Enam belas tahun silam, aku ditemukan oleh seorang wanita, yang sekarang menjadi ibu angkatku, dalam keranjang bayi di pinggir jalan. Keranjang itu ditemukan bersampingan dengan seorang pria yang sudah bercucuran darah dan tak berdaya pada malam itu. Kemungkinan besar pria itu adalah ayah kandungku. Sayangnya, ibu bilang bahwa lelaki itu sudah meninggal di tempat sebagai korban tabrak lari oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Kemudian, saat itulah aku diadopsi menjadi putrinya. Terdapat secarik kertas dalam keranjang bayi itu yang berisikan namaku, tanggal lahir, dan nama ayah kandungku. Menurut ibu, ada kemungkinan sebelum peristiwa tabrak lari itu, sosok pria yang diduga sebagai ayah kandungku hendak menitipkan bayi mungil tersebut pada sebuah panti asuhan yang berada di seberang jalan. Entah apa alasannya, ibu dan aku pun tidak tahu-menahu soal itu.
Kini aku hanya tinggal berdua bersama ibu di sebuah rumah yang sederhana. Ibu telah berpisah dengan suaminya sejak aku berusia lima tahun. Mulai saat itulah ibu bekerja keras banting tulang sebagai pembantu rumah tangga demi mencukupi hidup kami. Dan berkat ibu, kini aku bisa menimba ilmu di sekolah favorit dengan teman-teman sebayaku yang kehidupan sosial ekonominya lebih tinggi dari kami. Namun, perbedaan itu tak kuanggap sebagai batu penghalangku dalam berteman. Meski ada beberapa dari mereka yang meremehkanku, tapi aku tetap fokus pada tujuanku yaitu untuk belajar dengan benar dan tidak mengecewakan ibu.
“Bagaimana sekolahmu hari ini, Tari?” tanya ibu yang baru saja selesai mandi malam itu. “Baik, bu. Alhamdulillah lancar” jawabku dengan senyum tipis padanya. “Kamu tidak diusili teman-temanmu, kan?” tanya ibu lagi sambil mendekat padaku yang sedang duduk di kursi ruang makan. Aku hanya bergumam dan tak menjawabnya.
“Coba kamu cerita, mereka berulah apa lagi denganmu, nak?” “Mmm, aku hanya tidak sengaja terkunci di dalam toilet, bu” “Yakin tidak sengaja terkunci?” tanya ibu memastikan. Aku pun mengangguk pelan dengan penuh keraguan. “Ibu tahu kamu sedang menutupi sesuatu dari ibu. Tapi, ibu minta Tari harus menjadi anak yang berani. Jangan takut dengan orang-orang yang meremehkan ataupun usil sama kamu, nak” nasihat ibu seraya menuangkan nasi dan lauk pauk santapan malam itu. “Kalau ibu tidak ada…” “Hush, ibu kok ngomongnya seperti itu. Ibu ngga perlu khawatir, karena di sekolah pun Tari masih punya teman yang baik dan selalu membantu kapanpun dan di manapun, seperti Dinda dan Haris” jelasku pada ibu sambil menuangkan air ke gelas. “Iya, tetap saja kamu ngga boleh selamanya bergantung pada kebaikan mereka” sahut ibu. Aku pun mengangguk sambil menyunggingkan senyum terbaikku padanya.
Keesokan harinya, aku pamit dengan ibu dan bergegas menuju sekolah karena waktu sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Seperti biasa, karena jarak rumah dan sekolah yang tak begitu jauh, kutempuh dengan berjalan kaki. Setibanya di sekolah, kulihat keramaian di depan majalah dinding dekat ruang kelasku. Dari kejauhan tampak Haris dan Dinda berjalan menuju arahku.
“Tar, kamu tahu?” tanya Dinda. “Tahu apa, Din? Itu mereka kenapa ramai-ramai begitu? Ada pengumuman penting apa?” jawabku dengan balik tanya kebingungan. “Kamu lihat sendiri ya, Tar. Tapi aku harap kamu ngga perlu ambil hati soal apa yang terjadi” jelas Haris.
Kami pun segera mendatangi kerumunan itu. Kulihat gambar wajah seorang wanita usia 40-an terpampang jelas sedang melakukan pekerjaan rumah tangga. Aku mengenalinya, itu adalah ibuku. Ada seseorang yang sengaja menempelkan foto ibu di mading. Lagi dan lagi mereka yang tidak suka padaku pun berulah.
“Hahahaha, ternyata Tari hanya seorang anak pembantu” kata seorang gadis. “Iya, itu artinya dia berasal dari keluarga yang tidak mampu” sahut seorang gadis lainnya. “Cukup, teman-teman!” teriak Dinda. “Siapa yang berani menempelkannya?” tanya Haris dengan meninggikan suaranya.
Sementara semuanya diam dan saling tengok kanan-kiri, bel masuk kelas pun berbunyi. Semua siswa pergi dan masuk ke kelas masing-masing. Begitu pun denganku dan Dinda juga Haris. Aku masuk ke dalam kelas dengan raut wajah yang sedih. Bukan sedih karena dipermalukan, tetapi sedih karena ada saja orang yang tidak suka padaku. Padahal aku tidak pernah berbuat aneh kepada mereka.
Seusai sekolah, aku pun melangkahkan kaki untuk pulang dengan pelan dan lambat. Masih terbayang akan hal yang terjadi pagi tadi. Aku tidak kesal juga tidak marah pada mereka. Hanya saja aku ingin berteman baik dengan semuanya tanpa memandang status apapun. Tapi, mungkin bagi mereka memang aku tidak pantas berada di sekolah itu. Apakah sebaiknya aku pindah sekolah saja? Akan kupikirkan dan bicarakan pada ibu.
Sesampainya aku di rumah, kubuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Apakah ibu sudah pulang? Tetapi, ini baru saja jam 2 siang dan biasanya ibu pulang jam 5 sore. Aku menaruh tas di kamarku dan segera mengganti pakaianku. Lantas aku menuju ruang makan untuk meneguk segelas air putih. Namun anehnya saat aku melewati kamar ibu, pintunya terbuka sedikit. Aku pun masuk dan yang kulihat pertama kalinya adalah ibu yang sudah terbaring di lantai dengan wajahnya yang memucat.
“Ibuuu!! Ibu kenapa?” “Ibu bangun, bu!!” Panik bukan kepalang, aku segera meminta bantuan warga untuk membawa ibu ke klinik terdekat. Setibanya di sana, ibu segera ditangani oleh dokter.
“Atas nama keluarga pasien Bu Indah?” tanya dokter perempuan itu. “Saya anaknya bu” “Mohon maaf adik, kami harus menyampaikan kabar bahwa Bu Indah sudah meninggal dunia. Saya harap adik yang tabah dan ikhlas ya” jelas dokter itu. “Ngga, dok. Ini ngga mungkin! Tadi ibu saya hanya pingsan di rumah. Saya masih sempat merasakan detak jantungnya, dok! Mana ibu saya?!” kataku terkejut mendengar kabar itu seraya menangis dan mendobrak pintu ruang UGD.
“Ibuuuuu!! Ibu bangun bu!! Ibu ngga boleh tinggalin Tari sendirian, buuuu!!” teriakku sambil menangis terisak di hadapan ibu yang sudah pucat wajahnya.
Setelah pemakaman ibu, aku kembali ke rumah ditemani dua teman baikku di sekolah. Aku tak henti-hentinya menangisi kepergian ibu. Bagaimana bisa aku hidup tanpa ibu? Ibu yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku. Ibu yang selalu berjuang dan berusaha keras untukku. Namun ibu pergi begitu saja tanpa pernah cerita bahwa ia mengidap sakit paru-paru basah. Ya, dokter bilang penyakit ibu sudah dideritanya cukup lama. Dan aku tidak tahu-menahu sedikitpun soal penyakit itu. Sungguh aku merasa kehilangannya. Sesak dalam dada begitu menyakitkan. Bak malaikat yang patah kedua sayapnya. Setelah aku kehilangan ayah kandungku, kini aku pun harus menerima kenyataan bahwa ibu angkatku pun meninggalkanku untuk selamanya.
Cerpen Karangan: Wijayanti Ismail Blog / Facebook: Wijayanti Ismail Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com