Saya akhirnya bertemu Ibuk. Setelah sekian lama. Saya rindu sekali. Setelah sekian lama. Beliau berada tepat di hadapan saya. Setelah sekian lama. Saya masih sama. Masih tetap jadi putri mungilnya. Satu-satunya. Yang ringkih dan tak berdaya. Yang selalu bersembunyi di balik ketiaknya, ketika pulang. Dan setelah sekian lama, Ibuk pulang juga. Akhirnya. Hal yang begitu saya tunggu-tunggu datang juga. Setelah sekian lama. Saya tahu, beliau pasti pulang. dan benar saja, Ibuk pulang malam itu. Untungnya malam itu saya libur bekerja. Tapi alih-alih mendekap saya erat, ketika Ibuk pulang, beliau hanya berdiri melihat saya, yang membukakan pintu, dan menangis di depan pintu rumah kami. Dengan penampakan yang kacau balau.
Masih saya ingat betul wajahnya, hanya agak sedikit pucat, barangkali belum makan, atau nampaknya tidak merawat dirinya dengan baik. Wajahnya semakin renta. Guratan di wajahnya semakin memperlihatkan bekas-bekas kerja keras. Remuk hati saya melihatnya dalam kondisi begitu, penuh lebam dan goresan, hanya mengenakan daster lusuh yang telah robek dan penuh tambalan di sana-sini. Kehidupan macam apa yang Ibuk jalani di luar sana? Apa saja yang sudah terjadi selama ini padanya?
Tentu saja saya sudah mengajaknya masuk ke dalam, supaya saya dapat membuatkan air hangat, supaya beliau dapat mandi, dan mengganti dasternya dengan daster milik saya. Supaya saya kemudian bisa mengobati semua lebam dan bekas luka-luka itu. Lalu kemudian kami bisa bercakap-cakap, seperti dahulu. Tapi beliau tetap bergeming. Sambil menggigil dan menangis, dan terus menangis.
Saya sudah bilang pada Ibuk, bahwa saya sama sekali tidak membencinya, Tidak. Saya juga sudah bilang bahwa saya menerima segala keputusannya untuk menghilang selama ini. Tapi Ibuk terus menangis. Saya mencoba meraihnya untuk merasakan pelukannya yang sudah lama tidak saya rasakan, tapi beliau malah menjauh beberapa langkah, saya tahu betul bahwa Ibuk tidak baik-baik saja, dan saya mencoba mengerti, sudah berusaha menenangkannya, tapi ia tetap larut dalam tangisnya. Sudah saya bilang, bahwa di luar dingin, apalagi sudah malam begini. Tapi beliau tidak mendengarkan. Saya bingung hendak berbuat apa, maka saya bilang untuk menunggu supaya saya buatkan teh hangat. Barangkali Ibuk masih butuh waktu untuk menata kembali segala perasannya. Segala yang telah beliau tinggalkan. Bagi saya pastilah Ibuk punya alasannya sendiri mengapa beliau harus pergi hari itu. Saya sendiri tidak pernah membenci Ibuk. Ibuk manusia yang melahirkan saya ke dunia. Manusia satu-satunya yang sangat saya cintai di dunia ini. Jadi mengapa saya harus membencinya?
Maka saya pergi ke dapur, menjerang air, menyeduhkan teh untuknya. saya bawa ke depan teras. Saya letakkan di kursi kayu kecil dan mengajaknya duduk serta. Tetapi beliau tetap berdiri di sana. Diam. Saya kembali berkata bahwa saya baik-baik saja. Segalanya sudah saya terima dan saya sama sekali tidak membencinya.
Setelah sekian lama menunggu dan meyakinkannya, tangisnya agak reda, dan ia pun berucap, masih dengan sesunggukan, “Maryam, kamu ingat pesan Ibuk, Nak?” Tentunya saya ingat, satu-satunya pesannya sedari saya kecil, bahwa, saya tidak boleh nakal. Saya selalu menurut, tidak pernah bermain keluar rumah. Setiap pagi buta, sebelum subuh, saya ikut bantu ibuk mempersiapkan dagangannya. Ibuk yang menggoreng, dan saya yang menatanya pada sebuah tampah besar. Saya yang mengambilkan daun pisang di sebelah rumah. Melapisi tampah dengan daun pisang itu. Sepulang sekolah saya langsung pulang. Menunggu Ibuk pulang. Biasanya Ibuk pulang bakda Magrib. Kadang bakda Isya, tidak tentu. Kadang gorengan dagangannya itu habis. Kadang tidak ada sama sekali yang beli. Tapi Ibuk yang saya kenal, dalam kondisi apapun, tidak pernah menangis macam malam ini. Karena saya selalu menurut kata Ibuk. Saya selalu menunggunya di rumah, juga sembahyang saban waktunya, mengerjakan PR dari sekolah dan membantu Ibuk membersihkan rumah dan pekarangan, mencuci baju, dan pekerjaan rumah lainnya. “Saya masih ingat, Buk,” jawab saya.
Andai saja, Ibuk tidak pergi sepuluh tahun yang lalu, saat itu, dan adik-adik Ibuk yang menagih hutang-hutang kami pada mereka tidak menjual rumah beserta segala barang-barang, mungkin saya akan tetap jadi anak yang baik, tidak nakal, tetap menunggu dengan manis Ibuk pulang, karena saya tahu, barangkali Ibuk kesulitan menemukan tempat tinggal saya yang sekarang. Atau barangkali, selepas Pakde Nug mengajak saya bekerja di kota, dan menjual saya pada seorang mucikari, dosa-dosa saya ini tidak lagi bisa diampuni. Barangkali, doa-doa saya untuk Ibuk saban malam jum’at ketika saya selalu minta libur dan tidak melayani laki-laki bejat, belum sampai, atau terhalang, karena kekotoran diri saya ini.
Saya tahu, orang-orang pastilah hanya tahu bahwa saya adalah seorang perempuan nakal, yang kata mereka menikmati pekerjaan durjana ini, dan tidak mau mencari pekerjaan yang baik. Tapi mereka tidak tahu, bagaimana sulitnya keluar dari jeratan dunia seperti ini. lari hanya membuat diri ini dikejar dan nyaris terbunuh. Maka saya hanya bisa menerima nasib ini dan bersyukur, Ibuk bisa pulang, menemukan saya, dapat bertemu dengannya, meski hanya saban malam Jum’at, ketika saya selalu berdoa untuk arwahnya. Ampuni saya yang nakal ini, Buk.
Cerpen Karangan: Mas.ubi Facebook: facebook.com/ayyubi.kun Seorang Mahasiswa tingkat akhir.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 26 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com