“Hidup kok gini gini aja ya, kayak enggak ada perubahannya sama sekali.” Ucapan itu diarahkan Mutub ke Sahat, dengan tujuan Sahat benar-benar merubah semua gaya hidup minimalisnya ke arah para selebritut, yutuber dan semacamnya.
Tatapannya tajam, seakan tak terima, sangat tak terima akan apa yang sudah terjadi pada dirinya, Mutub hanya inginkan kehidupan mewah bak bak-an wc umum, dan sejenisnya.
Sedang Sahat tak menghendaki itu, dia hanya ingin orientasi hidupnya tak melulu dihabiskan dengan segala macam hal yang berbau sebatas pemuasan gaya hidup, kepameranisme, dan segala bentuk brandtut, juga keglamoran yang ada.
Tak mau, tak akan pernah mau, terima saran, mengikuti perkataan Sahat yang selalunya mengajak kepada kehidupan yang sederhana dan lebih mementingkan perbekalan menuju kehidupan setelah kematian nanti, tapi percuma, semua itu hanya dimentahkan oleh Mutub dengan segudang alasan yang enggak akan pernah habis selagi yang menyarankannya manusia, walaupun saran itu disebutkan sumbernya dari perkataanNya yang amat mulia.
Bebal, enggan, ogah, kepala batu, hati karang, iya hanya formalitas belaka untuk menghentikan pen-nyaranan dari orang-orang yang menyarankan terutama Sahat (suaminya).
Hari-hari Mutub dahulu ketika Sahat masih bersamanya, selalu dihabiskan dengan nonton-nonton akun artis, akun jalan-jalan, akun hura-hura, yang kegiatan itu sendiri menghabiskan investasi paling berharga yaitu “waktu”.
Setiap saran dan masukan dianggap memojokan, setiap halusnya perkataan yang mengajak kepada perubahan dianggapnya sebagai pem-bully-an.
Jadi, sebenarnya, siapa yang hidupnya gitu-gitu aja? Mutub … Atau … Sahat? Sahat aja, iya Sahat aja lah, jelas Sahat lah yang akan disalahkan, dikatain sok bijak enggak pada tempatnya, dikatain mencemarkan nama baik, diancam penjara dan semisalnya, jadi …
Muka tua buruk rupa, ternyata benar-benar menghasilkan perilaku yang serupa, meski di dunia ini ada orang-orang yang berparas bagus, baik, dan menawan tapi perilakunya sangat tercela, ya meski begitu, itu masih lebih mending, karena orang itu udah dapat paras bagusnya, lah ini udah enggak berparas malah perilakunya pun macam iblis, bahkan lebih-lebih, apa yang mau dibela dan dibanggakan dari orang-orang berkarakter seperti itu?
Sekelumit bayangan tentang suami dan anaknya kadang muncul begitu saja, seperti tak bisa hilang dari kepalanya, terukir abadi. Ingin melupakan tapi tetap lekat di benak.
Beberapa burung hantu itu masih memantau tidurnya Mutub. “Buuuuok!” Suara burung hantu memekik membelah malam yang pekat.
Tak ada berita yang datang, orangtua Mutub telah mencari ke mana-mana ternyata hasilnya sia-sia. Kedua orangtuanya sudah terlalu senja, Bapaknya berkata, “ke mana ya anak kita, kasihan ya dia diperlakukan seperti itu oleh suaminya, malah anaknya juga ikut-ikutan kayak gitu.” Ibunya memasang wajah setuju dengan perkataannya. “Kenapa juga ya kita dapat mantu kayak gitu, kerjanya enggak gesit, kerja di situ-situ aja, anak kita dipaksa taat, taat bagaimana dengan keadaan yang mengenaskan, coba liat dong anak kita yang kedua, ya kan Pak?” Ibunya Mutub menambah api kesalahan yang dipaksa balutkan dengan kebenaran.
Mencemaskan, mengenaskan, Sahat terpojokkan, dia dikira pemalas, tak gesit dalam mencari kerja, hanya penikmat satu pekerjaan, enggak kreatif, dan semisalnya. Muaklah Sahat, padahal, kebenaran itu memang begitu adanya, pahit, ya memang pahit, tapi meski pahit dia tetap kebenaran. Tak akan pernah diluluhlantahkan dengan alasan apa pun, enggak ada juga alasan darurat, selagi masih ada tempat tinggal, masih ada makanan yang bisa dimakan setiap hari.
Hanya saja ajaran orangtua Mutub sangat bobrok, hancur dan busuk. Pernah suatu waktu, tatkala itu Mutub ngambek lantaran lauk di rumahnya itu itu aja. Mutub diam saja tak mau bicara kayak orang gagu yang bego. Kedua orangtuanya malah saling pandang, dan malah merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi keinginan anaknya hari itu. “Pak, minta maaf gih ke Mutub. Kasihan dia, bilang aja, mau makan apa, biar kita beliin nanti.” Ibunya Mutub malah menyuruh suaminya sendiri untuk mengambil hati anaknya sendiri, yang padahal kalau dilihat dari sisi benar dan salah, anaknya itu, iya si Mutub itu salah besar! Sangat besar kesalahannya! Masa karena, hanya karena di rumahnya tak ada makanan yang diingininya langsung ngambek kayak babi anjing asu, kan enggak boleh, sebagai seorang anak harus tahu adab dan etika pada orangtua.
Jangan bisanya nuntut nuntut nuntut nuntut sampe orangtuanya mati! Kalau anak kayak gitu enaknya ditaro di lintasan kereta api, lalu diikat di sana dan dibiarkan dilanggar oleh kereta hingga tak tersisa sedikit pun dari bagian tubuhnya, sia-sia anak kayak gitu dipelihara, buang-buang duit, buang-buang waktu.
Di keluarga Sahat Jik ada salah seorang anak yang ngambek karena perihal dirinya sendiri atau pun karena orangtua yang belum atau tak mampu memenuhi keinginan anaknya, yang mana keinginan itu tak terlalu urgen, seperti hanya sekedar mau makanan yang tidak ada di rumah atau tidak disediakan kedua orangtuanya, itu remeh, basi, dan cengeng! Sampah! Bahkan lebih rendah dari sampah!
Di keluarga Sahat jika ada salah seorang anak yang ngambek ke orangtuanya, itu sangat sangat sangat gila dan amoral, kurang ajar sama orangtua. Enggak ada adab bego berpangkat. Jelas-jelas orangtua udah dari kecil, dari proses melahirkan sampai si anak bisa baca tulis, eh! Udah gede pake acara ngambek-ngambekan sama orangtua, apa enggak punya otak anak kayak gitu.
Dan yang enggak kalah begonya, kedua orangtua malah minta maaf atas kesalahan anaknya! “WTH” banget aseli! “Betapa nerakanya!” Punya anak kayak bajingan, kedua orangtuanya pun bego banget, malah minta maaf, jelas-jelas enggak boleh seorang anak bersifat kayak gitu.
Sayang anak sih sayang anak, tapi kalau caranya kayak gitu. Yang ada nanti ketika dia melakukan kesalahan di mana dia berada, dia tak akan pernah merasa bersalah, karena sejak kecil orangtuanya telah mengajarkan bahwa “kamu enggak pernah salah.”
Dan bego super begonya lagi. Ketika anaknya sudah berusia puluhan tahun, lalu melakukan kesalahan di suatu tempat, lantas orang yang berada di tempat itu memberi tahu, menegur, meluruskan kesalahannya, eh! Kedua orangtuanya malah ngebela lagi kesalahan anaknya, kebegoan yang bertumpuk hingga berusia dewasa menjelang tua pun si anak tetap merasa bahwa dirinya kebal! Bebas melakukan kesalahan, di sinilah awal mula Mutub berperangai keras kepala, kepala batu, juga keras hati!
Di keluarga Sahat anak-anak yang bertingkah seakan ngambek-ngambekan sama orangtua, lebih baik angkat kaki dan enggak usah lagi tinggal di rumah! Buat apa melihara sampah! Bukankah baiknya seekor sampah itu dibakar, hingga tak tersisa sama sekali!? Kalau pun dijadikan pupuk, pohon apa kira-kira yang cocok dipupuki sampah?
Bermula dari pendidikan yang salah, terutama kedua orangtua, hingga berimbas pada orang-orang sekitar, bukan hanya di zaman yang akan mendatang, tapi juga sekarang dan dalam waktu dekat, orang-orang sekitar akan mendapatkan efek buruk dari ke-tidak-bisaan seorang anak dalam mengakui kesalahan juga meminta maaf atasnya, serta upaya memperbaiki atas segala kesalahan yang telah diperbuatnya.
Dunia hari ini memang dibuat bego, jadi prosesi pem-begoan masal sedang marak terjadi di mana-mana dengan berbagai nama, berbagai topeng, berbagai alasan, yang intinya satu, hanya satu.
“Berusaha membenarkan yang salah!”
RTD. Sabtu 25 Desember 2021 halub© 22:05
Cerpen Karangan: Halub Blog: huzur_yskindir.blogspot.com Saya halub dari tangsel, salam kenal semuanya. Saya punya kutipan bagus nih, barangkali aja berguna bagi pembaca, khususnya saya pribadi. “Kalau bukan karena ilmu, manusia sudah seperti hewan. Meskipun kebanyakan dari manusia telah mengetahui ilmunya, tetapi ‘ngeyel’ lebih utama dalam realisasinya.”
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com