“Maafkan aku ayah.” ucapku dalam hati.
Orang-orang mulai meninggalkan pemakaman ini satu persatu, mereka berusaha tersenyum ketika menyalamiku. Sebagian orang memeluk dan menepuk-nepuk pundakku berusaha membuatku tegar dalam menghadapi cobaan ini. Yasmin, istriku, tak henti menitikkan air mata meskipun ia berusaha menahannya. Sedangkan anakku, Emilia, tidak begitu terlihat sedih namun ia terpaku melihat batu nisan kakeknya tersayang dan menggenggam erat tangan neneknya. Hari ini adalah hari pemakaman ayahku dan aku tidak akan pernah menemuinya lagi.
Teddy, Nama yang disematkan kedua orangtuaku karena mereka sangat menyukai semua yang kebarat-baratan. Aku sih tidak keberatan dengan nama itu, meskipun kulitku berwarna sawo kematengan, tapi aku merasa bangga meyandang nama itu. Saat bangku sekolah dasar pun, teman-temanku sangat memuji namaku karena mereka jarang menemukan anak kecil denga nama yang terbilang asing di kampung mereka. Kecuali saat SMP, kepopuleran “Teddy Bear” membuatku agak risih dengan ejekkan teman-teman di sekolah, terutama teman sekelasku. Namun, karena tubuhku yang tidak kunjung bertambah berat badannya, ejekkan itu hilang karena tak mungkin sebuah boneka beruang lucu perawakannya kurus kering bagaikan ranting pohon kering.
Masuk masa SMA, kehidupanku biasa-biasa saja. Di bidang akademik pun aku tidak terlalu buruk, meskipun nilaiku tidak bagus. Namun, masa itu merupakan masa yang paling indah yang aku alami. Aku bertemu Yasmin, dia adalah seorang murid perempuan yang meluluhkan hatiku. Kulitnya putih, matanya cokelat dan bibirnya merah merona meskipun tidak memakai gincu. Dia murid IPS sedangkan aku murid IPA. Kami memang jarang bertemu kecuali di kegiatan ekstra kurikuler seni tari. Ya, aku mengikuti ekskul seni tari. Dengan tubuhku yang tetap kerempeng sejak kecil, rasanya aku kurang cakap dalam hal olahraga yang mengandalkan fisik dan akhirnya mengikuti seni tari, meskipun alasan utamanya adalah ingin dekat dengan Yasmin.
Namun, semua pilihan itu ternyata salah, ekskul seni tari pun memerlukan fisik yang bugar. Sama saja dengan ekskul olahraga lain, tiap latihan aku harus berlari dahulu dan melakukan beberapa pemanasan juga hal-hal melelahkan lainnya. Selain itu dibutuhkan kelenturan badan agar bisa mengekspresikan gerakan dengan baik dan luwes. Rasanya tulangku yang kaku ini seperti remuk ketika pertama kali aku melakukan semua itu. Lama berselang, aku mulai menyukai itu semua apalagi ketika belajar tari tradisional, banyak nilai positif dan filosofi yang aku bisa ambil dari latihan tersebut. Meskipun awalnya terpaksa, aku mulai menyukai tari-tarian dan hubunganku dengan Yasmin menjadi lebih dekat.
Jika kita dekat dengan sesuatu hal baru, maka ada hal lain yang sedikit demi sedikit menjauh. Itulah awalnya aku menjadi tidak dekat dengan Ayah. Ayahku sangat melarang ketika tahu aku mengikuti ekskul seni tari, awal mulanya ketika ayahku tak sengaja melihat kegiatan yang aku lakukan di Raporku. Memang aku tidak memberitahu ayah karena aku tahu ayah tidak akan pernah mengizinkannya, dia terlalu skeptis dengan tari-tarian yang biasanya hanya dilakukan oleh perempuan dan beliau takut aku menjadi pemuda kemayu. Ayah ingin aku menjadi laki-laki yang menurutnya maskulin, suka olahraga fisik, tubuh yang bagus dan suka hal-hal yang menurutnya dilakukan oleh banyak laki-laki. Tapi ibu tidak demikian, beliau terbuka dengan apa yang aku pilih. Dia hanya menasehatiku bahwa ayah itu keras, jangan sampai aku pun menjadi keras karena batu tidak bisa dilawan dengan batu.
Saat itu ada sebuah kompetisi tari tradisional dan kelompok kami berhasil memenangkan juara pertama. Aku sangat senang dan ingin sekali menunjukkan piagam perhargaannya pada ayahku. Saat pulang sekolah ayah ternyata sedang tidak di rumah, dia sepertinya bekerja lembur. Saat pagi aku bangun, dia sudah pergi.
“Sepertinya ayahmu mulai terbiasa dengan hobimu.” Ibuku menepuk dari belakang dan mengambil piagam yang ada di meja dan meletakkannya di dalam lemari. “Jika ini yang akan kamu tekuni, ibu mendukungmu nak.” Ibu tersenyum kepadaku. “Asal jangan lupa belajar, karena ilmu itu sangat berguna kelak.” Ibuku menambahkan.
Sejak saat itu, ayahku tidak lagi sering membahas soal tari. Namun, dia tetap saja mengarahkanku ke hal lain yang menurutnya cocok untukku. Apalagi ketika tetanggaku baru saja lulus kuliah di kedokteran, ayahku menjadi iri dan ingin menyekolahkanku di kedokteran juga. Memang jika dilihat dari nilaiku yang akhir-akhir ini membaik, meskipun dengan jadwal padat, aku bisa membaginya dengan baik. Tapi, rasanya tidak jika membayangkan diriku menjadi seorang dokter. Jangankan untuk bisa melakukan operasi, melihat darah sedikit saja tubuhku menjadi gemetar dan rasanya sesak.
Saat aku lulus SMA, ada tawaran program beasiswa dari salah satu perguruan tinggi yang menawarkanku dan beberapa anak ekskul tari lainnya, termasuk Yasmin untuk mengambil jurusan Seni Tari. Aku sangat tertarik dan segera menyetujuinya ketika mereka menyerahkan formulir pendaftarannya. Aku pulang untuk mengabarkan berita baik ini kepada ayahku karena hanya ibu saja yang datang di acara kelulusan ini.
“PLAKKKK.” Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku dan rasanya sangat sakit sekali seperti aliran listrik yang merambat ke sekujur tubuhku dan dadaku terasa sesak. “AYAH SUDAH BILANG KAMU MASUK KE KEDOKTERAN!” muka ayah merah padam, aku belum pernah melihat ayah semarah itu. “Sudahlah pah, anakmu ini berbakat, dia dapat beasiswa dan semoga ini jalan yang terbaik buat anak kita.” Ibu menenangkan ayah yang masih marah dan seperti akan memukulku kembali. “AYAH TETAP TIDAK SETUJU!” dia berbalik masuk ke dalam rumah.
Pada saat itu aku langsung diam di kamar. Hatiku terasa sakit sekali mendengar bentakkan ayah yang begitu menusuk ke dalam hati. Handphoneku berdering dan Yasmin mengirimkan pesan menanyakan bagaimana tentang program beasiswanya. Dia mengabarkan bahwa dia akan ikut program itu dan mengajakku untuk bersama-sama masuk ke perguruan tinggi tersebut. Aku hanya diam dan tidak membalasnya. Aku ingin sekali mendapatkan beasiswa itu, dengan begitu, beban kedua orangtuaku menjadi lebih ringan, apalagi pada saat itu orangtuaku masih mempunyai Sophie yang baru saja berumur dua tahun. Lebih baik mereka menabung untuk Sophie saja.
Terdengar suara ketukan pintu. “Ted, kamu ada di dalam nak?” Terdengar suara ibu di luar. Ibu membuka pintu dan mendekatiku. “Ayahmu sedang berada di dalam tekanan, dia sedang sibuk dengan urusan di kantornya. Harap maklum ya.” Ibu berusaha menenangkanku yang sedang menangis. “Ayah akan pergi selama sebulan ke luar kota, sekarang teman kantornya sudah menjemput, cepat temui ayahmu sebelum berangkat.” Ibu menarikku keluar.
Aku keluar dengan tertunduk lesu, rasanya aku tidak ingin menemuinya. Tapi ibu mendorongku dan ketika aku melihat ayah yang sudah rapi sedang duduk memandang keluar, dia hanya meilirikku dan diam. “Ayah…” aku memberanikan diri memulai pembicaraan. “Ayah tahu kamu sangat menyukai apa yang kamu jalani sekarang, tapi menurut ayah, menjadi seorang dokter itu bagus untuk masa depanmu. Ayah masih sanggup membiayaimu meskipun kamu tahu kedokteran itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Jika memang kamu mau mendengarkan ayah, masuklah fakultas kedokteran, pilih perguruan tinggi mana yang kamu inginkan. Ayah siap membiayaimu.” Ayah memasang wajah serius. “Tapi ayah..” “Tidak ada tapi-tapi, jika kamu masih ingin berbicara dengan ayah, maka turuti saja keinginan ayah.” Ayah berdiri dari duduknya. “TERSERAH APA KATA AYAH!” aku menggebrak meja dan berlari ke dalam kamar. Sesaat aku masuk, sinar mobil diluar menyoroti kamarku, mungkin itu teman kerja ayah yang telah tiba.
Cerpen Karangan: Zed
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com