Sorot matanya berubah saat aku mengatakan maksud ucapanku. Memang berat bagiku untuk menyampaikan pada ayahku bahwa aku ingin bersekolah di kota besar dan meninggalkan desa ini. Tetapi dalam sekejap sorot matanya berubah menjadi seperti semula, dan memperbolehkanku pergi. Setelahnya, ia pun pamit untuk pergi ke sawah, dan meninggalkanku dengan pikiranku.
Aku duduk di halaman depan rumahku, menghadap ke sawah jagung milik keluargaku. Desa yang telah bersamaku selama 17 tahun ini, terasa begitu damai. Semilir angin berembus, memainkan rambutku yang semakin panjang. Entah kenapa, semenjak aku menyampaikan keinginanku kepada ayah, semua hal dihadapanku menjadi penuh oleh memori masa kecilku. Aku kembali teringat saat aku pertama kali pergi ke sawah dan terjatuh karena terlalu bersemangat. Atau saat membakar jagung di halaman rumah, dan memandangi bintang yang bertaburan. Atau saat aku berlarian menemui ayah dan ibu, karena dijahili oleh salah satu teman sekolahku, meskipun ayahku hendak pergi. Ayahku yang lembut membelai kepalaku, membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja. Memikirkan semua itu membuat air mataku mengalir, dan langsung kuhapus dengan cepat. Aku bangkit dan masuk ke dalam rumah, mungkin membantu ibu akan menyenangkan.
Pada malam harinya, ayah mengajakku pergi. Saat aku bertanya tentang tujuan kami, ia hanya tersenyum dan melanjutkan perjalanan. Ya, ayahku yang selalu punya hal yang menarik apabila ia merahasiakannya. Aku penasaran dengan tujuan kami. Setelah beberapa waktu, kami pun berhenti di sebuah tempat berumput, tepat di bawah bintang.
“Sini, duduklah nak” kata ayahku. Aku mengikutinya sambil terpana melihat langit bertaburkan bintang. Bahkan awan sepertinya enggan menutupi bintang, membiarkannya bersinar. Aku duduk di sebelah ayahku, sambil tetap menatap ke langit. “Gimana langitnya? Bagus tidak?” tanya ayahku. “Ini keren banget Yah, nggak ada awannya sama sekali, keren banget” jawabku. Ayah hanya terkekeh mendengarnya. Ia membiarkanku menikmati pemandangan, sebelum akhirnya berbicara. “Nak, kamu mau tahu kenapa nama kamu itu Alula?” tanya ayahku. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menggeleng. Sambil tersenyum ia berkata, “Dulu, waktu Ibumu lagi mengandung, setiap hari dia kesini. Menatap langit yang sama indahnya seperti ini, tak pernah terlewat satu haripun. Dia hanya akan berhenti datang saat hujan turun, karena bintangnya tak terlihat. Karena itulah namamu Alula nak, itu artinya bintang. Karena kami selalu berharap, bahwa kamu akan memancarkan cahaya yang lebih terang dari kami. Dan perihal tadi pagi, tidak perlu kau cemaskan, pegilah dan capai mimpimu. Ayah tidak akan memaksamu untuk tinggal disini lagi, kau bebas menjadi apapun yang kau mau” kata ayahku. Dan tanpa kusadari, air mataku mengalir deras, meskipun sudah susah payah kutahan. Ayah perlahan mengusap air mataku, dan membiarkanku menangis untuk beberapa saat.
Malam itu kuhabiskan dengan mengenang masa kecilku bersama ayah, tertawa bersama mengingat hal konyol yang pernah kami lakukan. Lalu membicarakan tentang bintang, alam semesta, dan planet-planet sampai mataku tak lagi kuat untuk bertahan. Kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah dan beristirahat.
Beberapa hari kemudian, hari yang ditunggu pun tiba. Hari keberangkatanku ke kota. Ayah, Ibu dan beberapa teman sekolah ikut mengantarkanku ke stasiun, karena aku akan pergi menggunakan kereta. Kusalami satu persatu dari mereka. Aku memeluk lama teman-teman dekatku, merasa sedih karena harus berpisah dengan mereka. Lalu aku memeluk Ibuku yang sudah tak bisa menahan tangisnya, melihat anak perempuannya yang akan pergi jauh. “Berjanjilah nak, ketika kau sudah pergi jauh dan menjadi orang hebat, kau akan kembali pulang kesini” ucapnya sambil menangis. Kuanggukan kepalaku, mengukir janji tersebut di kepala. Dan yang terakhir, aku menyalami tangan ayahku. “Jangan khawatirkan kami nak, pergi raih mimpimu, kembalilah saat kau merasa kangen dengan rumah. Kami akan selalu ada disini menunggumu. Semua akan baik-baik saja, dan akan selalu begitu” ucapnya sambil mengelus kepalaku. Sontak aku langsung memeluk ayahku, membuat basah baju ayahku. Sungguh, kata-kata itulah yang membuatku bertahan, membuatku berdiri saat semua orang menjatuhkanku. Aku tak peduli apa kata orang, aku akan menjadi peneliti bintang demi orangtuaku.
Demi ayahku yang sudah menunjukkan indahnya langit dan bintang. Demi ibuku yang memberikan pengertian hidup. Aku akan membuat mereka bangga. Maka sejak hari itu, saat aku pergi dari desa kelahiranku, aku belajar sekeras mungkin. Dan lihatlah sekarang, seorang wanita berumur 24 tahun, dan magang di salah satu tempat penelitian bintang terkenal. Aku ingin memberi kejutan untuk orangtuaku, dengan beberapa gambar bintang yang kudapat. Aku yakin mereka akan senang.
Aku lantas pergi ke halaman belakang rumah kecil milikku, duduk di salah satu kursi rotan. Aku hendak membaca surat yang baru saja datang, sayangnya tidak tertera alamat pengrimnya. Kubuka amplop tersebut, mengeluarkan kertasnya, dan terkejut melihat tulisan di surat itu. Ini pastilah ditulis oleh Ibu, pikirku. Segera kubaca isi surat itu, dan termangu membacanya.
Kubiarkan kertas itu melayang jatuh. Angin seperti enggan berembus, burung-burung enggan bernyanyi. Ayahku telah pergi, menjemput janjinya lebih dulu. Dan aku tak ada di sisinya, bersamanya disaat terakhirnya. Awan seperti ikut bersedih, menurunkan hujan deras. Membasahi seluruh tubuhku, aku tak peduli. Rasa sakit di hatiku mengalahkan dingin yang menusukku. Ayahku memang selalu benar, tapi untuk yang satu ini, ia salah besar. Segalanya tak akan pernah baik-baik saja.
Cerpen Karangan: Aiyuu Heyyaaa! Namaku Aiyuu, and Im a childish person. Hobinya mikirin banyak hal, makanya suka ngebikin random story. Hal yang paling disukai itu buku (novel itu nomor satu!), makanan manis, sama anime.