Ayu, Si Anak Lucu
“Aduh, lucu banget anaknya”, “Sini yuk gendong Tante” Jika aku bisa berteriak tidak, tentu aku sudah melakukannya saat itu. Tetapi aku tidak sampai hati mengucapkannya. Terbawalah aku kesana-kemari..
Ya, mereka itu teman-teman orangtuaku. Seperti dugaan kalian, aku satu-satunya anak kecil di komplek ini. Tidak ada teman sebaya, anak-anak lainnya berumur 5-7 tahun diatasku. Bukan hanya karena aku berumur paling muda, kerap kali aku memakai pakaian yang super menggemaskan. Kupluk bulu-bulu dengan boneka beruang kecil di tengahnya yang berwarna coklat muda, tak ketinggalan setelan baju dengan motif serupa dan sepatu boots yang berbunyi “ciit-ciit” bila dipijakkan ke tanah.
Selain menonton kartun favorit di televisi, aku suka diajak jalan dengan kedua orangtuaku. Menyusuri komplek perumahan yang sejuk dan rindang akan pepohonan, denganku yang duduk diatas sepeda imut warna pink dan tidak jarang selalu dihentikan oleh tetangga komplek. Ah padahal aku ingin sekali sampai ke taman dengan cepat dan berlari mengejar burung-burung itu.
Taman indah namanya. Seindah pemandangan yang disajikannya setiap waktu. Burung-burung yang terbang rendah, bunga cantik warna-warni, dan suasana riuh senda-gurau dari pendatangnya. Tentu aku langsung berlarian di taman ketika Ayah menurunkan aku dari sepeda kecil itu. Menghiraukan teriakan Ibu “Nak, pelan-pelan nanti jatuh” dan.. “wuussss” makin kencang gerakan kakiku. Ayah tertawa selagi mengawasiku dari tempat duduk kayu, sedangkan disusul Ibu yang sudah pasti gabung dengan teman-temannya.
Tiba-tiba aku berpikir, mengapa tubuh kecilku tidak bisa terbang layaknya burung-burung itu? Terbang tinggi menembus awan beramai-ramai dengan burung lainnya, melenggak-lenggok ke kanan dan ke kiri, lalu mendarat untuk sekedar melepas dahaga di pinggir danau. Ah seru sekali ya punya teman banyak!
Setelah menengadahkan kepalaku ke atas melihat sekelompok burung itu, aku menghampiri taman bunga di samping danau. Melihat cantiknya berbagai warna bunga dan sesekali menyentuhnya dengan jari telunjukku. Tak lama, kupu-kupu yang sangat indah datang menghampiri salah satu bunga. Aku tidak mau mengganggunya namun aku menunggunya. Melihat bagaimana kupu-kupu itu mendaratkan kaki-kaki lentiknya, mendekatkan kepala seakan ingin meminum sesuatu, mengepakkan sayapnya dan terbang kembali.
“Nak, sini ayo makan dulu sandwichnya” Teriakan Ibu menyadarkanku jikalau aku masih berdiri di depan taman bunga. Dengan segera aku berlari menghampiri Ibu yang sudah duduk di karpet selagi menyiapkan sandwich dan beberapa minuman, namun sebelum itu aku berlari sangat kencang dengan gelak tawa menghampiri Ayah yang jongkok dan membuka kedua tangannya seakan ingin menangkapku. “Hap!” langsung aku diangkat setinggi mungkin dengan kedua tangan kekar Ayah.
“Ayah aku bisa terbang!” teriakku Ayah dan Ibu menertawakanku dari bawah. Gelak tawa mereka seperti tidak percaya bahwa tubuhku bisa terbang. Padahal aku bisa, lihat!
Lain halnya dengan di dalam rumah, aku juga suka bermain sendiri dengan bonekaku. Ayah dan Ibu sering memberiku boneka dengan berbagai bentuk. Beruang berwarna cokelat, Panda berwarna hitam putih, boneka kartun Popeye, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai satu almari penuh dengan koleksi boneka-boneka itu. Tertata rapi mulai dari rak paling atas sampai rak paling bawah bersih tanpa debu berkat Ibu.
Tiap sudut rumah ini tidak luput menjadi tempatku bermain boneka. Kamar adalah tempat favoritku karena empuknya kasur membuatku dapat memantulkan tubuh dan boneka-boneka itu. Kamar kakak lebih tepatnya. Hawa yang dingin dan kasur yang luas, aku sangat menyukai tempat ini. Setelah bermain dengan beberapa boneka ini, aku menginjakkan kedua kakiku di kasur selagi memasang kuda-kuda yang kuat untuk melompat-lompat. Sewaktu tubuhku di atas, hatiku sangat senang yang dapat dilihat dari gelak tawaku.
Aku tau ada seseorang yang memerhatikanku dengan tatapan sinisnya. Ya, dia kakakku. Kakak laki-laki yang terpaut 15 tahun ini sangat membenciku ketika melompat-lompat di kasurnya dan boneka yang berserakan di dalam kamarnya. Kadang aku meledeknya dengan menjulurkan lidah. Tetapi dia tidak akan berani memarahiku karena tentu saja aku anak yang paling dimanja oleh Ayah dan Ibu. Tinggal berlari ke Ibu selagi menangis dan mengatakan “Ibu, kakak memarahiku”, pasti kakak sudah habis diomelin Ibu. Hahaha syukurin!
Entah mengapa dia tidak pernah mau ikut bermain boneka denganku. Padahal dia tau persis jalan cerita dari permainan boneka ini. Namun dia memilih berdiri di ujung pintu dengan tangan yang terlipat di dada selagi melirikku dengan muka sinisnya. Tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya mematung seperti itu.
Jangan salah sangka terlebih dahulu kepada kakak. Ketika aku tidak sengaja memecahkan akuarium bulat berisi ikan koi kecil-kecil itu, kakak ialah orang pertama yang berlari dari dalam rumah ke teras untuk menolongku. Dengan sigapnya aku digendong dan menyeka air mataku karena terkejut dengan jatuhnya akuarium itu. Dia juga yang meneteskan obat merah ke tangan kecilku yang sempat tergores sedikit akibat pecahan kaca akuarium. Selesai diobati, aku dibaringkan di kasurnya yang empuk itu.
Tentu setelah dibaringkannya di kasur, aku tidak bisa tertidur langsung. Sempat aku mendengar sayup-sayup suara dari luar kamar, “Ayu kenapa kak? Kamu menggodanya ya?” “Tidak bu. Ayu tadi sedang melihat ikan koi di teras depan” “Lalu mengapa sampai dia menangis dan tangannya mengeluarkan darah?” “Mungkin Ayu tidak sengaja mendorong akuarium ikan itu. Ibu tahu sendiri Ayu anak ceroboh sampai-sampai tidak ada yang mau berteman dengannya” “Bagus! Jaga perkataanmu, nanti dia sedih mendengarnya”
Ah jadi seperti itu. Aku mendengar pembicaraan Kakak dengan Ibu barusan dengan jelas. Benar adanya jikalau kakak membenciku. Perkataan Kakak benar adanya. Sering kali aku menjatuhkan suatu benda dan mengakibatkan benda tersebut rusak bahkan pecah. Namun lagi-lagi Ayah dan Ibu masih memanjakanku. Tidak peduli barang-barangnya rusak dan pecah, mereka tetap menyayangiku dan membelikan semua permintaanku.
Bagus, Si Kakak Misterius
Aku sangat sayang dengan adikku. Bagaimana tidak? Aku hanya mempunyai satu adik dan jarak usia di antara kita begitu jauh. Kadang kala ketika aku sedang mengajak jalan adikku banyak orang mengatakan kalau itu adalah anakku, bukan adikku. Padahal aku sudah mencoba untuk menjelaskan kalau aku dan adikku usianya terpaut jauh tetapi mereka pasti mengatakan.. “Ah, itu pasti anakmu. Jujur saja tak apa. Sabar ya, kau harus bekerja lebih giat lagi” Huft.. seperti itulah tanggapan mereka yang tak tahu cerita aslinya. Malas juga ingin menanggapinya. Biasanya aku akan membiarkan mereka yang sudah menganggapku seperti itu. Percuma, membuang tenaga dan pikiran.
Mungkin menurut orang lain, adikku anak yang lucu dan menggemaskan. Memang ayah dan Ibu suka sekali memakaikan baju-baju yang lucu. Tampak luar aku sepakat akan hal itu. Namun aku tahu kesehariannya seperti apa. Dia tidak lucu, dia gadis kecil yang aneh.
Di komplek rumahku tidak ada yang sekecil dia. Kebanyakan umurnya sebelas dua belas denganku. Maka dari itu, Ayah dan Ibu juga suka membelikan dia boneka. Agar dia tidak merasa bosan di rumah. Tapi menurutku ada hal yang tidak beres dengannya dan mungkin hanya aku di keluarga ini yang menyadarinya.
Sejak mengetahui dia tidak memiliki teman, justru aku tahu betul dia memiliki satu teman yang sangat setia. Kemanapun dia berada, bermain apapun itu di rumah dan di luar rumah, apapun yang sedang dilakukannya dia sedang ditemani. Aku juga menyadarinya ketika waktu itu mengajaknya jalan kaki mengitari komplek. Dia tidak pernah diam. Mengatakan hal apapun itu yang dia lihat seperti.. “Kamu jangan di tengah, sini di pinggir. Kalau jalan harus di pinggir ya!” “Ayo ikut aku dan Kakak jalan-jalan!” “Woah kamu hebat bisa terbang!”
Aku tidak mau menolehkan kepalaku. Aku tahu betul itu siapa dan bagaimana bentuknya. Dalam hati aku tidak ingin berkomunikasi dengannya karena aku tahu konsekuensi yang akan aku terima setelahnya. Lemas tak berdaya.
Tentu dulu aku pernah mengatakan hal ini kepada Ayah dan Ibu. Sangat disayangkan mereka menganggap remeh perkataanku dan melanjutkan kegiatannya. Ibu mengatakan bahwa hal itu wajar, tiap anak kecil mempunyai teman imajinasi dan Ayah menambahkan kalau Ayu terobsesi dengan burung yang bisa terbang. Maka dari itu Ayu sempat mengatakan dia hebat bisa terbang.
Lagi-lagi aku diam menanggapinya. Aku juga sudah menduga akan jawaban apa yang terjadi nanti jikalau aku tetep kekeuh mempertahankan argumentasiku. Entah mengapa mereka tidak percaya dengan setiap omongan atau argumentasi yang aku keluarkan.
Ya, aku memiliki kemampuan yang tidak semua orang memilikinya. Ah aku pikir ini pemberian Tuhan. Dengan pemikiran seperti itulah yang membuatku tidak takut akan hal-hal seperti itu. Orang lain akan menyebutnya hantu, namun aku lebih suka memanggilnya teman tak terlihat. Kadang mereka ingin menyampaikan suatu pesan, tetapi aku paling tidak suka kalau sampai menggangguku.
Karena aku sudah biasa menemui mereka entah itu di pinggir jalan atau di sebuah gedung, tentu aku sudah tidak merasa takut jikalau melihatnya. Tetapi ada satu yang aku paling tidak suka. Dia yang senang menemani adikku. Entah mengapa dia selalu lekat dengan Ayu, seperti tidak ada bosannya mengikuti dari ujung ke ujung.
Seperti sekarang ini, aku berdiri di pintu kamarku mengawasi Ayu. Bukannya aku tidak mau ikut bermain dengannya, bermain dengan Ayu sangatlah menyenangkan. Namun aku benci hal ini. Setiap Ayu mengeluarkan boneka-bonekanya dari almari di samping kasur dan meletakkannya di atas kasurku, secara otomatis dia duduk di samping Ayu dan menatapnya tajam seakan tidak mau kehilangan satu detik dari pergerakan Ayu.
Mungkin aku terlihat menatap sinis, tapi bukan menatap Ayu. Aku menatap dia. Takut akan hal yang tidak diinginkan terjadi, aku terus mengawasinya. Kadang kala dia ikut tersenyum ketika Ayu sedang tertawa. Waktu tangannya ingin menggapai Ayu, aku segera berlari dan menggendong Ayu untuk keluar dari kamarku. Ayu nampak kebingungan melihatku yang tiba-tiba menggendongnya, tetapi aku mengalihkannya untuk melihat ke awan yang ada burung-burung beterbangan.
Malamnya, tepat pukul 22.00 WIB aku mencoba untuk merebahkan badanku yang sudah lelah seharian menjaga Ayu. Tentu jika ingin tidur, lampu kamar dimatikan dan pintu ditutup. Hening yang membuatku tenang dan cara cepat membuatku terlelap. Setelah beberapa detik aku menutupkan kedua mataku, ada perasaan dimana aku sedang diawasi. Seharusnya pukul sekarang Ayah, Ibu maupun Ayu sudah tidur lelap, namun siapa yang mengawasiku selarut ini?
Ku mencoba mengingat kembali kegiatan sebelum aku merebahkan badanku di tempat tidur. Menutup jendela sudah, menutup pintu kamar sudah, mematikan lampu sudah. Tidak mungkin Ayu tiba-tiba masuk kamarku tanpa merengekkan namaku. Pun jikalau ada yang memasuki kamar, aku sudah mendengar decitan pintu kamarku terbuka.
Makin aku mencoba mengingat, sesuatu yang mengawasiku itu terasa mendekat. Rasa-rasanya aku tau aura ini siapa pemiliknya. Aku mencoba untuk menghiraukannya dan berganti posisi menghadap tembok. Semakin aku ingin melupakannya, semakin dekat makhluk ini. Ada sedikit rasa takut dalam benak diri ini.
Kata orang, derajat manusia di atas derajat makhluk itu. Jika kita memberanikan diri untuk menghadapinya maka dia yang akan mundur ketakutan. Perkataan itu yang ada di benakku sekarang. Mau tidak mau aku harus kembali di posisi tidur telentang dan akan membuka mata untuk menunjukkan keberanianku.
Oke, saatnya aku memberanikan diri. Aku membalikkan tubuhku ke posisi telentang dan membuka kelopak mataku perlahan.. Tepat saat mataku terbuka lebar aku melihat makhluk itu untuk pertama kalinya menatap tajam ke arahku. Membungkukkan badannya dari samping kasurku dan menyeringai.
“Bagus..” katanya.
Cerpen Karangan: Larasati
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com