Langkah-langkah itu terabaikan. Mereka berhenti pada kegelapan yang paling dasar. Menatap keyakinan terlalu dalam, hingga aku merasa hilang arah. Aku mengingat berbagai momen ketika semua langkah itu tidak lagi terdengar. Ayah dan Ibu, mereka tidak kembali. Aku tidak lagi mendengar suaranya. Suara yang mendambakan hati itu, kini telah menjadi milik orang lain.
Ayah dan Ibu, aku masih berada di atap yang sama. Setiap hari aku melihat keluar rumah, aku mengharapkan kepulanganmu. Rasa hangat pelukmu, tidak lagi selimuti dinginnya tenggelam dalam air mata. Aku menghitung hari. Dan itu terasa sangat lama sejak terakhir aku melihatmu. Ayah dan Ibu, aku akan tetap berada di rumah yang sama. Aku mengharapkan setiap harinya adalah kedatanganmu lagi.
“Suatu ketika, aku dan keluargaku pergi berlibur ke suatu tempat. Hari itu senyum dan tawa terlukis pada semua anggota keluarga. Kami saling memotret satu sama lain. Terlebih, kami makan pada meja yang sama. Setelah itu, kami pulang ke rumah yang sama juga”. Kini aku sangat merindukan ketika aku membayangkannya sebelum aku benar-benar tertidur.
Aku melihat, orang-orang dan keluarga itu mereka terlihat bahagia dan utuh. Mereka pergi bersama-sama dan bahagia bersama-sama. Mereka saling berkunjung satu sama lainnya dan mereka berkumpul sesekali pada rumah yang sama. Ayah dan Ibuku, mereka memiliki banyak uang, mereka memiliki mobil mahal dan barang-barang yang mewah. Aku tidak pergi liburan. Aku memiliki keluarga besar. Kebanyakan dari mereka adalah berpangkat. Dan aku tidak berkumpul dengan keluarga besar.
Setiap kali aku merindukan Ayah dan Ibu, aku membuka pintu, membiarkan bayangnya pulang dan kembali. Aku percaya, kerinduan Ayah dan Ibu kepadaku, pasti pulang terbawa angin. Dengan memeluk angin itu, maka kerinduan dapat dilepas.Namun seringkali aku tersadar, bahwa semua orang dan aku tak dapat memeluk angin sehingga semua rasa rindu yang mendalam hanya tetap menjadi kerinduan.
Ayah, Ibu, aku sangat ingin tahu alasan mengapa kau pergi. Aku menerima semua alasan itu. Bahkan jika, semua karena aku sakit mental. Aku bisa berdiam di rumah, berhenti membuatmu resah. Aku bisa melakukan semuanya yang kau mau. Tapi pulanglah ke rumah kita yang dulu, aku masih ada disana menjaga rumah kita. Mari kita mulai semuanya dari awal lagi, kita akan menjadi keluarga lagi.
Ayah, Ibu, aku ingin memberitahumu satu hal. Aku tetap menunggu disini. Jika nanti kau sudah ingin pulang, maka tidak perlu lagi untuk mengetuk pintu. Aku tidak mengunci pintu rumah kita. Rumah ini, pasti akan selalu terbuka menyambut kedatanganmu. Semua karena, aku tidak lagi bisa mendengar. Itu baik daripada mendengarkan hinaan orang lain dan bertengkar lalu membuatmu merasa resah. Aku mempersiapkan semua dengan baik, mulai dari menjaga rumah kita tetap aman walaupun tanpa dikunci. Jangan pulang ke rumah yang lain.
Aku seorang tempramen dan aku sakit mental. Sebelum Ayah dan Ibuku pergi, aku seringkali bertengkar hebat dengan seseorang. Semua karena aku dihina dan aku tidak bisa menahan amarah. Itu membuat orangtuaku mencemaskanku. Hari ini aku mengerti mereka lelah dengan semua kejadian yang ada. Juga mengurus anak yang sakit itu bukan hal yang mudah. Aku pernah dianggap psikopat karena menyakiti orang lain dengan kasarnya. Aku menyesali aku tidak dapat menahan amarah ketika orang-orang menghinaku. Dengan tidak bisanya aku mendengar, aku harap ini akan jauh lebih baik bila tidak mendengarkan hinaan orang lain. Aku berharap, kita bisa berkomunikasi melalui teks.
Cerpen Karangan: Lvxi Ramadhani Blog / Facebook: Dhani Ode
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com