Usai menunaikan sholat magrib berjamaah, Aku dan kak Tari langsung masuk kamar. Tugas hafalan surah Al-Bayyinah dan At-Thoriq dari ibu Azizah, guru agama di sekolahku belum kuselesaikan. Aku harus menuntaskan tugas tersebut, jika tidak ingin kena hukuman.
Tiba-tiba Papi masuk kamar, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Aku yang tengah fokus menghafal, agak kaget dibuatnya.
“Tari dan Senja, siap-siap, ya!” “Kita mau kemana, Pi?” Tanyaku. “Kita antar Mami, ke kliniknya dokter Farid!” “Asyiiik. Setelah dari klinik, mampir belanja ya, Pi?” “Kebiasaan, Kamu!” Papi menjewel pipiku, gemas. “Boleh ya, Pi?” Bujukku manja. “Boleeeh. Tapi Tari, mana?” “Kak Tari, di kamar kecil, Pi.” “Bilang sama Tari, agar siap-siap juga, ya!’ “Oke, Pi!” Jawabku mantap, sambil mengacungkan jempol.
Sekitar sepuluh menit berselang, Aku dan kak Tari sudah bersiap di ruang tengah. Kami demikian gembira diajak Papi menemani Mami berobat. Bukan ke kliniknya yang membuat Kami senang, tapi belanjanya itu. Klinik dokter Farid, memang bersebelahan dengan salah satu mini market yang ada di daerahku. Setiap kali ke klinik tersebut, Papi tidak pernah menolak keinginanku untuk mampir belanja.
Aku dan kak Tari melongo, saat Mami dan Papi keluar bersamaan dari kamar. Papi sudah berpakaian rapi, tapi Mami masih menggunakan daster kebesarannya. “Kok Mami, belum ganti baju?” kak Tari bertanya heran. “Kami sudah siap, loh Mi, sejak tadi.” Ujarku menambahkan.
Mami menghampiri, lalu duduk di antara Aku dan kak Tari. Kedua tangan Mami, merengkuh pundak Kami berdua. “Ke kliniknya nanti aja, ya? Mami sudah baikan, sekarang.” “Aaaiih.. Gak jadi, deh!” Kak Tari, menyela kecewa. “Iya ni, gagal lagi, deh belanjanya.” Ujarku, cemberut. “Anak-anak Mami, jangan merajuk gitu dong, nanti cantiknya hilang lho! Mami janji, lain waktu kita ke mini market, oke!” Aku dan kak Tari hanya diam, mendengar bujukan Mami.
Papi yang sejak tadi hanya diam mematung, kemudian mendekat. Ditatapnya wajah Mami lekat. “Mami yakin, gak ingin ke klinik?” “Iya, Pi. Sakit perut Mami sudah berkurang. Obat yang Papi beri sore tadi, sepertinya cocok. Sesudah makan malam, Mami akan meminumnya lagi.” “Tapi, Mami harus tetap periksa, ke dokter! Agar kita tahu, penyakit Mami yang sebenarnya!” “InsyaAllah, Mami tidak apa-apa, Pi.” “Ayoolah, Mi, jangan ngeyel gitu. Dua hari ke depan, Papi ada tugas perjalanan dinas dari kantor. Kondisi Mami harus dipastikan dulu, sebelum Papi memutuskan, apakah berangkat atau tidak.” “Papi berangkat aja. Mami sudah baikan, kok.” Mami tak bergeming dengan bujukan Papi. “Tapi Mami harus ke dokter, dulu!” Papi berkeras. “Gak usah kuatir, Pi, InsyaAllah, Mami baik-baik saja!” Papi tak berkutik menghadapi Mami, bahkan Mami berhasil meyakinkan Papi, agar menerima tugas dari kantornya, melakukan perjalanan dinas.
Empat hari setelah Papi berangkat, semua masih baik-baik saja. Mami tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Walau terkadang rasa khawatir hadir menghantui diriku, ketika memergoki Mami meringis, sambil memegang perutnya.
Keesokan harinya, Aku dan kak Tari menjerit histeris ketika pulang dari sekolah. Kami menyaksikan Mami tak sadarkan diri di depan kamar mandi, wajahnya pucat, ada darah yang masih mengalir di kedua betisnya. “Mamiiiii, banguuuun, hikshikshiks.” Dengan kalut, Aku dan kak Tari mengguncang tubuh Mami. “Gimana ini, Kak. Aku takuut, Mamiii.. Banguun.. Hikshikshiks.”
Kak Tari bangkit mencari-cari sesuatu di atas meja. Semua laci meja dibuka, namun tak menemukan apa-apa. “Kak Tari, nyari apa?” “Minyak angin.” Jawabnya lemah. “Di kamar kita, kan ada balsem, Kak!”
Tanpa berfikir panjang, kak Tari segera melompat keluar menuju kamar. Tak lama kemudian, kak Tari sudah kembali membawa balsem. Dengan cepat kak Tari mengeluarkan isi balsem, kemudian menggosokkannya pada hidung, telapak tangan, dan telapak kaki Mami. “Dahi Mami juga dioles, Dek!” Segera kulaksanakan perintah kak Tari. Balsem kuoleskan pada area yang kak Tari maksud. Tak lupa kuberikan pijatan ringan, persisi seperti yang biasa Mami lakukan, jika Aku mengeluh sakit kepala. Lekat, kutatap wajah pucat Mami, yang belum juga sadarkan diri, tangisku kembali pecah. “Banguuun, Mamiii. hiks, hiks, hiks,.. Mamiii, sadar Mii…!” Kami kembali menjerit.
Tiba-tiba, ponsel Mami berdering. Kak Tari beranjak meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. “Papiiii, hikshiks…” “Ada apa, Tari? Kenapa nangis?” “Pulang Piii, Mami sakit, Kami takut, hikshikshiks..!” “Mami sakit, apa?” Suara Papi terdengar panik. “Mami pingsan, ada darah di betisnya, hikshikshiks..” “MasyaAllah, cepat panggil tante Mira, Nak!”
Secepat kilat, Tari berlari memanggil tante Mira tetangga mereka. Tak lama, tante Mira muncul bersama om Erwin, suaminya. “Astagfirullah, Maminya Tari harus segera dibawa ke rumah sakit, Pak! Cepat, Siapkan mobil!” Tante Mira menatap wajah suaminya, cemas.
Mami segera dilarikan ke rumah sakit. Aku dan kak Tari tiada henti menangis, tante Mira memeluk Kami, mencoba menenangkan. “Mentari dan Senja, jangan nangis. Doakan Mami, ya!” di antara tangisan, Kami mengangguk mendengar bujukan tante Mira.
Papi tiba di rumah sakit, pada hari berikutnya. Kami berhamburan memeluk Papi, menangis dalam dekapannya. “Jangan nangis, Sayang! lebih baik, kita berdoa untuk kesembuhan, Mami, yaa!”
Setelah dua hari dirawat, kondisi Mami tidak juga membaik. Mami keguguran dan kehilangan banyak darah. kata dokter habenya rendah, sehingga membutuhkan tambahan darah. Tante Mira dan om Erwin telah memposting di media sosial kalau Mami membutuhkan darah, namun tidak banyak menolong. Menemukan pendonor yang cocok dengan darah Mami, ternyata tidaklah mudah.
“Yaa Allah, sembuhkan Mami, angkatlah penyakitnya.” Secuil pinta yang terucap dalam doa, usai sholat Ashar di Mushollah rumah sakit. Kami hanyalah saudara kembar yang baru kelas lima, belum banyak mengerti tentang kehidupan. Kami hanya ingin Mami cepat sembuh, itu saja.
Selesai sholat, Aku dan kak Tari meninggalkan mushallah. Saat membalikkan badan, Kami menjumpai Papi yang sudah berdiri di pintu Mushallah. Papi kemudian duduk berlutut, kedua tangannya terbuka lebar menyambut Kami. Aku dan kak Tari menghamburkan diri di pelukannya. Rambut Kami dibelai lembut, samar terdengar suara tangis Papi.
“Kenapa nangis, Pi?” Tanyaku. Papi menatap wajah Kami lekat, penuh kesedihan. “Mami tidak apa-apa, kan, Pi?” Kak Tari bertanya curiga. Kembali Papi memeluk Kami, demikian eratnya. “Tari dan Senja yang sabar, ya! Mami sudah pergi, Nak!” “Mami pergi kemana, Pi?” Tanyaku lugu. “Mami sudah meninggal, Nak.” Sontak Kami menagis keras. Kutatap wajah Papi yang juga bersimbah air mata. Kami belum sanggup kehilangan Mami. Kenyataan ini sangat memilukan. Mami adalah Mentari, dalam hidup Kami.
“Kembalikan Mami, ya Allah, hikshikshiks..” Aku mulai berontak. “Mengapa Mami tidak langsung memeriksakan diri ke dokter waktu itu? Mengapa Mami mengabaikan kesehatannya? Tidak memperhatikan dirinya? Mengapa Papi memberikan obat, sehingga Mami keguguran? Mengapaaa…?” Tiba-tiba, dunia terasa gelap seketika.
Lima tahun sejak kepergian Mami, Aku dan kak Tari berpisah. Aku tetap menemani Papi, sedang Kak Tari memilih mondok pada pesantern tahfidz di Palu. Hari ini, adalah senin kedua Papi harus menjemputku di sekolah. Entah kenapa, setiap kali mengikuti upacara bendera, kepalaku terasa sakit sekali. Pandanganku kabur, dan akhirnya jatuh pingsan.
“Sore nanti, kita ke klinik, ya, Nak!” Papi membujukku di ruang UKS. “Gak usah, Pi. Senja sudah baikan, kok!” Wajah Papi tiba-tiba berubah sendu, mendengar penolakanku. “Papi kok, jadi sedih, kenapa?” “Papi jadi ingat Mami, Nak! Dulu, Beliau juga bersikeras menolak, saat Papi mengajaknya ke dokter. Akhirnya semua jadi terlambat. Senja masih ingat kan, kejadian itu?” Air mata Papi menetas di kedua sudut matanya. Kesedihan dan penyesalan sangat tergambar pada raut wajahnya.
Aku bangkit memeluk tubuh, Papi dan menagis tersedu dalam pelukannya. “Maafkan Senja, Pi. Senja mau kok, diajak ke dokter.” Papi tersenyum, dan menghapus bulir bening yang masih merembes di pipinya.
“Papi sangat menyayangimu, Nak. Papi harap, Senja bisa menjaga diri, dan menjaga Kesehatan. Cintai dirimu, Nak, semua bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk papi juga. Tahukah Kamu, Nak? Dengan menantapmu, memandang senyummmu, rindu Papi pada Mami, dan kak Tari bisa terobati.” Pelukan sama Papi semakin kueratkan, rasa bersalah hadir pula memuhi rongga dadaku. “Senja sangat mencintai, Papi. Senja tidak akan mengecewakan Papi. Senja akan selalu berusaha membahagiakan, Papi.”
Cerpen Karangan: Zakiah Mahmud Blog / Facebook: Zakiah Mahmud Zakiah Mahmud, seorang guru sekaligus ibu rumah tangga.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com