Tak lama kemudian, ayah dan ibu datang ke kamarku. “Ayah pergi dulu, pikirkanlah matang-matang perkataan ayah tadi.” Ayah hanya mengucapkan itu dan pergi. Ibu pun mengikuti ayah dan itu terakhir kali aku bertemu dengan ayahku.
Setelah beberapa minggu ternyata ayah tidak pulang, dia diangkat menjadi kepala cabang di luar kota, tepatnya di Surabaya. Kami pun dianjurkan untuk segera pindah menyusul ayah. Aku berusaha meyakinkan ibu bahwa aku memang benar-benar ingin menekuni seni tari dalam hidupku. Dengan berat hati, ibu mengiyakan keinginanku dan menghiburku bahwa ayah tidak akan marah, ibu meyakinkan bahwa dia bisa meyakinkan ayah dan membujuknya.
Pada akhirnya, aku tetap tinggal di rumah ditemani Om Salman, adik dari ibuku. Sementara Ibu dan Sophie pergi ke Surabaya dan tinggal disana bersama ayah. Sejak saat itu aku hanya menghubungi ibu untuk menanyakan kabar. Aku tak pernah menghubungi ayah.
Masuk di perkuliahan, hubunganku dengan Yasmin semakin dekat. Meskipun belum lulus kuliah, kami sudah mantap akan melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih tinggi. Sejak pertama kali kami masuk kuliah, kami langsung masuk ke sebuah UKM SIGER, sebuah UKM tari yang ada di kampus kami. Disana kami banyak mendapatkan ilmu lebih banyak mengenai seni tari dan juga bagaimana mengembangkannya.
Perlombaan demi perlombaan sering kami ikuti dan ini merupakan ajang pembuktianku kepada ibu bahwa aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan. Aku sering memberikan fotoku dengan kostum ksatria, hanuman, dan kostum lainnya sambil memegang sebuah piala dari berbagai kompetisi yang aku ikuti. Aku dan Yasmin merupakan mahasiswa kebanggaan dari fakultas seni, bahkan kebanggaan kampus kami. Mereka bilang chemistry kami berdua sangat kuat apalagi jika sudah berada di dalam panggung, semua mata penonton terhipnotis melihat penampilan apik kami.
Tak terasa masa kuliah sudah lama aku lewati, sekarang aku sudah menikah, aku menikahi pujaanku dari SMA, tidak lain adalah Yasmin. Kami baru saja memiliki buah hati bernama Emilia. Ayahku hadir dalam pernikahanku, tapi kami tidak begitu lama berbincang, hanya menyapa satu sama lain dan itu pun terkesan memaksa. Ayah sepertinya masih belum menerima keputusanku, sedangkan aku juga masih menyisakan sakit hati yang teramat dalam saat kejadian itu. Hanya ibu saja yang berusaha menengahi kami yang kaku saat bertemu. Tapi pernikahan kami direstui mereka, bagiku, itu sudah cukup.
Saat kuliah pun, aku hampir tidak pernah menemui secara langsung kedua orangtuaku karena jarak yang cukup jauh dengan orangtua. Hanya lewat telepon aku mengabari ibu dan itu pun tidak pernah berbincang lama. Libur kuliah pun aku sibuk mengikuti lomba atau mengadakan pagelaran seni tari. Kami pun pernah menggelar pagelaran seni tari di luar negeri, ternyata orang luar sangat antusias melihat pagelaran kami. Sejak saat itu, kami pun sering diliput oleh beberapa stasiun televisi. Waktu itu, masuk televisi adalah hal yang sangat membanggakan bagiku, apalagi ini merupakan sebuah prestasi. Aku sangat ingin sekali melihat ayahku mengakui bahwa dengan jalan tari lah aku bisa mengharumkan nama mereka. Tapi aku belum pernah mendengar kabar dari ibu bahwa ayah memuji prestasiku. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Apalagi setelah menikah, kami hidup berdua di Jakarta. Awalnya kami mengajar tari pada anak sekolah, Kami masih sering juga menerima undangan untuk kelas tari dari berbagai sanhggar dan dalam beberapa kesempatan, kami pun ikut andil dalam beberapa pagelaran seni. Akhirnya, kami membuka sebuah sanggar seni kecil untuk menerbitkan generasi baru yang mewarisi budaya negeri ini, terutama dalam hal seni tari. Memang awalnya kami pun kesulitan mengembangkan sanggar ini dan hampir putus asa. Tapi karena aku ingin membuktikan pada orangtuaku bahwa aku memang ingin menekuni tari, aku berusaha sekuat tenaga dan hasilnya tidak mengecewakan. Banyak pihak lain yang membantu kami untuk mengembangkan sanggar kami hingga sekarang sanggarku cukup dikenal di masyarakat luas.
Lima tahun setelah kami menikah, kabar yang sangat aku takutkan terjadi. Sophie memberikan pesan bahwa ayah meninggal dunia. Kabarnya ayah terkena serangan jantung dan sempat dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Hal itu membuatku shock dan tak percaya, aku gemetar disamping Yasmin dan Emilia. Yasmin menghubungi Genta, adiknya, untuk mengantar kami pergi ke Surabaya. Yasmin tidak membiarkan aku yang mengemudi karena dia khawatir terjadi apa-apa.
Meskipun kami sudah lama tidak berbicara, tapi mendengar berita ayah meninggal merupakan sebuah pukulan yang sangat berat bagiku. Di saat itu hatiku menjadi terbuka dan yang aku ingat hanyalah kenangan manis yang selama ini ayah berikan padaku. Aku merasa jadi anak yang paling durhaka yang menentang keinginan dia dengan mengedepankan ego. Baru kali ini aku dapat mengerti kenapa ayah keras selama ini kepadaku dan balasanku kepadanya hanyalah emosi seorang muda yang meluap-luap. Sampai saat ini, aku menyalahkan jarak yang jauh agar aku tidak merasa bersalah ketika aku tidak mengunjunginya. Aku salahkan kesibukanku yang padat ketika tidak ada waktu untukku bertemu kedua orangtuaku. Aku mengerti sekarang, tapi sudah terlambat. Aku menitikkan air mata dan mulai menangis.
Setelah pemakaman selesai kami lalu menuju ke rumah mendiang ayah. Sophie mengajak kami masuk. Tidak ada perubahan dari rumah ini kecuali dindingnya yang kembali di cat putih. Semuanya nampak sama. Ibu dibawa Istriku Yasmin dan anakku Emilia untuk beristirahat di kamarnya. “Ibu istirahat saja, biar aku yang menemani Kak Teddy.” Kata Sophie kepada ibu. Sophie kemudian membawaku ke ruang tengah.
“Gimana kamu disini? Udah betah tinggal di Surabaya?” aku bertanya pada Sophie. “Iya sekarang sudah betah, untuk beberapa bulan pertama, aku maunya pulang terus ke rumah yang dulu.” Kata Sophie. Sophie kemudian masuk ke kamar ibu dan kembali dengan membawa sebuah buku seperti buku album foto. “Ini kak, ayah menitipkan ini kepadaku untuk diberikan pada kak Teddy.” Buku itu bersampul merah bertuliskan “Journey” dengan tinta emas. Buku apa ini? Baru kali ini aku melihatnya
Aku membuka halaman pertama, Teddy Sapto Junaidi. Di dalamnya tertulis namaku dan foto ketika aku masih bayi dan beberapa foto lainnya yang mengingatkanku akan kenangan masa lalu dengan ayah. Aku buka lembaran buku itu satu per satu, buku ini memperlihatkan perjalananku dari kecil hingga dewasa. Kemudian aku terhenti ketika fotoku dengan seragam SMA membawa medali kelulusan bersama ibu. Aku menitikkan air mata mengingat kejadian waktu itu. Kemudian di halaman selanjutnya aku semakin menangis menjadi-jadi. Buku itu terjatuh di pangkuanku dan Yasmin segera mengambilnya. Dia duduk disampingku dan membuka satu persatu halaman selanjutnya. Foto itu berisikan foto pertama aku mengikuti UKM SIGER, foto-foto juaraku saat lomba, dan juga beberapa foto lainnya. Foto ketika Aku dan Yasmin masuk televisi dan pendirian sanggar seni pun diabadikan dalam buku ini.
Di foto terakhir itu tertulis sebuah kalimat. “Maaf, Ayah begitu keras terhadapmu karena ayah takut kamu kehilangan arah, dengan melihat foto-foto perjuanganmu yang kamu berikan ini, ayah yakin kamu bisa melangkah maju kedepan. Ini langkah pertamamu untuk meniti ke puncak tertinggi yang kamu impikan. Mulai saat ini, kamu yang melanjutkan perjalanan ini.”
Buku itu berakhir dengan sebuah fotoku yang sedang diwawancarai mengenai kegiatan sanggar yang dimuat di salah satu media terkemuka.
“Maaf ayah, aku tidak menemuimu lebih awal. Aku benar-benar minta maaf.” Aku menangis dan memeluk buku itu dengan erat.
Cerpen Karangan: Zed
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com