Dunia remaja, orangtua bilang, adalah dunia penuh jebakan, penuh dengan huru hara atau euphoria sementara. Bisa saja, sewaktu-waktu kamu terjerumus tanpa tahu jalan keluarnya. Namun tetap, masa remaja adalah hal terindah dalam metamorfosa hidup. Semua kisah persahabatan, pencarian jati diri, bahkan mungkin, kisah cinta seindah drama picisan ada di sini. Hingga tak asing lagi, jika banyak orang menyebutkan bahwa masa remaja, khususnya SMA adalah masa penuh warna. Karena memang begitu adanya.
Tapi mungkin, tak semua merasa begitu. Beberapa dari mereka, tak mampu mengekspresikan apa yang mereka rasa Hanya diam, mengikuti titah orangtua, tanpa mampu berkata ‘tidak’, mengikuti semua arahan, layaknya robot, menjadi apa yang orangtua mereka mau. Mungkin, kalian bukan seperti itu, syukurlah.
Atau mungkin kalian bagian dari mereka?
Hanya mampu bisu, mengangguk atas semua perintah dengan dalil membuat orangtua kalian bangga. Tak ada waktu memikirkan apa dan bagaimana kalian kelak, tak pernah merasakan bagaimana serunya menulis mimpi pada puluhan atau ribuan kertas. Terbelenggu dalam tradisi ‘Anak Penerus Orangtua’.
Liana salah satunya, gadis kalem dengan sejuta mimpi pada otaknya. Mungkin bagi orang yang tak mengenalnya, Liana hanyalah murid biasa yang pandai di ilmu biologi atau. Mereka tak tahu, tulisan apa yang mampu dihasilkan dari hasil goresan tangan mungilnya. Sesuatu yang tak mampu diperkirakan, imajinatif, penuh pemikiran berat yang mungkin merupakan sesuatu yang belum mampu dicapai oleh otaknya. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti. Karena dia memilih bungkam, tak ingin bersuara, menutup sayapnya rapat-rapat.
Orangtuanya tak mengharapkan banyak darinya, tak pernah menanyakan apa dia ingin menjadi. Terlebih Ibunya, benar bahwa Ibunya menginginkan akhirat lebih dari apapun. Tapi dia ingin menjadi seseorang yang lain, menjadi apa yang dia bayangkan dan impikan, bukan hanya sekedar bunga tidur atau khayalan liarnya.
“Liana, udah bel tuh! Ngantin nggak?” Gadis dengan jilbab sekolah putih itu tersenyum tipis, menggeleng kecil. “Nggak Tan, kalau mau ke kantin duluan aja. Aku lagi nggak mood jajan.” Jawabnya tanpa menatap teman sebangkunya. Tania mendengus kesal, sudah sekitar satu minggu partnernya seperti ini.
“Kenapa sih? Nulis lagi?” tanyanya setengah ketus. “Udah aku bilangin kan, kalau kamu minat jadi penulis, ikut klub sastra sekolah aja.” Saran gadis itu. “Tinggal daftar, tandatangan ortangtua, gampang kan?”
Liana tersenyum. “Aku nggak niat, Tan. Suka pun percuma. Orangtua nggak bakal ngizinin. Buat apa? Kamu nggak bisa gantungin hidup dari sastra, kalau cewek mau kerja, cari yang punya penghasilan tetap sekalian.” Ada senyum sendu di wajah pucatnya. “Tau sendiri kan? Mama selalu mikir, cewek itu nggak usah sekolah tinggi-tinggi, nggak perlu punya cita-cita banyak. It always useless you know?”
“Karena pasti selalu baliknya ke dapur?” Tania memotong ucapan temannya. Gadis itu hanya tersenyum, kembali fokus pada laptopnya.
Tania mendengus, mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ini, aplikasi pendaftaran klub sastra sekolah. Isi, besok harus ada di aku. Oke?” “Nggak akan boleh Tania, iya kalo kamu ngasihnya formulir klub tahfidz. Mama aku dengan senang hati langsung tanda tangan.” Dengus Liana jengah. Tania menepuk bahunya. “Coba dulu.” Gadis itu tersenyum hangat, berjalan keluar kelas. Hendak keluar dari kelas, ingin mengisi peliharaannya dari berbagai spesies dan kingdom.
Sesekali Ia menghela napas pelan. Terkadang, dia kesal dengan takdirnya. Mengapa dia dilahirkan diantara keluarga yang menganut tradisi lama? Alangkah bahagianya jika andai dia lahir di antara mereka yang mendukung mimpinya. Tapi, bolehkan dia menyalahkan takdir?
“Assalamu’alaikum…” Ucapan salam itu lirih, rumahnya kosong. Hanya ada suara murratal yang mengalunkan nada Mishary Rasyid, menandakan bahwa rumah itu berpenghuni. Liana menghela napas, melepas sepatunya, menaruh di rak sepatu.
“Udah pulang kak?” Liana tersenyum, mencium punggung tangan ibunya. “Langsung mandi, sholat ashar gih, habis gitu tadarus!” perintah wanita berkepala empat itu. Liana menghela napasnya. Teringat tentang formulir yang terlipat di dalam tasnya. Kapan dia akan mengatakannya? Ingin dia mencegah Ibunya untuk kembali ke dapur, namun lidahnya kelu. Mungkin, nanti malam.
Malam, gadis itu duduk di meja makannya. Melingkar di antara keluarga kecilnya. Mata bulatnya menatap mangkok berisi sotonya, tak menyentuh sama sekali. Jemarinya terus berputar mengaduk mangkoknya.
“Kenapa nggak di makan?” Ayahnya bertanya. Liana tersenyum masam, menyesap sedikit kuah sotonya. “Pah, Lian… boleh minta sesuatu?” tanyanya ragu. Pria itu mengerutkan dahinya. “Adek minta apa? Sepatunya rusak? Atau mau beli laptop-“ “Mas, jangan manjain Lian mulu ah! Itu bukan sifat tirakat ala Rasulullah, Allah nggak suka!” Ibunya langsung menyela. Gadis itu hanya tersenyum kecut. Selalu begini, Ibu dan Ayahnya tak pernah sepemikiran. Sebenarnya bisa saja Liana hanya berbicara pada Sang Ayah. Tapi pasti Ayahnya juga akan berbicara pada Ibunya. Liana sudah tau jawaban wanita itu. Tidak.
“Bukan masalah uang, Pah. Liana cuman mau ikut ekskul sastra di sekolah, nggak bayar kok. Boleh ya?” “Nggak.” Ibunya menginterupsi. “Nggak ada nulis-nulisan, Mama nggak suka kamu melakukan pekerjaan yang belum jelas hukumnya. Banyak mudharat, udahlah kamu nggak usah aneh-aneh. Buat apa sih jadi novelis? Hidup kamu terjamin memang? Yang harus kamu fokuskan itu hafalan kamu, nggak usah mimpi ketinggian, nanti mama jodohkan kamu sama hafidz muda yang sukses.” Mata gadis itu membola. “Nggak, Liana nggak mau. Mama kenapa sih udah ngomong jodoh-jodohan? Lian masih mau kuliah, masih banyak cita-cita yang harus Lian wujudkan.” “Mama udah ngomong kan? Jangan permah bahas ini lagi. Habisin makanannya, habis gitu tilawah. Setor 3 halaman ke Mama.” Pembicaraan itu berakhir sepihak. Ibunya langsung pergi dari meja makan. Gadis itu menunduk, wajah ayu nya kuyu.
Tak ada gunanya, percuma dia berusaha. Tak ada yang mendengarkannya. Mata hitamnya menoleh pada Sang Ayah, disunggingkan senyuman kecil dari bibirnya. Ia tahu bahagimana hati superhero keluarganya itu. Dilema, antara membela putri bungsunya atau istri tercintanya?
“Gimana Lian? Udah keisi kan?” Ia menoleh pada Tania, kilas. Lalu duduk di bangkunya, memalingkan wajah ke jendela. “I’ve told you right? It useless. Lebih baik kayak gini, aku cuman diam dan mengikuti mereka. Dengan begitu, nggak ada yang merasa terluka.” Gumamnya. “Tapi kamu yang bakal terus pasang topeng.” Tania duduk di bangkunya. “Aku sahabat kamu, aku cuman mau kamu mendapat apa yang kamu impikan. Lian, kita nggak harus jadi apa yang orangtua kita harapkan. Kita-“ “Tania cukup!” Gadis itu meninggikan suaranya. “Aku nggak mau berusaha lagi, percuma. Mama aku nggak akan luluh. Jadi aku minta tolong ke kamu, jangan pernah paksa aku lagi. Mungkin, suatu saat nanti aku bisa menjadi apa yang aku mau. Walau aku harus menjadi orang lain untuk bisa jadi diri aku sendiri, nggak masalah.”
Tania menghela napasnya. “Sampai kapan, Lian?” “Aku-” Lidahnya tercekat, tak tau apa yang harus dia katakan. Benar, sampai kapan dia akan begini? Sampai kapan dia membiarkan sayapnya tetap patah dan meranggas? Tak ingin memperbaiki atau mengokohkan. Bukan, bukan tak ingin. Tapi gadis itu ragu, kapan sayapnya akan cukup kuat untuk mampu terbang tinggi, ke tempat yang dia inginkan? Tuhan, bolehkan dia mengharapkan keajaiban jika suatu saat nanti takdir mampu berpihak padanya, agar takdir mau membiarkannya menulis kisah-kisah pada buku kehidupannya? Tegakah Ia membiarkan sayapnya semakin rusak, hingga suatu saat nanti sayap itu musnah dan raib? Mampukah Ia, tetap ada dalam lapisan topeng ini? Jikalau ‘Iya’,
Sampai kapan?
TAMAT
Cerpen Karangan: Rie Fallia Blog / Facebook: Shabrina Zalfa Amalia Another story from Rie Fallia. si penulis amatir yang suka mojok buat kata-kata puitis.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com