Pagi yang manis. Udara dingin bercampur dengan aroma tanah basah yang menyejukkan. Kulirik jam dinding kecilku, pukul 7 pagi. Hampir saja aku kesiangan. Aku bergegas bangun dan mengambil handuk hijau mudaku.
“Kok rajin amat mandi pagi pagi, Kak?” Suara ibu menghentikan langkahku menuju kamar mandi. “Hah? Rajin darimana bu, Kakak udah telat iniiii,.” “Kamu ngantor hari ini? Ini Sabtu loh kak,…” Duenggg.. Bak orang linglung aku mencoba mengingat. Dalam sejarah peradaban hidupku, -oke, kali ini aku berlebihan-, aku belum pernah lupa tentang betapa berharganya hari sabtu itu. Dan untuk kali pertama, aku melupakannya.
“Kamu lupa kalau ini hari sabtu? Kok bisa?” ibu setengah mengejekku. Maklum, sabtu selalu jadi hari favoritku. Terlambat bangun, ga perlu mandi pagi, ga perlu pusing mikirin ‘hari ini pakai baju apa ya ke kantor?’ ahhh, hampir lupa, kemarin kan aku pulang larut malam, maklum Jumatku tak terlalu berjalan baik, kerjaan yang menuntut diselesaikan saat itu juga. Pantes pagi ini aku linglung, hahahaha, aku merasa lucu dalam hati. “Nanti temenin ibu ke pasar ya kak” Suara ibu menyadarkanku. “Ngapain Bu?” aku mencomot sepotong roti sobek coklat dari atas meja. Handukku kusampirkan dibelakang kursi makan. “Beli bunga, kak.. kamu lupa kalau nanti sore kita jiarah ke tempat Bapak?”
Waktu terasa berjalan cepat sekali. Bapak sudah pergi setahun lalu. Di minggu pagi yang tenang dan damai, bapak memilih pergi tanpa pamit, meninggalkan aku dan ibu, berdua saja. Sejak saat itu, aku bermusuhan dengan waktu. Aku memaksa diriku sibuk dengan segala hal, melupakan sedihku yang tak kunjung usai.
“Kak…, kok malah ngelamun?” “hemm? Ahhh, iya bu.. kakak ga lupa kok..” Ga lupa, Bu. Aku hanya menghindar.
Ibu menamaiku Rinjani Sekar Ningsih. Bapak memanggilku ‘Ning’, ibu memanggilku ‘Kak’, maklum aku anak satu-satunya. Dibesarkan oleh seorang Bapak yang hobi bermain musik dan ibu yang seorang sinden, kalian pasti menebak kalau aku akan menjadi gadis yang mempunyai suara bagus dan mencintai musik, bukan? Seharusnya memang begitu, tetapi anehnya, aku sama sekali tak mewarisi itu. Aku mencintai tulisan. Menuangkan ide-ide gilaku yang tak mungkin kulakukan -kecuali jika aku ingin dianggap anak durhaka- di dunia nyata, terasa begitu menyenangkan. “kamu mau jadi apa kalau hanya menulis saja, kak?” itu adalah sanggahan ibuku pertama kali ketika kukatakan aku ingin jadi penulis. Tak kusalahkan ibu, itu sebabnya aku gigih mencari pekerjaan lain, sembari menulis disela-sela sibukku.
—
“Pak, Ning datang..” Sapaan pertama sore ini ketika kukunjungi rumah Bapak berdua dengan ibu. “Ning dan ibu baik-baik saja, Pak.. Kerjaan Ning juga lancar-lancar aja.. cuman memang agak mumet Pak, maklum akhir tahun Pak, banyak closingan. Bapak apa kabar disana?” Aku menyerocos seperti biasa. Kurasakan mataku mulai panas, aku menahan airmata yang mengalir jatuh. Kulihat ibu memandangi foto di nisan Bapak dengan penuh rindu. Ah, selain kehancuranku, ibuku juga patah sepatah-patahnya. “Bu…” Aku memeluk ibu. Tangis yang kami sembunyikan pecah tanpa ampun. Serindu itu aku dan ibu, Pak…
Sekitar setengah jam setelahnya, aku dan Ibu memutuskan untuk pulang. Hari sudah sangat sore dan awan mendadak mendung, sepertinya akan turun hujan lagi. Langit memang selalu punya cara untuk menghibur, merayakan peringatan kepergian Bapak denganku dan ibu, dengan menurunkan hujan. Hahaha, bahkan semesta pun tahu caranya menangisi perpisahan.
Sisa sabtuku kuhabiskan berdua dengan ibu. Setelah kepergian Bapak, aku enggan berpisah dengan ibu. Entah aku terlalu kekanak-kanakan, hanya luka akibat kepergian Bapak belum sepenuhnya pulih, bahkan setelah setahun setelahnya.
“Bu, nonton yuk…” Ibu hanya mengangguk dengan pelan. Aku dan Ibu tahu, hari ini harus diisi dengan banyak kesibukan, menghindari pikiran yang terlalu banyak omong. Tak beruntungnya, aku dan Ibu bertemu dengan kerabat jauh dari ayah disana. Sudah berusaha menghindari tatapan mata, hanya sepertinya tidak terlalu berhasil.
“Halo tante…” Basa-basi yang terlalu kentara dariku. “Oh, Rinjani ngapain disini?” “Nonton, tante… dengan Ibu..” “Bisa ya nonton hari ini? Ini kan hari peringatan Bapakmu, toh?” Muak mendengar perempuan satu ini berceloteh sebenarnya, sejak kepergian Bapak, selalu ada hal aneh yang diusik olehnya. Kulihat Ibu yang hanya diam, raut wajahnya sedih dan tegang, aku bisa merasakan segala pikiran yang bergejolak di kepala ibu. “Tadi udah ke tempat Bapak kok, tan…” “oooh, kalau tante sih lebih memilih di rumah aja kalau diposisimu yaa, ngomong-ngomong, kamu sudah menikah?” “belum, tante…” “Kirain udah nikah tanpa ngundang tante,…” Ucapnya sinis.
Percakapan memuakkan itu segera kuhentikan dengan jawaban ‘permisi dan sampai jumpa’. Kugenggam tangan ibu dan berlalu. Mendadak gairah menonton film lenyap entah kemana. Kuatur hatiku dan raut wajahku. Ibu lebih terluka dariku,…
“Bu, tau gak? Kemarin Kak Putri dapat promosi looh dari kantor, seneng banget dia bu…” Aku mengalihkan fokus ibu dengan bercerita tentang Kak Putri, teman kantor yang juga dikenal baik oleh ibu. “Oh iyaa, pindah Kak? Atau tetap di kantor kamu sekarang?” “Pindah, Bu, ke Kalimantan…” “Walah, jauh juga yaaa. Ajak ke rumah ya kak, sebelum Putri pergi…” “Iya bu, nanti kakak bilangin ke Kak Putri ya..”
Sabtuku berlalu dengan baik, berkat Ibu. Ibu yang kini kujaga sepenuh hati, yang kurawat dengan jiwa, Ibu yang merupakan duniaku, Ibu yang kutahu akan meninggalkanku juga suatu hari nanti, persis seperti Bapak. Hanya, tak kusangka, Ibu memutuskan mendewasakanku secepat ini.
Tepat sebulan setelah sabtu itu, di minggu kedua akhir tahun yang dingin itu, ibu juga pamit tanpa banyak kata. Meninggalkan aku, hanya aku, dengan dunia yang kejam ini. Meninggalkan rumah kami tanpa sesiapa, meninggalkan aku yang selalu setia mengucapkan ‘Bu, Pak, kakak berangkat kerja yaa’ setiap hari, meninggalkan aku yang semakin enggan pulang ke rumah di penghujung senja, meninggalkan aku yang menangis terisak disetiap malam. Meninggalkan aku, hanya aku, benar-benar hanya aku. “Bu, ini terlalu sulit untuk kakak…”
5 Tahun setelahnya… “Pak, Bu… kakak datang.. apa kabar? Kakak baik-baik saja, hari ini kakak datang hanya berdua dengan Jo.. Kakak kangen…” Jo, suamiku mendekapku erat. Aku menangis dengan bebas di dada bidangnya, membasahi kemeja garis-garis birunya. Bahkan setelah bertahun-tahun, rasa sakitnya masih sama. Segala kenangan masih tetap ditempatnya. Entah aku yang enggan melupakan, atau kenanganku yang begitu setia kawan.
“Kakak udah ga sendirian, Bu.. kakak janji akan hidup lebih baik, lihat kakak dari sana ya Pak… Kakak ikhlas, yang tenang ya Pak, Bu.. Jo akan selalu disamping kakak. Waktunya Bapak dan Ibu beristrahat yang tenang, terimakasih, terimakasih untuk semuanya..”
Langit sore itu tetap cerah, warna merah jingga di ujung langit menenangkan hati. Jo dan aku melangkahkan kaki, meninggalkan rumah Bapak dan Ibu. Sejak hari itu aku tahu, aku yang enggan melupakan selama ini. Namun, tak lantas aku melepaskan ingatan itu. Bapak dan Ibu selalu punya tempat terbaik di sudut hatiku. Pamit nya pun punya tempat tersendiri. Hari-hariku setelah pamitnya itupun punya ruangnya sendiri, dan berdamai dengan segala sakit dan patah itu juga, punya tempat dan prosesnya sendiri.
Jo melirikku, aku tersenyum. “Tuhan mengirimku malaikat lain melaluimu, Jo… Terimakasih” aku bergumam dalam hati. Hatiku hangat sekali. Genggaman Jo kurasakan makin erat, jalan setapak itu terasa panjang, namun anehnya, tak melelahkan. Kututup kisahku, dan kumulai awal baru. Sekian.
*Cerita ini didedikasikan untuk semua kehilangan yang bermakna. “Tetaplah berjalan, hingga hari baikmu tiba. Pelan-pelan, selangkah demi selangkah. Sampai Jumpa di ujung jalanmu yang Bahagia” Salam, dari aku yang pernah kehilangan…, dan pulih.
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com