah berada di toko pakaian. Esi memegang sebuah sarung coklat tua dengan motif batik yang indah tergambar di atasnya. Selera Esi sangat baik jika memilih kain seperti ini. Kami pun meminta penjual sarung itu untuk membungkusnya seperti kado, meski harus membayar lebih mahal.
“Kamu udah buat suratnya si? Kalo belum, besok aja kita kasih kan hadiahnya untuk bapak,” usulku. Esi tidak setuju tampaknya. “Mbak Yun, hari ini aja. Esi udah buat kok suratnya.” Aku mengangguk, jika dia sudah membuatnya tidak ada alasan lain kami menunda untuk memberikan bapak hadiah seperti ini. “Yaudah, kalo gitu kita pulang sekarang. Udah enggak ada yang mau dibeli lagi kan?” “Enggak ada lagi mbak Yun, udah siap semua.”
—
‘Bapak, ini hadiah dari mbak Yun sama Esi. Memang enggak seberapa dibanding kebaikan bapak buat kami selama ini. Enggak bapak bisa dibandingkan dengan waktu luang yang bapak kasih untuk kami bisa dengar cerita dari bapak yang sudah lelah bekerja sepanjang hari. Tapi, biarlah hadiah ini bisa membuat bapak untuk tetap mengingat kami yang siap mendengar keluh kesah bapak. Kami enggak mau bapak sedih, apalagi murung seperti kemarin. Bapak juga harus bagi kesedihan itu bersama kami, biar enggak bapak saja yang sedih. Kami pengen bapak selalu ingat, bapak itu punya anak, bapak itu punya istri. Bapak enggak sendirian, jadi bapak jangan pendam semua kesedihan. Berbagi dengan kami juga pak, walau itu sulit buat bapak. Karena kata orang, ada kalanya kita membutuhkan orang lain kalau kita sudah tidak kuat lagi memendam rasa sedih itu. Bapak kan bisa bilang sama ibu sejujurnya, bapak kan bisa sampaikan ke kami dengan terbuka. Biar enggak ada lagi kesedihan yang susah buat hilang. Kita sama-sama hiburkan semuanya. Bapak ingat ya, aku, mbak Yun sama ibu selalu memeluk bapak, menyanjung bapak. Jadi bapak harus mengingat kami kalo lagi sedih.’
Bapak tampak tersentuh membaca surat buatan Esi dan segera memeluk kami berdua. Ibu pun yang sudah tak lagi menangis meski matanya masih bengkak ikut memeluk kami.
“Bapak enggak tau anak-anak bapak seperhatian ini sama bapak,” ucap bapak bangga. “Bapak jangan muram-muram lagi, cerita sama kita kalo ada apa-apa,” ucapku. “Kita kan keluarga.” “Iya …”
Cerpen Karangan: Aen Hii! Thanks udah mau baca. Semoga kalian suka 😉 Salam dariku, Aen`
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 10 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com