Menjadi tua itu benar-benar menyebalkan, rutukku dalam hati sambil melihat lampu ruang operasi itu. Didalam sana tergeletak lelaki tua yang harusnya kudampingi sampai masuk ke ruang itu. Seseorang yang sempat kuakui menjadi pendamping hidupku.
5 tahun yang lalu waktu aku berusia 42 dan dia ada diusiaku saat ini, aku memutuskan memulai hidup lepas darinya. Sebab banyak hal yang membuatku tak kuat mendampingi semua ego dan kebebalannya. Aku membawa kedua anakku yang saat itu sudah dewasa. Aku merasa mampu menghidupi mereka. Toh mereka sudah waktunya bekerja. Merekapun tak banyak bicara. Tak ada kalimat intimidasi ataupun interogasi dari mereka. Tanda bahwa mereka sudah faham keadaannya. Namun saat ini rasanya aku adalah orang yang paling jahat, tak punya hati.
Beberapa kali Kevin, suamiku (masih suamiku sebab kami tidak bercerai. Hanya pisah rumah selama 5 tahun.) Menelfonku namun tak pernah kuangkat. Mendengar suaranya saja rasanya aku muak. Tapi ini tadi nomor tak dikenal menghubungiku dan mengatakan bahwa Kevin pingsan diluar pintu rumahnya mereka pun segera membawa Kevin ke rumah sakit. Membuatku buru-buru menyusul ke rumah sakit ini.
Tangisku mulai mengalir saat memori-memori kami terulang di otakku. “lihatlah wanita tua dan renta ini sedang sendirian menangisi kekasihnya yang sempat ia tinggalkan” otakku mengejek tidak sopan. Aku menangis lebih deras. Iya. Aku SENDIRIAN. Kedua anakku sedang tidak ada di Indonesia. Si sulung, Renata ada di Filipina. 3 bulan lalu ia menikah dengan Kiko, pemuda asli Filipina. Mereka berkenalan dari sosial media. Aku sempat bertemu mereka di Bali waktu itu ia bersama keluarganya. Menantuku itu orangnya baik. Ia berniat memberangkatkan aku dan Kevin dengan pesawat yang mahal. Tapi aku menolak. Aku malah meminta anakku memilih apakah aku atau ayahnya yang datang di pernikahannya. Renata tak memilih. Ia membiarkan kami tetap di Indonesia dan melakukan video call selama pemberkatan nikah mereka. Itu mimpi Renata menikah dengan pemberkatan di gereja mewah dan janji suci mereka diucapkan dengan bahasa inggris. Sedangkan si bungsu, Tania. Ia melanjutkan studinya di Jepang. Untuk itupun kami tidak mengeluarkan uang. Ia mendapat beasiswa meninggalkan aku sendiri dalam ketuaanku. Sudah kubilang kan? Menjadi tua itu menyebalkan.
Ketika aku sudah mulai mengontrol tangisku, aku membuka handphoneku. Renata bilang akan terbang malam ini dari Filipina. Ia khawatir dengan ayahnya. Tania meminta maaf karna ia tidak bisa semudah itu pulang ke Indonesia. Jepang jauh. Harga tiket dadakan lebih mahal. Ia akan terus berdoa. Berdoa! Aku lalu melipat tanganku. Tapi aku bingung harus mulai dari mana. Apakah Tuhan menilaiku basa-basi jika aku memohon maaf terlebih dahulu karna kesalahanku. Tapi bukankah tidak sopan jika datang-datang aku memintaNya menyembuhkan Kevin? Maka dalam lipat tanganku aku hanya menangis. Berharap Ia sendiri mengartikan tangisku. Berharap Ia tahu bahwa aku masih mencintai Kevin. Aku hanya menjadi tua dan egois. Kiranya Ia memahami isi hatiku.
Lampu operasi dimatikan dan tak terlalu lama dokter keluar dari ruangan itu. Dan Kevin dipindah ke ruangan dimana aku harus memakai pakaian hijau-hijau dan masker dan penutup kepala. Hanya 1 orang yang boleh berada didalam untuk menjaga. Tidak ada yang lain. Jadi sudah pasti aku yang menjaganya. Malam itu aku meminta banyak hal pada Tuhan. Hal-hal yang tidak terlintas dalam doaku saat kami berpisah. Tapi aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Lagi-lagi aku hanya menangis.
Kevin membuka matanya kira-kira waktu itu jam 5.30 aku tahu karna baru saja aku melihat hp ku dan membaca pesan Renata yang ternyata sudah sampai di Bandara. Aku tersenyum tapi tentu ia tak melihatnya. Aku masih menggunakan masker. Ia pun tersenyum dan menunjuk-nunjuk tasnya yang ada di pangkuanku. Sebelum tetangga-tetangganya yang melarikan dia ke rumah sakit itu pulang, mereka memberiku ini. Katanya Kevin membawa tas ini sebelum ia pingsan, entahlah aku tak paham bagaimana kejadiannya.
Ia masih lemah untuk berbicara, di hidungnya dan mulutnya dipasang alat bantu pernafasan. Jadi aku mengeluarkan satu-persatu barangnya, membantunya mencari apa yang ia mau cari. Ia menggeleng terus menandakan bukan barang-barang itu yang dicari. Kemudian tanganku meraba sebuah kertas tebal. Kertas foto. Foto pernikahan kami. Ia mengangguk. Itu yang ia cari. Kemudian untuk waktu yang tidak lama. Alat-alat dokter itu berbunyi. Kevin seperti kesakitan. Aku berteriak meminta bantuan dokter. Mereka menyuruhku keluar, sebentar katanya. Aku menangis dan berteriak menggenggam foto pernikahan kami. Aku tak mau. Aku tak mau hal buruk terjadi padanya!
“mama!” Renata berlari dan memelukku sewaktu ia tahu aku sedang menangis histeris. Ia ikut menangis. Aku mendengar dokter-dokter itu berbincang dengan serius. Tapi aku juga mendengar alat-alat itu bersuara. Menakutkan. Kemudian satu tuuuuutttt panjang membuatku tersentak. Aku sering mendengar suara itu di TV. Dokter keluar dan mengatakan bahwa Kevin tidak bisa diselamatkan. Tangisanku semakin histeris.
—
“ma! Mama!” suara maskulin itu membangunkan ku “bangun ma! Mimpi apaan sih kok sampe nangis gitu?” tangannya membantuku untuk duduk dan menyodorkanku minum. “maafin mama ya pa” kataku sambil memeluknya. Aku bersyukur cerita panjang itu hanyalah mimpi. Pertengkaran kemarin benar-benar membawaku menjadi tua
Cerpen Karangan: Gloria Christi Naviri Setiyawan Halo, kalian bisa follow IG ku di @gcnavs Btw, cerita ini aku dedikasikan kepada pasangan-pasangan yang memilih untuk bertahan daripada melepaskan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com