“Informasi terkini, korban positif covid-19 sebanyak 12.345 orang, sembuh 8.654 orang, dan meninggal 543 orang. Diharapkan masyarakat tetap menjalankan 3 M, memakai ma.. PIPP”. Belum habis berita itu, tv sudah lebih dulu dimatikan oleh seorang gadis yang tengah menggerutu. “Huhh, dari kemarin itu-itu aja beritanya. Ga guna banget, korbannya juga bakalan nambah terus, heran deh.” Gadis itu segera bangkit dan berjalan ke lemari pakaian untuk mengganti bajunya.
“Buk, aku pamit ke luar dulu ya, mau ke toko buku,” pamit Sarah pada ibunya. “Eh, serius kamu mau keluar? jangan deh nak, sekarang lagi musim corona. Mending kamu di rumah aja, bantu ibu,” kata ibu Sarah. “Aduh buk, masa aku di rumah terus, ini udah 3 bulan lho buk. Lagian aku tuh keluar bukan buat main ga jelas, aku cuma pengen beli buku. Kok mesti dibikin susah sih buk?” kesal Sarah.
Bapak yang baru keluar dari kamar berkata saat mendengar percakapan antara ibu dan anak tersebut. “Bukan begitu nak, ibuk kamu bilang begitu karna takut kamu kenapa-kenapa. Lagi pula saat ini keuangan kita sedang menipis. Gimana kalau beli bukunya kita tunda untuk beberapa waktu? nanti bapak janji akan belikan buku apapun yang kamu mau.” “Ga mau. Buku yang aku pengen itu limited edition pak, kalau belinya lama bisa-bisa udah keburu habis dong. Lagian nih ya pak, keuangan keluarga kita menipis tuh salah bapak juga. Siapa suruh bapak kerjanya setengah-setengah. Udah tau kita lagi susah,” kata Sarah menyudutkan sang Ayah.
“Astaghfirullah nak, siapa yang mengajari kamu bicara seperti itu. Asal kamu tau nak, bapak seperti itu karena mikirin kita. Bapak hanya mengikuti protokol kesehatan yang mengharuskan menutup tokonya lebih awal,” kata ibuk sambil menahan amarahnya. “Udah deh, aku ga peduli. Yang penting sekarang aku tetap mau pergi. Tenang aja, aku pake duit tabunganku kok. Assalamu’alaikum”. Sarah segera keluar tanpa mengindahkan teriakan sang ibu. “Sarah, siapa yang injinin kamu pergi. Sarah…” Ibu Sarah tetap memanggil Sarah meskipun tidak ada jawaban sama sekali. “Udahlah buk, saat ini biarkan dia pergi. Kita doakan saja, dia tidak kenapa-napa,” kata Ayah Sarah.
Seminggu setelah perdebatan antara Sarah dan Ibunya, mereka kembali akur. Meski begitu, Sarah tetap enggan meminta maaf karena dirinya gengsi. Untungnya Ibu Sarah tidak mempermasalahkannya, yang penting baginya Sarah telah pulang dengan selamat. Namun ada yang berbeda pada pagi ini, di meja makan hanya ada Sarah dan Ibunya. “Buk, bapak mana ya? kok ga ikut sarapan?” tanya Sarah. “Bapakmu lagi ga enak badan, ini ibuk mau nagantar bubur ke kamar bapak,” terang ibu Sarah. “Ooh.” Sarah pun tidak bertanya lebih lanjut lagi.
Hari ini sudah seminggu sejak Ayah Sarah sakit. Belum ada tanda-tanda kondisinya akan membaik. Ibu Sarah yang khawatirpun segera membawa suaminya ke Rumah sakit. “Bagaimana keadaan suami saya dok?” tanya Ibu Sarah. “Maaf buk, dari hasil tes Swab kemarin Suami ibuk positif terkena Covid-19.” “Innalillahi..” Ibu Sarahpun syok mendengar kabar tersebut. Ia pun segera mengurus administrasi untuk perawatan suaminya selama di Rumah Sakit.
Di rumah, Sarah yang melihat Ibunya hanya pulang sendiri pun bertanya. “Buk, bapak mana? Oh iya, kata dokter bapak sakit apa buk? ga parah kan?”. Ibu Sarah yang mendengar pertanyaan putrinya itu pun kembali menangis, setelah tenang ia mulai menjelaskan kondisi Ayah Sarah sambil mengusap bahu anak satu-satunya itu. “Bapak kena corona? buk, bapak bisa sembuh kan buk? iya kan buk? bapak bisa segera pulang kan buk?” tuntut Sarah sambil menangis. Ia tak menyangka bahwa orang terdekatnya ikut terkena penyakit yang sering diremehkannya itu.
Kini, tepat 2 tahun setelah kepergian ayah Sarah. Ya, beliau meninggal dunia 3 minggu setelah dinyatakan positif covid-19. Sarah adalah orang yang paling terpukul saat itu. Dia benar-benar menyesal telah memaksa ayahnya untuk bekerja full disaat virus tersebut masih berkeliaran. Saat ini, Sarah telah banyak berubah. Covid-19 telah berakhir. Namun sekarang Sarah justru menjadi orang yang sangat perfeksionis. Setiap keluar rumah ia masih tetap memakai masker, tak lupa juga membawa handsanitizer yang selalu siap sedia di dalam tasnya. Hanya satu yang dia mau, Ia tak ingin mengambil risiko virus tersebut akan kembali, dan mengancam nyawa ibunya. Tidak, ia tak ingin itu terjadi.
Meski begitu, Sarah tetap bersyukur karena masih bisa berkumpul bersama ibunya disaat teman-temannya banyak yang kehilangan kedua orangtuanya akibat covid-19 tersebut. Yaa, walaupun ia masih juga sering membayangkan seandainya Ia, bapak, dan ibunya masih bisa bersama walaupun dalam masa pandemi. Tapi sekali lagi, ia sudah ikhlas.
Cerpen Karangan: Hana Cahaya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com