Hari ini aku dan ibu memutuskan untuk kembali tinggal di rumah kakakku Cindy Prasetya. Ya, setelah satu minggu kepergian kakak iparku, aku dan ibu memang sempat meninggalkan teh Cindy seorang diri. Bukan tanpa alasan atau kami tega meninggalkan dia yang saat itu masih dalam keadaan terpukul akibat kepergian suaminya.
Dua hari setelah kepergian kakak iparku. Aku harus melanjutkan studiku di Malang. Sementara aku tak tega meninggalkan ibu yang sudah renta dan agak pikun, berdua dengan kakakku yang jiwanya agak terganggu.
Setelah empat jam menempuh perjalanan panjang. Akhirnya, aku dan ibu sampai di sebuah rumah sederhana yang saat ini keadaannya sangat kumuh. Banyak daun-daun kering yang berserakan di lantai hingga debu yang menempel pada kaca jendela. Tiba, aku membuka pintu seraya mengucapkan salam. Tapi tak ada yang jawab salamku, hingga aku terus berjalan diikuti ibu yang mengekor sambil mendorong dua koper besar yang berisi pakaian kami. Namun ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku lihat ibu mematung di di depan kamar yang ditempati oleh teh Cindy dan almarhum suaminya.
Aku pun kembali melangkah mundur menghampiri ibu. Dan bertanya. “bu. ibu kenapa, kok diam di situ?” lalu ibu berkata sambil tangan kanannya menunjuk seseorang. “Coba lihat itu, Lit!” aku pun mengikuti arahan tangan ibu, dan betepa terkejutnya aku. Saat melihat apa yang ada di sana. Spontan aku berlari dan menghampiri kakakku. Ya, orang yang ibu tunjuk tak lain adalah teh Cindy yang kini keadaannya sangat menyedihkan. Rambutnya yang kotor, wajah yang tak terawat bahkan pakaian yang dikenakan teh Cindy masih sama seperti sebelum aku dan ibu meninggalkannya. Yaitu kemeja coklat dan celana jeans warna senada dengan rambut yang dibiarkan tergerai dan tanpa polesan make up.
Aku pun berjalan mendekatinya, lalu menyentuh pundaknya, seraya berkata “Teh” teh Cindy pun menoleh dan langsung memelukku. Dan terjadilah haru biru diantara aku dan ibu melihat keadaan teh Cindy.
Dua jam kemudian. Akhirnya aku selesai memandikkan teh Cindy, kini dia sudah rapi dan wangi, lalu aku pun menuntun teteh menemui ibu yang sedang duduk di ruang tamu, dan mendudukkannya di salah satu kursi. Setelah itu aku pun pergi ke dapur mengambilkan makan dan minum untuk teteh. Dan saat aku hendak berjalan. Tiba-tiba, ahh… tunggu aku mas! aku ikut! jangan tinggalin aku sayang! kembali kudengar teh Cindy berteriak memangil kak Edward dan sepertinya sedang ditenangkan oleh ibu. Gegas kupercepat mengambil semuanya lalu kembali ke ruang tamu. Lagi dan lagi kulihat kesedihan terpancar di wajah ibu yang begitu sabar menenangkan teteh dalam dekapan hangatnya yang begitu erat. Tak berapa lama akhirnya teh Cindy kembali tenang, setelah teh Cindy tenang ibu meraih mangkuk yang berisi bubur dan menyuapkannya pada teh Cindy.
Seminggu kemudian. Makin hari kondisi teteh makin memburuk, hingga aku dan ibu berencana untuk membawa teteh berobat ke rumah sakit Singapura. Kebetulan, ayah dari sahabatku adalah kepala di rumah sakit itu, sehingga aku mendapat potongan biaya untuk pengobatan teteh.
Hari ini aku, ibu dan teh Cindy berangkat ke rumah sakit Singapura. Meski terselip khawatiran saat akan membawa teh Cindy ke sana. Tapi, aku dan ibu berusaha untuk tenang, berharap semua akan baik-baik saja dan teteh bisa kembali normal.
Pukul 08.00 taksi online yang kupesan sudah tiba. Gegas aku dan ibu menuntun teh Cindy untuk masuk mobil. Aku duduk di samping kemudi, sementara ibu duduk di kursi belakang menemani teh Cindy. Sepuluh menit perjalanan semua masih baik-baik saja. Tetapi saat kami melewati persimpangan jalan, tiba-tiba aku melihat dari kaca spion tangan kanan teteh nunjuk ke depan seolah ia melihat sesuatu, bahkan yang membuatku tambah panik saat melihat teh Cindy menajamkan matanya, menghentakkan kedua kakinya bahkan mulutnya pun bergetar, tetapi kesulitan saat ingin mengatakan sesuatu. Hingga ibu yang sudah tertidur pulas, terbangun akibat teriakan teteh, sigap ibu pun langsung menenangkan teh Cindy, mulutnya tak henti merapalkan doa-doa. Hingga tak lama kemudian, teh Cindy kembali tertidur.
Hatiku semakin sakit dibuatnya, beruntung supir taksi yang kami tumpangi sangat baik, seakan dia mengerti keadaan kami. Tiba, aku berkata “maaf, ya pak”. Hingga dia berkata dan bertanya. “tak apa, non. Memangnya kalo saya boleh tau, kakaknya sakit apa, non?” tiba aku menjawab, “Dia, ahh. Aku malu mengatakannya, mas. Kadang dia selalu bicara sendiri dan tertawa sendiri. setiap kami tanya. Dia, selalu berkata dia bicara dengan suaminya. Mungkin, dia merasa suaminya hidup dan masih bersamanya.”
Singkat cerita, kami sampai di halte yang pesawatnya akan mengantar kami ke rumah sakit Singapura. Saat dalam pesawat banyak orang yang melihat teteh, yang rambutnya kusut dengan air mata yang masih menganak sungai. Astaga, sigap aku menyisir rambut teteh dibantu ibu yang membersihkan air mata di pipinya dan mengenakan kaca mata hitam pada teteh, hingga tak lama setelah itu ibu dan teteh duduk beriringan di kursi sebelah kanan, dan aku duduk di kursi sebelah kiri.
Pukul 14.00 akhirnya kami tiba di rumah sakit Singapura. Aku bergegas mengurus administrasi perawatan teh Cindy, sementara ibu dan teh Cindy duduk di kursi tunggu. Tak lama suster datang membawa kursi roda, gegas aku dan ibu mengikuti teh Cindy dan suster dari belakang.
Tiga minggu kemudian Dret! Dret! Dret! Gegas kuangkat telepon yang letaknya di meja hotel, terdengar suara dokter Riqi di seberang sana. Dia mengabarkan jika kondisi teteh sudah membaik dan diperbolehkan pulang sore ini.
Kini aku dan ibu menjemput teh Cindy. Kami berencana untuk langsung pulang, pesawat yang kami tumpangi akan mendarat pukul 19.00. Keceriaan terasa kembali diantara kami. Aku senang sekali melihat keadaan teteh saat ini. Begitu pula ibu, terpancar keceriaan di wajah keriputnya, gegas kuabadikan momen ini di ponselku. Setelah lama menunggu akhirnya tibalah kami untuk menaiki pesawat.
Pukul 23.00. Setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan akhirnya kami tiba di rumah. Dan kami pun memutuskan untuk tidur bertiga di ruang keluarga. Ya, ibu bilang ini semua untuk merayakan kesembuhan teteh.
Keesokan harinya. Saat aku sedang membereskan warung, tiba-tiba teh Cindy menghampiriku dan memberi saran agar warung yang sudah aku dirikan, disediakan pula makanan serta minuman ringan, seperti dulu. Hingga dia berkata akan menambah modalnya. Ya, sejak aku dan ibu memutuskan kembali tinggal di rumah kakakku. Untuk menyambung kebutuhan hidup aku membuka kembali warung yang pernah dikelola oleh teh Cindy, tapi aku hanya menjual peralatan kantor dan peralatan sekolah saja.
Kini empat puluh hari kepergian kakak iparku. Teteh benar-benar terlihat sudah menerima kepergian suaminya. Kini aku dan teteh akan pergi ke swalayan untuk belanja keperluan warung. Teteh yang mengemudikan mobil, tetapi saat sedang asyik menikmati perjalanan tiba-tiba. Brak! Mobil yang kami tumpangi remnya blong, hingga teh Cindy banting stir dan mobilnya masuk ke dalam jurang, yang untungnya tidak terlalu dalam. Aku yang mengalami luka ringan, berjalan tertatih hendak mencari pertolongan.
Dua minggu kemudian. Kini aku dan ibu berencana mengadakan tahlilan untuk mendoakan kakak iparku, sekaligus meminta doa agar teteh lekas bangun dari tidur panjangnya. Tetapi saat tahlilan sudah digelar. Tiba-tiba. Tring! Tring! Tring! Telepon rumah berbunyi, gegas ku keluar dari kumpulan bapak dan para ibu yang sedang membacakan surat Yasin. Hingga saat kuangkat teleponnya. Ternyata dari rumah sakit yang mengabarkan teteh telah tiada. Gegas kuberitahu ibu, hingga aku dan ibu langsung pergi ke rumah sakit ditemani pak RT dan Bu RT. Ya, sejak kecelakaan mobil dua minggu lalu. Teteh koma dan kini dinyatakan meninggal dunia.
Cerpen Karangan: Dinbel Pertiwi Blog / Facebook: Dinbellap7165[-at-]facebooks.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com