Pada dasarnya, manusia menginginkan kecukupan pada dirinya. namun, sekali dicukupkan, manusia selalu saja merasa kekurangan dengan apa yang dimilikinya. mengapa demikian? Karena mereka tidak pernah bersyukur dengan apa yang mereka miliki, sehingga mereka tidak akan pernah puas dengan apa yang mereka dapatkan.
pada pagi yang mendung itu, seorang anak perempuan berusia 10 tahun tengah duduk termenung sendirian di tepi jalan. ia hanya berdiam diri, menunduk, jalan mondar-mandir karena sedang menunggu kedatangan sang bapak yang sedang bekerja menyapu jalanan. Anak perempuan itu Namanya Wanda, Wanda Ayu Wasesa. anak dari tukang sapu jalanan yang sehari-harinya hanya mendapatkan upah untuk sekedar makan saja. Wanda tidak merasa malu memiliki bapak tukang sapu jalanan, karena pekerjaan tersebut juga merupakan pekerjaan yang mulia.
setelah menunggu cukup lama, akhirnya bapak dari anak itu datang dengan membawa sapunya dan juga dengan peluh keringat yang mengucur di dahinya. “sudah lama nunggu bapak nak?” kata Bapak pada Wanda. Wanda hanya menggeleng dan tersenyum. “kamu mau makan?” tanya bapak lagi. Wanda sebenarnya sudah keruyukan sedari tadi saat menunggu bapaknya selesai bekerja. namun, wanda takut jika bapak tidak ada uang untuk membelikannya makanan. akhirnya, Wanda menggelengkan kepalanya. Namun, perutnya yang berbunyilah yang menjawab. “tuh kan, yang jawab malah perutnya. Wanda ga usah bohong kalau mau makan,” ujar bapak sambil mengelus lembut kepala anak perempuannya itu. Wanda mengerucutkan bibirnya, “takut bapak ga punya uang,” tutur Wanda sambil menundukkan pandangannya. bapak pun menggelengkan kepalanya mendengar penuturan anak perempuannya itu, “Wanda anak bapak satu-satunya, dan bapak juga mencari nafkah untuk Wanda, untuk anak bapak biar bisa makan. kalau Wanda minta uang, bapak nanti kasih, nak. jangan ragu buat minta sama bapak,” akhirnya Wanda menganguk dan mengerti dengan apa yang bapaknya ucapkan.
Kemudian, anak dan bapak itu akhirnya makan di warung pinggir jalan untuk mengisi membeli makanan yang nantinya di bawa pulang. Wanda bersyukur, bapak punya Rezeki dan ia bisa makan, makanan yang ia inginkan.
malamnya setelah Shalat isya, Bapak serta Wanda sedang membuat es lilin untuk besok dijual oleh Wanda di sekolahnya. Wanda bilang, bahwa dirinya ingin membantu untuk meringankan beban sang Bapak, sehingga ia bisa menambah penghasilannya. ia juga ingin menabung agar bisa membeli kebutuhannya sendiri tanpa harus menyusahkan bapak yang selalu bekerja keras untuknya.
“bapak pernah mikir ga kalau kita jadi orang kaya?” entah mengapa pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Wanda. “pernah. satu kali atau dua kali kayanya,” ujar bapak sambil mengingat. “enak ya pak, jadi orang kaya. bisa beli ini itu, makan enak kapan aja, bisa liburan, hidupnya enak terus. ga kaya kita, makan seadanya, beli yang kita mau harus mikir-mikir dulu dan hidupnya kadang enak kadang susah. tapi lebih banyak susahnya sih,” tutur Wanda sambil menaruh bakal es lilin di dalam plastik.
bapak menanggapinya hanya dengan kekehan kecil saat anak perempuannya berkata demikian, “kamu masih kecil, nak. ga tau arti kehidupan yang sebenarnya,” ujar bapak. “kan memang gitu pak. Enak kalo jadi orang kaya, segala yang kita mau pasti bisa diwujudin,”
“kamu tau gunung kan?” tanya bapak. Wanda langsung menghentikan aktivitasnya menaruh bakal es lilin itu ketika bapak bertanya dengan topik yang berbeda. “tau, pak. masa sudah kelas lima SD ga tau gunung itu apa,” jawab Wanda. “bukan masalah tau tidaknya gunung itu apa. nah, bapak tanya lagi sama Wanda. kalau kita liat gunung dari jauh, bagus ga kelihatannya?” tanya bapak sekali lagi. “bagus loh pak. pemandangannya indah,” jawab Wanda dengan tegas. bapak hanya tersenyum. “kalau dilihat dari dekat, gunung itu kaya gimana menurut Wanda?” lanjut bapak bertanya. “banyak pohonnya, tanaman-tanaman, terus bebatuan, akar-akar yang menjalar, terus..” Wanda menghentikan jawabannya dan ia sedang berpikir sekarang. “nah, itu tau. Gunung kalau kita lihat dari jarak jauh, itu kelihatan Indah banget kan. pasti Wanda ingin ke situ buat liat gunung. tapi, kalau kita lihat gunung dari jarak dekat, itu yang ada hanya pohon-pohon yang menjalar, kemudian akar-akar, semak belukar, jurang yang curam, bebatuan dan lainnya,” jelas Bapak. Wanda hanya diam dan menyimak untuk bisa memahami apa maksud dari yang bapak sampaikan.
“tapi kan, pak. kita tadi bahasnya soal mau jadi orang kaya, bukan bahas soal gunung,” protes Wanda. “pertanyaan bapak soal gunung itu ada kaitannya dengan persoalan yang tadi, nak. kata Wanda kan jadi orang kaya itu enak. bisa beli ini itu dan sebagainya. tapi menurut Wanda, kaya itu bisa menjamin kebahagiaan?” “bisa, pak.” jawab Wanda. kemudian bapak hanya menggelengkan kepalanya sambil terkekeh ketika mendengar jawaban anak perempuannya itu.
“kita ibaratkan orang kaya itu seperti gunung. jika kita lihat dari jauh, dia itu selalu di pandang bagus oleh seseorang, kelihatannya bahagia tanpa beban dan juga enak terus hidupnya kan? tapi kita tidak tau kalau kita lihat dari jarak dekat. orang yang kaya dan mempunyai harta, belum tentu di dalamnya dia bahagia. masalah itu bisa datang kapan saja, masalah keuangan, masalah pekerjaan dan juga masalah lainnya. kita bisa lihat dari jauh orang itu bahagia, tapi kita tidak tau kenyataannya dia seperti apa.” Bapak menjelaskan itu dengan wajah yang begitu sendu. Wanda yang tadinya tidak mengerti, kini ia begitu paham dengan apa yang bapak maksudkan.
“jadi, kita harus syukuri apa yang kita miliki. karena sejatinya, manusia itu tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. rezeki itu hanya milik Allah, nak. kita hanya harus bersyukur dan berterima kasih pada Tuhan yang maha Esa,” nasehat Bapak.
“Wanda kalau besar ingin jadi anak yang pandai bersyukur seperti apa yang bapak bilang. karena dengan bersyukur, hidup Wanda akan merasa tercukupi,” ujar Wanda. sedangkan bapak melihatnya dengan senyum bahagia melihat anaknya berniat mengamalkan nasehatnya.
“Wanda kalau besar harus bisa jadi orang yang berguna ya?” ujar bapak, Wanda mengangguk dengan semangat sambil mengacungkan jempolnya. “Wanda punya cita-cita jadi dokter, Pak. Do’ain Wanda supaya harapan Wanda dapat tercapai,” “bapak tiap malam berd’oa, ya buat kamu. biar anak bapak bisa jadi orang sukses dan berguna di masa depan. berusaha ya nak, do’a bapak selalu menyertaimu,” ucap bapak sambil menepuk pelan kepala Wanda.
semoga, semoga saja mimpi serta harapan yang diinginkan Wanda akan segera terlaksana dengan usaha serta do’a yang tiada hentinya ia panjatkan.
15 tahun kemudian Aula yang begitu besar dengan banyaknya orang-orang yang datang baik laki-laki maupun perempuan dengan memakai baju toga kebanggaan para mahasiswa setelah lulus dari perkuliahannya. para orangtua pun menatap bangga anaknya dari kejauhan, saat anaknya dipanggil maju ke depan lalu mengambil penghargaan serta memakai gelar mereka sesuai profesi yang mereka ambil.
“Wanda Ayu Wasesa. Sarjana kedokteran dengan IPK 39,8.”
suara tepuk tangan bergemuruh di aula tersebut, saat nama dari pemilik IPK yang sempurna di sebutkan dengan gelar sarjana kedokteran. Pria yang sudah lanjut usia itu menatap bangga pada putrinya yang maju kedepan dengan begitu anggun berbalut kebaya yang ditutupi seragam toga. wajahnya begitu cantik dengan riasan yang sempurna, seolah tak percaya bahwa yang di depannya adalah anak perempuan yang dulunya selalu mengintilnya saat menyapu di jalan.
“Bapak bangga padamu nak,” lirihnya dengan berlinang air mata karena merasa bangga dengan anaknya.
ia, perempuan yang bergelar sarjana kedokteran itu adalah Wanda. anak dari tukang sapu jalanan yang dulunya bermimpi ingin membahagiakan Bapaknya. dia adalah anak perempuan yang dulu selalu bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan kepadanya.
hingga kini, suatu impian yang ia harapkan sangat tak terduga bisa ia capai dengan mudahnya. Wanda saat SMP mendapat beasiswa karena kepintarannya, juga SMA dan sampai kuliah pun ia mendapatkan beasiswa. Wanda kerap kali sering mengikuti perlombaan dan selalu mendapat kejuaraan hingga ia bisa mendapatkan beasiswa karena kepintaran dan kecerdasannya. tanpa diduga, ia berhasil meraih gelar sarjana dengan IPK yang sedikit lagi sempurna. sungguh merupakan hal yang luar biasa yang kini ia capai.
setelah acara Wisuda selesai, ketika keluar dari Aula tersebut Wanda langsung cepat memeluk sang Bapak dengan jiwa yang berderai air mata. begitu pun dengan Bapak, tangan yang sudah mengeriput itu mengelus lembut kepala Wanda. ia kembali mengingat saat Wanda kecil yang ia selalu peluk dan elus saat masih berusia belia. tak menyangka, kini sang anak sudah tumbuh dewasa dan berhasil meraih kelar sarjana Kedokteran. begitu bangga Bapak melihat anaknya sudah tumbuh dewasa dan membanggakan.
“terima kasih, pak. makasih untuk nasehat dan ilmu yang bapak berikan sejak kecil pada Wanda. Wanda beruntung memiliki seorang bapak yang selalu mendampingi kemanapun langkah anaknya, yang selalu ada menemani dan mendukung baik suka maupun duka. sampai Wanda bisa menjadi seperti ini, itu semua berkat Bapak,” ucap Wanda di sela-sela tangis harunya. “ini juga berkat usaha dan kerja keras kamu, nak. Bapak hanya bisa membantumu sebisa bapak, dan semuanya juga berkat Allah SWT. jadi kamu harus berterima kasih juga kepada Tuhan yang maha esa,” ujar Bapak.
Wanda pada saat itu ingin bersujud dan berterima kasih kepada Allah dan Bapak, bahwa sudah menuntunnya sampai saat ini. semua kehidupannya berubah, dari dulu menjadi seorang anak tukang sapu jalanan yang hanya diberi upah yang sedikit, namun sekarang ia menjadi dokter yang bisa memiliki uang yang sangat cukup sekali.
itulah kehidupan, kita tidak boleh berprasangka buruk bahwa hidup kita akan selalu susah saja. ada baiknya kita berusaha dan dengan disertai do’a. Jika saja kita selalu merasa kekurangan di Dunia, sedangkan Tuhan sudah memberi sesuatu yang luar biasa, maka bersyukurlah. karena kunci hidup bahagia itu adalah dengan rasa syukur dengan apa yang kita punya.
Cerpen Karangan: Ameia Putri Tyfani Blog / Facebook: Amel
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com