Setiap orangtua pasti ingin anaknya lahir dengan keadaan sempurna. Tetapi, hal itu tidak terjadi dalam keluargaku. Sebelumnya, perkenalkan namaku Abi, aku tinggal bersama kedua orangtua. Hari ini adalah hari bahagia karena ibuku akan melahirkan adikku. Tetapi, hal itu berubah menjadi kesedihan.
Saat di rumah sakit “Gimana Dok, anak dan istri saya baik-baik saja, kan?” tanya ayahku. “Semua baik pak, namun anak bapak mengalami kebutaan permanen.” jawab dokter dengan berat hati. “Apaaa… ini tidak mungkin, anakku gak boleh buta.” teriak ayahku sambil menangis. Aku yang mendengar hal itu ikut terkejut. Saat itulah awal kebencianku terhadap adikku dimulai.
Kami masuk ke ruang rawat ibu dan memberi tahukan hal itu. Ibuku menangis tiada henti dan dia juga punya niat untuk membuang adikku itu, tetapi ayahku melarangnya. Ayah menganggap bahwa ini karunia Tuhan dan percaya bahwa anak itu akan mendatangkan keberuntungan bagi keluarga. Tapi, keyakinan ayahku salah. Kehidupan keluargaku terbalik 180 derajat sejak dia dibawa ke rumah.
Ayahku yang dulu seorang direktur, kini berubah menjadi pegawai biasa dengan gaji sangat pas-pasan. Ibuku dan aku yang dulu hidup mewah harus terpaksa hidup seadanya.
Tujuh tahun berlalu, adikku bernama Malik dan dia tidak sekolah. Ayah dan ibu beranggapan ‘ngapain nyekolahin anak buta, buang-buang duit aja’. Dari dia lahir hingga kini aku masih muak melihat wajahnya itu. Hati ini dipenuhi kebencian kepadanya, semenjak lahir dia hanya bisa menyusahkan orangtuaku saja.
Tepatnya hari Minggu saat siang hari dia memulai membuatku naik pitam. “Dek, ambilin gue minum, cepet!!” kataku. “Iya, kak. Sebentar ya.” jawab adikku. “Awas aja kalo kelamaan, gue bakal ngehukum Lo.” kecamku. “Ini kak, minumnya” kata adikku sembari memberikan gelas berisi air putih. “Gue di kamar, bukan di ruang tamu, emang dasar buta!”. “Oh, maaf kak, ini minumnya.” kata adikku.
Saat ingin mengambil gelas, ppyaaarrr… “Gimana sih Lo, emang dasar ngga becus ya kalo disuruh, dasar buta!” , “Hiih, gue benci banget sama Lo, tau gak?!” marahku. Adikku menangis tiada henti karena kata kasar yang keluar dari mulutku. Di tengah keributan ini ayah dan ibuku datang ke kamarku. Ayah berkata, “Ada apa, Abi? Kok ribut-ribut.” “Iya, gak enak lho didengerin tetangga.” lanjut ibuku. “Nih, Bu, Pak, anak kalian satu ini mecahin gelas. Liat aja tu di lantai.” jelasku. “Astaga, Muhammad ini kan gelas kesayangan Ibu, ini kenangan nenek kamu. Kamu pecahin gitu aja. Emang kamu sanggup beli ini, sanggup ngganti?!” kata ibuku dengan amarah yang membara. “Ayah udah sabar sama kamu ya selama ini, semenjak kamu lahir keluarga ini selalu sial. Sekarang kamu ikut saya!” kata ayah sambil menarik tangan Malik.
“Ayah, Malik mau dibawa kemana?” tanya adik sambil menangis. Ayah berjalan menuju ke arah gudang. “Udah, kamu ayah kurung disini, pokoknya kamu ga boleh keluar selama 1 hari. Tanpa makan dan minum. Bisanya nyusahin orang aja!” kata ayah dengan nada tinggi. “Ayah, jangan tinggalin Malik, Ayah. Malik takut banget, Ayah bukain pintunya. Tolong… tolong.” kata adik sambil merintih.
“Akhirnya si pembawa sial dikurung, aku seneng banget. Ga ada yang bikin rusuh lagi.” ucapku dalam hati.
Saat sore hari, aku mendengar perbincangan ayah dan ibu yang berencana menaruh Malik ke panti asuhan. Aku langsung menghampiri kedua orangtuaku. “Ayah, ibu aku setuju banget kalo si pembawa sial itu dibuang ke panti asuhan.” “Eh, kamu nguping, ya. Lain kali ga boleh, ya. Ga sopan.” kata ibu. Aku pun hanya tersenyum. “Kalo begitu besok pagi, Ayah bakal bawa anak itu ke panti.” Kata ayah. “Gue beneran girang banget, setelah tujuh tahun bisa tidur nyenyak.” batinku.
Keesokan hari, adikku dibawa keluar dari gudang. Wajahnya begitu pucat dan dia pingsan. Tanpa pikir panjang ayah membawanya ke panti asuhan pagi-pagi buta. Lalu, ditinggalkan di depan teras panti.
Tak berselang lama, pemilik panti membuka pintu, “Anak siapa ini, kasihan sekali. Ya Allah dia demam.” “Anak-anak kesini, bantu ibu bawa temanmu ini ke dalam. Dia demam tinggi.” kata wanita itu. “Baik, ibu” jawab anak panti.
Setelah 2 jam Malik tidak sadarkan diri, akhirnya dia mulai membuka matanya itu. “Ayah… ayah, bukain pintunyaaa” jeritan Malik dalam “Nak, kamu di panti asuhan, perkenalkan nama Ibu, Maryam. Ini anak-anak panti.” jelas Bu Maryam. Dia terkejut mengetahui bahwa Malik buta. “Kamu jangan khawatir, ya. Ibu bakal ngerawat kamu lagian di sini temanmu banyak sekarang. Walaupun kamu dalam keterbatasan, ibu tetep bakal jaga kamu.” sambil mengelus kepala Malik. “Terimakasih banyak Bu, kau memang orang yang mulia. Semoga Allah memberi ibu keberkahan dalam hidup.” Jawab Malik. Di sana Malik belajar banyak hal yang namanya berbagi, kebersamaan, cinta, kasih sayang, dan ilmu yang tidak ia dapatkan dari keluarga kami.
Dua tahun berlalu, kehidupan berjalan menurut rencana Allah. Aku dan keluargaku hidup cukup tapi bisa dibilang pas-pasan. Tetapi kami tetap bersyukur. Terlintas di benakku tentang adikku. “Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku dalam batin.
Waktu terus berjalan dan Bulan puasa datang, aku dan orangtuaku memang suka sekali acara hafiz Al-Quran di TV. Aku sedang minum air tiba-tiba pembawa acara itu berkata, “Peserta selanjutnya, walaupun di dalam keterbatasan tidak menghalangi dia untuk menghafal Al-Quran, inilah dia Malik Al-Hakim.” Disertai tepuk tangan hadirin yang mengikuti acara itu secara live di studio. Sekonyong-konyong aku terkejut dan menyemburkan air yang berada di mulutku. Bajuku basah tapi aku tak menghiraukannya dan bergegas memanggil ayah dan ibu. “Ayah… yah.., Ibu… Lihat ini bukankah Malik adikku?” tanyaku pada mereka. “Ga mungkin, Nak.” tampis ayahku. “Pak, ini beneran anak kita, Pak!” seru ibuku meyakinkan. Kami terpana dan takjub seolah hanyut dalam merdunya suara Malik. Di penghujung acara adalah pengumuman kejuaraan hafiz. Kami tidak menyangka bahwa Malik yang buta bisa menghafal Al-Quran bahkan sampai jadi hafiz dan mengikuti lomba.
“Yak.. kita sudah di penghujung acara yang spektakuler ini. Saat ini akan diumumkan siapakah di antara adik-adik ini yang akan menjadi juaara hafiz tahun ini.” ujar pembawa acara tersebut. “Kita bisa melihat betapa cintanya mereka kepada Allah dan kitab-Nya. Para anak inilah yang akan menjadi mahkota surga untuk orang tua mereka. Di mana pun orang tua akan dan pasti merasa bangga jika anak mereka menjadi seorang hafiz Al-Quran.” lanjut pembawa acara itu dengan mata yang penuh air seperti tanggul yang hampir jebol.
“Daripada berlama-lama, langsung saja ke bagian acara yang sangat ditunggu dan menegangkan. Baiklah, menurut penilaian para juri, adik-adik sangat bagus dalam membacakan Al-Quran. Tapi di sini kita mencari yang terbaik dari yang terbaik. Pemenang hafiz tahun ini dan yang akan mendapat hadiah sebesar Rp 200.000.000,00 yaitu… Malik Al-Hakim.” ucapnya dengan kekuatan penuh.
Sontak saja aku, ayah, dan ibu tepuk tangan dan saling berpelukan. Entah kenapa aku merasa bersalah atas apa yang kulakukan padanya selama ini. Terlebih ayah dan ibu yang sangat menyesal karena telah menelantarkan Malik begitu saja. Malik maju dengan raut wajah yang gembira. Dia memegang piala dengan bangga.
“Alhamdulillah, saya bisa memenangkan hafiz tahun ini. Saya sangat bersyukur kepada Allah karena tanpa bantuan-Nya mungkin saya tidak akan berada sampai sini. Saya juga berterima kasih kepada Ibu Maryam, Kepala Panti Asuhan Kasih Bunda yang telah mengajari serta menyemangati saya hingga saya bisa mendapatkan semua ini. Dan saya juga ingin berkata kepada orangtua dan kakak saya jika mereka melihat ini, terima kasih setidaknya saya pernah merasakan yang namanya keluarga, yang diasuh dengan baik dari bayi. Maafkan Malik, ya Ibu, Bapak, Kakak. Malik telah banyak merepotkan kalian. Maafkan Malik karena Malik buta dan tidak sempurna seperti yang kalian harapkan. Malik sayang dan rindu kepada kalian dan sangat ingin bertemu dengan kalian.” ucap Malik dengan menangis haru.
“Beruntunglah orangtua yang mempunyai anak seperti Malik. Mungkin Allah mengujinya dengan keterbatasan tapi dia anak yang Sholeh. Dia mampu membawa orang tuanya masuk ke surga kelak di kehidupan yang kekal nanti.” lanjut pembawa acara itu.
Seketika kami merasa disindir secara tidak langsung. Mungkin ini adalah hidayah bagi kami karena telah menyiakan dia yang sebenarnya merupakan amanah dari-Nya. Kami sadar atas kesalahan kami dan kami harus memperbaikinya.
Pagi harinya, kami bergegas ke panti tempat di mana ayah menelantarkan Malik. Tepat di taman orang yang kami cari ada di situ. “Malik, anakku” panggil ibu kepadanya. “Ibu, ibu di sini. Apakah ayah dan kakak juga ikut?” tanyanya. “Iya, Malik” jawabku. “Wah, aku senang sekali bisa bertemu kalian walaupun aku tidak bisa melihat wajah kalian.” sambung Malik.
“Maafkan Ayah ya, Malik. Maafkan juga ibu dan kakakmu.” kata ayah dengan penuh penyesalan. “Maukah kau kembali kepada kami, Malik?” tanya ibuku meyakinkan. “Wah, Malik sangat ingin berkumpul kembali dengan kalian. Malik mau, Bu.” Jawab Malik penuh semangat.
“Malik, mereka siapa?” tanya wanita berhijab syar’i itu. Itu adalah Bu Maryam. “Bu, ini keluarga kandungku.” Malik memperkenalkan kami. “Bu, bolehkah Malik kembali pulang kepada mereka?” tanya Malik ragu. “Pastinya boleh, itu kan impianmu selama ini.” jawab Bu Maryam. Kami senang sekali. Ayah berterima kasih pada Bu Maryam dan membicarakan tentang hadiah yang Malik peroleh. Ya, uang ratusan juta itu kami sepakat untuk mendonasikan kepada panti asuhan ini karena telah menjaga Malik dengan sepenuh hati. Tetapi, Bu Maryam menolak dan dia berkata, “Tidak perlu Pak, Malik ini adalah anak istimewa dia juga kesayangan saya. Lebih baik uang itu digunakan untuk operasi mata Malik agar dia bisa melihat seperti anak pada umumnya.” Kami pun setuju dan membawa Malik pulang ke rumah.
Setelah beberapa hari kami membawa Malik ke rumah sakit. Dia akan operasi mata Aku awalnya tidak yakin karena aku ingat Malik itu buta permanen. Tapi aku tetap berdoa kepada Allah untuk kelancaran dan kesembuhannya.
“Dok, apakah adik saya bisa melihat lagi?” tanyaku pada dokter. “Ini buta permanen, harapannya sangat kecil untuk bisa melihat lagi. Ini bawaan dari lahir. Sangat sulit menangani ini. Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin.” jawab dokter meyakinkan.
Hampir sebulan mata Malik ditutupi dengan perban. Akhirnya, saat menegangkan pun tiba. Perban mulai dibuka oleh suster. “Malik, coba kamu buka mata pelan-pelan.” ujar dokter. Dia mulai membuka matanya. “Dok, ini masih hitam.” jawab Malik. Kami cemas setengah mati. “Coba sekali lagi.” kata dokter. “Horee, akhirnya aku bisa melihat seperti orang normal.” teriak Malik membelah kesunyian. Dokter, aku, ayah dan, ibu sangat gembira dengan hal ini. Akhirnya doaku terkabul. “Ini sebuah keajaiban, Bu, Pak. Sepertinya mukjizat Allah telah turun dan Ia membuktikannya lewat Malik.” kata dokter itu. Kami gembira dan bersujud kepada Allah sebagai rasa syukur kami atas karunia-Nya.
Kami pun hidup bahagia dan menjadi keluarga harmonis. Di sinilah Allah mulai menaikkan rezeki kami dan membuat hidup kami menjadi lebih berkecukupan. Memang benar, Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Ujian yang Dia berikan merupakan bentuk cinta-Nya kepada hamba-Nya. Maka, kita patut melewati itu dengan sabar, tabah, berusaha dan berdoa. Tetaplah bersyukur dan jangan menyerah jika tertimpa musibah. Karena dibalik semua itu pasti akan ada hikmah dan jalan keluar menuju kebahagiaan dalam iman dan takwa.
Cerpen Karangan: Suci Amanda Blog: xyilmubermanfaat.blogspot.com Hai, aku suci. Hobiku ini tidak terlalu kulakukan. Kalau lagi dapet ide ya baru nulis kalau gak ya nggak. Ini juga membuatnya harus mood yang baik.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com