Sang fajar mulai mengintip malu-malu di ufuk timur. Siap menghapus jejak-jejak semalam akibat guyuran hujan. Burung-burung mencericip, saling berebut dahan untuk bertengger. Anak ayam menciap-ciap mencari ibunya. Sementara itu, kambing-kambing mengembik meminta rerumputan.
Aku membiarkan semesta yang bercerita. Menggambarkan kasih sayang ibunda yang menyamudera. Alam pun tahu, bahwa ibu begitu berharga bagi anak-anaknya. Seperti embun yang menyejukkan rumput-rumput di waktu subuh. Seumpama udara yang berkesiur menyeka peluh. Laksana unggun yang menghangatkan tubuh. Dan, serupa surya yang menyinari dunia tanpa jenuh.
Ibu adalah wanita terhebat, mampu menahan kesakitan hingga 57 Del saat melahirkanku ke dunia. Ibarat 20 tulang dipatahkan secara serentak. Kuat, ‘kan? Meski begitu, senyumnya adalah yang pertama menyambutku hangat selayak purnama.
Aku menyingkap tirai kamar lebar-lebar. Sengaja membiarkan cahaya masuk melalui celah-celah jendela. Ibu harus melihat pemandangan ini. Ada sepasang merpati yang saling memadu kasih di atas kabel listrik. Kupu-kupu turut mengepak sayap menuju tangkai bunga yang akan dihinggapinya.
“Ibu, lihat! Bunga bugenvil kita sudah bermekaran!” teriakku antusias.
Aku sudah menunggunya berhari-hari. Bugenvil ini sangat menyukai sinar matahari langsung. Kalau rajin dipupuk dan disirami, akan lebih cepat bunga-bunganya bermekaran. Seperti hari ini, warna ungu dan merah muda menghiasi samping rumah kami.
“Aku suka yang warna itu, Bu! Ungunya cerah dan cantik!” pekikku lagi sambil berjingkrak-jingkrak girang.
Namun sayangnya, Ibu tidak merespons apa pun. Ia tetap berbaring di ranjang tuanya tanpa suara. Hanya embusan napas yang mengalun, dadanya naik-turun. Aku tersenyum menatap wajah Ibu yang semakin hari kian mengeriput. Guratan-guratan di bawah matanya semakin bertambah.
Apa pun yang berubah dengan wajah Ibu, ia tetap wanita tercantik di dunia. Ayah bercerita, “Ibumu dulu sangat cantik jelita, Sayang! Ayah terpesona. Bulu matanya yang lentik menyentuh rembulan. Sekali mengerling, menggelepar hati Ayah. Bibirnya begitu ranum semanis murbei. Pasti sama cantiknya denganmu saat remaja nanti.”
Aku meraih sebuah cermin yang tergeletak di atas nakas. Cermin bulat peninggalan Nenek zaman dulu. Gagangnya terbuat dari jati, sehingga masih awet sampai saat ini. Aku memperhatikan pantulan wajah pada cermin. Sepasang bulu mata lentik dan bibir ranum. Seperti inikah wajah Ibu semasa muda dulu?
“Ayah, seperti inikah? Aku sudah remaja sekarang. Apakah aku benar-benar mirip seperti Ibu?” tanyaku pada sebuah bingkai usang.
Tanganku menyapu debu-debu yang menghalangi wajah Ayah di dalam fotonya. Bertahun-tahun, bingkai ini terpajang tanpa tersapu sehelai benang pun. Kadang terinjak cecak yang berdecak, atau disinggahi anyaman sarang laba-laba. Maaf, Ayah, aku terlalu sibuk merawat Ibu di usia senjanya.
Andai kau tahu, wanita hebat kita sedang berjuang untuk kedua kalinya. Pertama, ia merintih perih untuk melahirkanku ke dunia. Kemudian hari ini, Ibu kembali memerangi penyakit yang semakin menggerogotinya. Aku takut, Ayah! Tidurku ‘tak pernah lelap. Hari-hariku dihantui kegelisahan. Usianya semakin terkikis. Nyaris habis.
Aku terperanjat saat Ibu tiba-tiba merintih mengeluarkan suara berderik. Napasnya tersengal-sengal. Bibirku bergemetar mengucap istigfar. “Ibu! Ibu!” panggilku panik bersamaan dengan air mata yang meluruh.
Jemariku bergetar mencari-cari kontak yang harus dihubungi. Walaupun kemungkinan besar, mereka menolak dengan alasan sibuk oleh pekerjaan masing-masing. Berhari-hari, pekan demi pekan berganti. Sebulan, dua bulan, Ibu menanggung kerinduan hingga berujung kesakitan.
Sakit Ibu semakin parah, tetapi tidak satu pun menjenguk ke rumah. Tiga-tiganya. Aku adalah putri bungsu dari empat bersaudara. Kakak pertama dan kedua adalah laki-laki, lalu ketiga perempuan. Sepatah kata yang selalu Ibu ucapkan adalah “rindu”.
“Assalamualaikum. Kak Farhan, Ibu—” Aku menyeka buliran bening yang terus melolos. Tenggorokanku tersedak. “Ke sini saja, sebelum terlambat!” lanjutku di akhir telepon. Aku yakin, sang kakak pertama pasti mengerti.
Selanjutnya, kuhubungi kedua kakak yang lain untuk segera pulang. Sibuk tidak sibuk, sempat tidak sempat, harus cepat-cepat sebelum terlambat. Ibu sedang sekarat. Nyawanya berada di ambang kematian. Aku tahu waktu “itu” pasti akan datang. Cepat atau lambat.
Pikiranku kalut saat menyadari denyut nadinya yang melemah. Aku menangis sejadi-jadinya. Teringat memori lima tahun lalu yang masih terus membekas. Aku menjerit histeris dengan tangis yang sulit diredakan.
Ayah mengembuskan napas terakhirnya di ruangan ini akibat diabetes. Tepat di ranjang yang sama tempat Ibu berbaring kini. Aku sudah kehilangan cinta pertama. Haruskah kehilangan malaikatku juga? Kali ini, pasti akan lebih menyakitkan dari yang sebelumnya.
Ketiga kakakku datang saling menyusul. Raut wajahnya terlihat sedih, tetapi tidak serapuh Ibu saat mereka ingkar untuk pulang. Aku kecewa. Mengapa kakak-kakakku begitu angkara pada ibu kandungnya? Tidakkah secuil pun rasa acuh hinggap di hatinya? Siapa lagi kalau bukan Ibu yang membesarkan mereka, dengan penuh kasih sayang sampai saat ini? Mereka sudah terlena oleh buaian dunia fatamorgana.
Aku membisikkan dua kalimat syahadat di telinga Ibu. Perasaan takut dan kalut menghabisiku. “Ibu, dengarkan Kania, ya.” Lagi-lagi, air mataku tumpah di samping wajahnya. “Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.”
Deg! “Ibu …!”
Sepasang kaki mendadak lemas untuk menopang tubuh. Aku jatuh, luruh, rapuh. Dunia terasa runtuh. Hatiku terbunuh. Sang malaikat ‘tak bersayap mengembuskan napas penghabisan. Ibu telah berpulang.
“Jangan tinggalin Kania, Bu! Cukup Ayah yang pergi ninggalin kita!” teriakku sedu-sedan meski percuma.
Baru kali ini, aku menyaksikan mereka tersengut-sengut. Isak tangis pun memenuhi sudut ruangan. “Selama ini ke mana saja?! Apa gunanya tersedu-sedu menangisi kepergian Ibu? Kalian adalah orang-orang yang menyesal!” pekikku kalap tidak dapat mengontrol diri.
—
Aku menancapkan setangkai bugenvil di samping batu nisan. Ibu pasti senang, dihiasi bunga-bunga yang bermekaran setiap harinya. Kupu-kupu akan selalu hinggap di sana. Aku pun akan rajin berkunjung mengirimkan doa-doa.
“Ibu, terima kasih, ya. Kania tidak tahu, bagaimana cara membalas semua jasa Ibu. Membalas kasih sayangmu yang seluas samudra itu. Kania tidak tahu—”
Aku menggigit bibir menahan desakan yang hendak keluar. Kasih sayang Ibu ‘tak terhingga, ‘tak akan pernah bisa kubalaskan. “Ya Allah, tolong tempatkan Ibu di sisi-Mu. Pertemukan ia dengan Ayah, agar mereka bisa tersenyum bersama di surga,” doaku bermunajat.
Setangkai bugenvil untuk Ibu. Pohon itu akan tumbuh subur menghadiahinya dengan bunga-bunga. Setiap hari. Setiap fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Tersenyum cerah pada bugenvil yang bermekar-mekaran. Berwarna merah muda. Warna paling cocok untuk ibuku yang selalu bersemu merah saat digodai oleh Ayah.
Aku bersyukur dapat merawat Ibu di usia senjanya. Memberikan kasih sayang, meski ‘tak seluas cakrawala yang membentang. Menyesallah orang-orang yang ‘tak sempat merawat ibundanya. Setiap hari dihantui penyesalan, meratapi sebuah kepergian. Sehingga ia sadar, bahwa ibu adalah segalanya.
Cerpen Karangan: N Laila Blog / Facebook: N Laila N Laila adalah gadis manja kelahiran Bogor, 06 Juni 2004. Di balik status penulisnya, ia juga bercita-cita menjadi selebgram remaja. Sejauh ini, setidaknya sudah ada lima karya solo yang diterbitkan, yaitu: Skizofrenia, Gadis Peraih Mimpi, Suami Nyebelin, CEO Nyebelin, dan novelet roman-religi (bukan) Laila Majnun. Facebook: N Laila Instagram: @lolliliaa_p18
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com