Kehilangan seseorang itu sangat berat, apalagi kehilangan salah satu dari orangtua kita. Rasanya hidup tak lagi berjalan baik dan sempurna. Tak ada rindu yang berakhir temu. Hanya cerita mengalir do’a untuk pahlawan terhebat di dunia. Ayah, aku ikhlas. Selamat tinggal.
—
“krik.. krik.. krik” Alarm membangunkan aku dan santri-santri di pagi hari ini. Pukul 03.00 pagi, kami terbiasa bangun untuk menjalankan sholat tahajjud. Lalu, selesai sholat tahajjud kami menunggu adzan shubuh tiba dengan menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an yang akan disima’ oleh salah satu pembina Tahfidz di pondokku.
“Allahu Akbar … Allahu Akbar” Suara adzan berkumandang dari asrama putra
Usai adzan selesai, kami bergegas sholat fajr dan dilanjut sholat shubuh berjama’ah. Tidak lama kemudian berpindah posisi duduk untuk menyesuaikan kelompok menghafal Qur’an. Seperti biasa, sebelum disima’ Ustadzh, aku dan temanku saling mendengarkan ayat-ayat yang telah kami hafal. Setelah itu, aku mempersiapkan diri untuk disimakan ustadzah.
Pukul 07.00 WIB, bel berbunyi menandakan bahwa santri-santri sudah harus berada di kelas untuk belajar pelajaran hari ini. Audi, teman sebangku selalu datang lebih dulu sebelum bel bunyi. Biasanya, ia selalu menghabiskan waktu luangnya sebelum ada guru di kelas untuk tidur. Tak heran, jika di kelas sudah ada satu santri putri yang telah siap duduk rapi di kelas dengan muka bantal yang baru saja bangun dan nyawa yang belum terkumpul.
“Selamat pagi, Audi. Baru bangun yaaa?” sapaku dengan sedikit meledek. “heumm” wajah Audi yang sedikit berpaling.
10 menit sesudah bel kelas berbunyi, tibanya guru Pendidikan Agama Islam sudah siap duduk di meja guru untuk mengajari materinya hari ini. Selesai berdo’a, waktu tantangan dimulai. Santri-santri diminta untuk menyiapkan ulangan lisan Pendidikan Agama Islam. Satu per satu santri dipanggil untuk duduk di depan meja guru dan mempersiapkan diri menjawa beberapa pertanyaan pada ujian lisan ini. Detak jantung santri-santri jelas tidak lagi berdetak sesuai detiknya karena rasa takut namanya cepat-cepat dipanggil guru untuk ujian lisan. Dua jam pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan guru yang dikenal ketegasannya. “Seperti bertemu raja terakhir, sungguh mengerikan” ucap salah satu santri ketika guru sudah meninggalkan kelas.
Tak lama kemudian, kelas kembali bising. Antar satu sama lain berlari-lari seakan sedang bermain bola di dalam kelas. Rupanya santri-santri senang sekali usai melewati ujian lisan. Mengekspresikan kesenangannya dengan meramaikan kelas, namun ada beberapa santri yang tertidur pulas beralasan lantai.
“Adakah Oktavianna, dari kamar Sayyidah Fatimah” Ucap ustadzah yang membuat kelas kembali sunyi, tiba-tiba pandangan santri-santri ke aku semua, seakan menunjukkan bahwa aku sedang duduk di sudut kelas. Lalu aku melangkahkan kakiku keluar kelas menyamperi ustadzah yang sudah menunggu di bangku depan kelasku. “Aku, Oktavianna Ustadzh. Adakah yang bisa aku bantu” tanyaku. “Tidak, Okta. Ada pesan dari kakamu, memberitahu bahwa ia ingin berbicara denganmu melalui telepon” jawab ustadzah dengan menyodorkan telepon untuk segera aku ambil. “Baik ustadzh, izin meminjam teleponnya” Ucapku dengan sedikit menundukkan kepala.
Lalu, aku menelepon kakaku. “nitt… niittt… niitt, panggilan yang Anda tuju tidak menjawab silahkan menghubungi beberapa saat lagi” Suara operator yang sangat lantang. Namun, aku kembali menelepon kakaku. Tak lama kemudian, kakaku mengangkat telepon dari aku. “Assalammu’alaikum, De. Kamu apa kabar? Jangan makan sembarangan ya dan jangan lupa minum air putih yang banyak. Jangan pernah meninggalkan sholat berjama’ah dan mengaji” Ucap kakaku yang sudah biasa mengucap salam dan tidak ada jeda untuk aku menjawabnya terlebih dahulu. “Wa’alaikumussalam, Ka kabar baik. Siap, aku selalu ingat pesan kaka. Kaka ada apa ingin menelepon aku?” tanyaku dengan wajah bingung. “Do’akan ayah, saat ini masuk rumah sakit sedang di ruang UGD karena jantungnya kumat, De” jawab kaka dengan suara lirih. Aku diam sejenak, ingin rasanya menangis saat mendengar kabar ayah di rumah, tapi aku harus bisa membunyikan tangisan di depan ustadzh dan teman-temanku. “Ya Allah, aku ingin pulang lihat ayah. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan ujian, Ka” jawabku dengan nada yang sangat lara. “Tidak apa-apa de, kamu cukup mendoakan ayah, semoga ayah lekas membaik. Disini ayah ditemani ibu, kaka, dan mas” jawab kaka yang menenangkan perasaanku. “Baik, ka aku selalu mendoakan ayah. Salam ke ayah dan ibu. Kalau ada apa-apa tolong kabari aku lagi ya, Ka” “iyaa de, kaka tutup ya. Assalammu’alaikum” Usai telepon ditutup, aku mengembalikan gawai ke ustadzh “Terimakasih, Ustadzh. Aku kembali ke kelas ya” Ucapku
Aku kembali ke kelas dan duduk di bangku. Lalu, melanjutkan aktivitas di kelas bersama santri-santri. Tak terasa 6 jam belajar di kelas. Dan sekarang jam menunjukkan pukul 12:10 santri-santri bergegas ke aula untuk sholat dzuhur berjama’ah. Tak lama kemudian, santri-santri kembali ke kamarnya untuk mempersiapkan makan siang di dapur pondok. Lalu, kembali beristirahat di kamarnya. Ketika waktu istirahat, biasanya santri-santri ada yang tidur siang, ada yang menghafal, dan ada juga yang merapikan lemarinya. Aku termasuk santrii yang suka tidur, ketika waktu istirahat aku manfaatkan waktunya untuk tidur agar ketika ada jam belajar tidak lagi kepala menunduk dan mata yang mengatup.
Pukul 14.30 tiba, sudah saatnya santri-santri bersiap-siap untuk melaksanakan sholat ashar berjama’ah. Sebelum adzan tiba, santri-santri sudah duduk di aula ibadah, karena kalau telat datang ke aula ibadah ada hukuman dari ustadzh. Maka dari itu, tak heran jika santri-santri lomba lari-lari ke aula ibadah agar tidak dapat hukuman telat. Usai sholat ashar berjama’ah, santri belajar salah satu kitab yang biasanya dipelajari ketika setelah sholat ashar. Kitab ini diajarkan langsung oleh nyai, istri dari kyai pondokku. Santri-santri sangat antusias ketika belajar kitab bersama nyai, karena beliau sangat menghibur santri-santri ketika belajar sedang berlangsung.
Setelah selesai belajar kitab, santri-santri diberi waktu satu jam untuk makan sore dan mandi. Di depan kamar mandi sudah biasa banyak sekali gayung dengan alat-alat mandi santri yang diletakkan untuk menandakan antre mandi santri secara bergilir. Sambil menunggu antre mandinya, santri-santri makan sore di dapur pondok dengan lauk yang seadanya namun tetap nikmat jika makannya bersama-sama. Setelah mandi dan makan, aku dan temanku ke kemar untuk mengambil beberapa buku dan kitab. Lalu, duduk kembali di aula ibadah dengan bercerita sambil menunggu adzan maghrib tiba.
“Allahu akbar… Allahu akbar” suara adzan dari asrama putra yang terdengar dengan sangat jelas dan lantang. Lalu, kami melaksanakan sholat berjama’ah dan dilanjut dengan mengaji tafsir Al-Qur’an sampai adzan isya tiba. Satu jam kemudian, adzan isya sudah berkumandang dan kami siap-siap untuk sholat isya berjama’ah dan dilanjut kembali belajar pelajaran di kelas sampai pukul 21:00. Jam sudah menunjukkan pukul 21:00, sudah waktunya santri-santri kembali ke kamar untuk istirahat dan bangun kembali pukul 03.00 pagi.
—
“Okta… Okta… Okta” suara ustadzh yang mencoba mengejarku saat aku jalan menuju kelas “Okta, sebentar ada pesan dari kaka kamu. Dan sangat penting” suara ustadzah yang terengah-engah “Iya, Ustadzh ada apa?” jawabku dengan memberikan aqua gelas yang baru saja beli di kantin kepada ustadzh. Rupanya ustadzh sangat lelah lari-lari mengejarku, tampak mukanya yang sangat buncah seperti ada informasi penting yang mau dibicarakan. Aku semakin penasaran, ingin rasanya dijawab secepatnya, namun ustadzh masih minum air yang baru saja aku kasih dan sambil mengatur pernapasannya. “Okta, kamu siap-siap ya. Setelah ini kaka kamu akan jemput kamu. Kamu yang sabar ya” jawab ustadzh sambil memeluk erat tubuhku. “Baik, Ustadzh” jawabku dengan wajah yang polos
Aku tidak tahu maksud dari pelukan erat ustadzh itu apa. Masih belum paham apa maksud pesan ustadzh untuk mengingatkan agar sabar. Dan kenapa tiba-tiba kaka menjemputku tiba-tiba ketika aku masih sedang ujian. “Apakah ini sangat penting? Apakah ada sangkut paut dengan keadaan ayahku?” aku terus bertanya pada diriku sendiri, aku berjalan sendiri ke kamar untuk menyiapkan diri pulang. Sambil berjalan, aku masih sangat penasaran dengan kejadian yang terjadi. Aku tidak tahu apa-apa, lantas mengapa perasaan aku sangat gelisah, rasanya air mata tak kuat lagi untuk membasahi pipi ini.
“De, ayo kita pulang” kakaku sudah berdiri di depan kamarku dengan wajahnya yang sangat pilu dan matanya yang bengkak, seperti habis menangis tak henti-henti. Lalu, aku menyamperinya dan membawa dua tas yang ingin kubawa pulang. “Ada apa, Ka? Kenapa kaka sepertinya sangat sedih sekali? Bagaimana kabar ayah, apa ayah sudah membaik?” sambil jalan menuju gerbang pintu keluar pondok, aku masih terus bertanya-tanya. Namun, kaka hanya diam dan senyum menjawab pertanyaanku yang ingin sekali aku dengar jawabannya.
Usai sampai rumah, aku lihat ada bendera kuning di depan rumahku. Dan dengan tulisan yang sangat jelas “Almarhum Hasannudin bin Kasmir”. Aku sempat diam sejenak melihat bendera kuning ini yang tertera nama ayah. “Apakah ayah telah pergi?” ucapku dalam hati. Lalu, kaka menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Sampai tibanya aku masuk, nampak jelas sekali di depan aku sudah ada ayah yang sedang berbaring dan ditutupi kain putih. Lalu aku membuka perlahan kain yang menutupi mukanya, mengusap wajah gantengnya ayah. Dan mengajak berbicara dengannya sambil mengusap wajahnya.
“Ayah, ayah masih banyak janji sama aku. Selesai aku liburan di pondok, ayah janji mau mengajak aku pergi ke tempat liburan.” “Ayah, katanya ayah mau lihat aku pakai toga wisuda dengan nama aku yang diikuti gelar sarjana.” “Ayah, aku udah di rumah mau lihat dan jenguk ayah” “Ayah, Ayah kenapa diam. Ayah bangun, aku mau bercerita sama ayah”.
Aku terdiam dan memeluk erat tubuh jenazah ayahku. Menangis tak henti-henti di atas tubuh ayahku. Seisi rumah kembali dipenuhi tangisan-tangisan. Aku rasa ini mimpi, ayah tidak mungkin pergi sebelum aku memiliki gelar sarjana. Ayah sangat ingin melihat aku kuliah di kampus impian, tetapi kenapa ayah sekarang pergi ketika aku masih duduk di bangku SMP.
Ibu menarik tubuhku agar aku duduk tenang di sampinya. Ibu memeluk erat tubuhku dengan mencoba menenangkan tangisku. “Kamu ambil wudhu dan baca yasin untuk ayah ya nak” ucap ibuku sambil menghapus sedikit air mataku di pipi. Lalu, aku melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu. Selanjutnya membaca ayat demi ayat di samping jenazah ayah. Sesekali aku diam dan melihat tubuh ayahku dari kaki sampai kepala. Kaki ayah, dulu sebagai penompang hidup kami. Setiap hari beliau selalu bekerja mencari nafkah untuk kami. Tangan halusnya selalu mengusap kepalaku dan memeluk erat ketika sepulangnya kerja. Wajahnya yang ganteng dengan senyum manisnya selalu menjadi ketenangan kami di rumah. Ayah tidak pernah menampakkan wajah lelah dan marahnya dengan kami. Setiap hari setiap waktu, kami selalu melihat kecerahan wajahnya dengan lengkung senyumnya. Ayah tak pernah lupa untuk mengantarkan cemilan untuk aku di pondok setiap hari minggu. Ayah selalu meluangkan waktunya bersama ibu, kakak, dan mas untuk menjenguk aku di pondok. Ayah tampak bahagia melihat aku yang sudah bisa menghafal beberapa juz Al-Qur’an. Salah satu cita-cita ayah adalah ingin sekali melihat aku kuliah di kampus impian dan lulus wisuda dengan tertera nama gelar di belakang namaku. Namun, Allah punya rencana lain yang mungkin ini adalah rencana terbaik dari Allah untuk kami.
Pemakaman ayah akan berlangsung, aku dan keluarga sudah siap menghantarkan ayah ke rumah terakhirnya. Di belakang banyak sekali keluarga, tetangga, dan teman-teman ayah yang mengantarkan ayah ke tempat peristirahatannya. Beberapa langkah lagi, tampak jelas makam ayah sudah di gali oleh petugas. Lalu, jenazah ayah siap untuk ditaruh di liang lahat. Tak lama kemudian, ayah ditutupi tanah-tanah merah dan terdapat batu nisan yang indah di posisi kepala kuburan ayah.
“Ayah, aku tahu. Ini bukan mimpi, tetapi nyata. Berat sekali yah, ditinggal ayah lelaki hebat aku. Masih banyak kesalahan aku yang belum sempat bilang maaf ke ayah. Aku belum bisa membahagiakan ayah, tetapi Allah sudah sangat cepat memanggil ayah. Aku harus bisa menerima kenyataan yang sangat pahit sekali. Ayah, jangan khawatir. Aku akan menempati janji-janji ayah. Beberapa tahun kemudian, aku akan merayakan kebahagiaanku usai lulus wisuda. Namaku sudah ada gelarnya, Yah. Ayah jangan lupa lihat aku yaa” ucap pesanku di makam ayah lalu mencium batu nisannya “Ayah, aku ikhlas. Ini adalah takdir dari Allah. Aku selalu menyayangi ayah, tak ada yang bisa menggantikan ayah. Tenang disana ya, Ayah”.
Selesai.
Cerpen Karangan: Oktavianna Blog / Facebook: Oktavianna Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com