Aku gadis piatu yang hidup bersama Ayah dan Nenekku. Nenek yang begitu sayang dan begitu memanjakanku. Bahkan rela mati untukku. Sedangkan ayahku yang tak pernah memelukku bahkan mencium keningku saatku hendak terlelap. Sedari bayi aku haus akan kasih sayang seorang ibu. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Ya, itulah mungkin yang membuat ayah bersikap dingin padaku. Bahkan hingga aku dewasa seperti ini ayah tetap tak peduli padaku dan seringkali ayah marah tanpa sebab lalu mengacuhkanku sepanjang hari. Pada awalnya ini sangat menyakitkan. Bayangkan saja, kau serumah dengan orang yang mengacuhkanmu sejak lahir! Dan itu adalah ayahmu. Namun, lama-kelamaan itu sudah biasa. Mungkin aku sudah mati rasa.
Hari ini hari minggu, seperti biasa aku membantu nenek membersihkan seisi rumah. Malangnya tanpa sengaja aku memecahkan vas kesayangan ayah hingga membuatnya begitu marah padaku bahkan menghinaku dan membuatku terpukul. “Kamu ini apa-apaan? Itu vas kesayangan Ayah. Vas ini pemberian ibumu. Dasar anak pembawa sial!” Bentak ayah.
Aku hanya bisa menangis dan mengurung diri di kamar. Perkataan ayah bagai halilintar yang menyambarku. Kutatap cermin dan bertanya-tanya apakah aku seorang pembawa sial seperti yang dikatakan ayah? Buktinya aku adalah penyebab kematian ibu. Kata-kata itu selalu ada dalam fikiranku.
Tak lama kemudian teriakan nenek membuyarkan lamunanku. Aku pun meghampirinya. Nenek adalah alasanku tetap sanggup melewati hidup dan dinginnya sikap ayah. Beliau selalu memberiku semangat dan nasehat agar tak memasukkan kata-kata ayah dalam hati.
Keesokkan harinya setelah ayah memarahiku, ayah memutuskan pergi keluar kota. Mungkin beliau ingin menenangkan diri setelah benda kesayangannya kupecahkan atau mungkin memang tuntutan pekerjaan. Entahlah, yang terpenting bagiku adalah melihatnya bahagia itu sudah cukup. Aku selalu mendoakannya. Ia berpesan pada nenek akan ke luar kota selama beberapa minggu. Aku tak sengaja mendengarnya saat aku mencuci piring di dapur. Saat ayah berpamitan kepada nenek, aku sengaja tak menampakkan diri karena bagiku ada atau tidak adanya aku tetap saja ia mengacuhkanku. Terlebih karena kejadian kemarin malam.
Mobil ayah melaju dengan kencang dan aku hanya melambaikan tangan dari jendela meski ayak takkan melihatnya. Seperti biasanya saat ayah keluar kota yang lalu-lalu. Satu dua tetes air mataku berjatuhan. Kapan sikapmu berubah Ayah? Sampai kapan kau acuhkanku? Aku tak pernah mendapat kasih sayang ibu, apakah aku juga harus tak mendapat kasih sayangmu, Ayah?. Pertanyaan yang tak pernah terjawab hingga kini.
Sehari selepas kepergian ayah kemarin mulai menyibukkan diri dengan menulis beberapa cerpen. Aku mulai mengasah bakatku ini karena dorongan nenek. Nenek mengatakan bahwa bakatku ini menurun dari ibu. Oh Ibu, aku merindukanmu. Kapan aku bisa merasakan kasih sayangmu? Kapan? Kapan, Bu?
Aku mulai sering mengirimkan beberapa karyaku ke majalah sekolah, hingga aku memiliki banyak prestasi di bidang menulis. Dan itulah salah satu alasan yang membuatku menjadi lebih dekat dengan Kak Sena, Pimpinan Redaksi di majalah sekolahku. Kami menjadi semakin dekat. Banyak anak yang mengatakan bahwa ia menyimpan rasa padaku tapi aku bersikap biasa saja meskipun aku juga menyimpan rasa padanya. Mungkin ini cinta monyet. Tapi entahlah. Jalani saja toh aku tak pernah merasa dirugikan.
Akhir-akhir ini Kak Sena sering mengajakku untuk pulang bersama. Aku pun tak menolaknya. Hubungan kami semakin dekat. Bahkan aku sudah mengenalkannya pada nenek. Ternyata nenek juga menyukainya. Namun tidak dengan ayah. Aku tak mengenalkannya. Bukan karena ia yak sedang di rumah namun, mungkin percuma saja ayah tak akan menghiraukan.
Sore itu hujan turun dengan lebatnya. Seperti biasanya aku diantar pulang Kak Sena. Setiba di rumah Kak Sena langsung pulang karena ada urusan. Aku pun segera menuju kamar untuk mengganti baju. Aku menatap diriku pada cermin. Kubandingkan wajahku dengan foto ibu. Mirip. Bahkan mirip sekali. Nenek mengatakan bahwa ibu adalah wanita yang baik. Ibu adalah wanita yang lemah lembut dan sangat menyayangi ayah. Begitu pula ayah yang sangat menyayanginya. Hal itu terbukti dengan ayah yang tidak berusaha menikah lagi dengan wanit lain. Pantas saja ayah membenciku. Aku yang menyebabkan ia kehilangan orang yang ia sayangi. Pikirku.
Tak lama kemudian imajinasiku menghilang karena telepon rumah berdering. Mungkin itu ayah. Dan itu benar. Samar-samar kudengar ia meminta nenek agar menjemputnya sekarang juga di suatu jalan karena mobilnya mogok karena suatu hal. Tanpa basa-basi pun aku bertanya pada nenek dan mengambil jas hujan lalu menuju lokasi ayah saat ini. Awalnya nenek melarangku karena hujan lebat sekali dan aku pun belum makan siang. Namun, aku nekat saja karena aku khawatir sekali. Walaupun memang kurasakan perutku yang begitu lapar. Tapi tak apalah. Ini demi ayah! lagi pula nenek juga sedang sakit.
Akupun mengambil motorku dan segera bergegas menuju tempat yang dimaksud ayah. Dari kejauhan aku sudah bisa mengenali mobil ayah, aku langsung menghampiri ayah dan bertanya bagaimana keadaannya. Ayah seperti agak canggung, terlukis dari sorot mata dan raut wajahnya. Aku pun menawari untuk menungguinya namun, kata ayah beberapa orang suruhan ayah akan datang untuk membawa mobilnya ke bengkel. Tak lama kemudian mereka datang. Kami pun pulang. Sepanjang perjalanan, kami seperti dua orang yang tak saling kenal. Canggung. Sangat sangat canggung.meskipun begitu, aku sangat senang sekali karena aku dapat sedikit membantunya.
Setibanya kami di rumah, kumelihat nenek yang telah menunggu kami sambil membawa handuk. Kemudian kami mengambilnya dan bergegas mandi. Setelah mandi aku merasa badanku demam dan aku menggigil. Aku pun mencoba untuk tidur. Kurasakan ada sesuatu yang bergetar. Dan itu ternyata ponselku. Kucoba meraih ponsel yang ada di sebelahku. Ada satu pesan baru. Tertulis nama sang pengirim. Kak Sena. Kubuka pesan itu dengan senang. Ternyata pesan itu berisi ajakan makan sore pada tanggal 26 april di salah satu rumah makan di daerahku. Sontak aku kaget kesal karena hari tersebut adalah hari dimana genap 17 tahun usiaku. Dan itu berarti 2 hari lagi. Namun, badanku terasa lemas sekali sehingga belum sempat aku membalasnya aku sudah tertidur.
Terdengar samar-samar ayah menghampiriku lalu mencium keningku dan bicara panjang lebar padaku tentang ibu dan beberapa hal yang tak bisa kudengar dengan jelas. Tapi aku tak begitu yakin. Apakah mungkin? Badanku terus menggigil, sepertinya penyakitku kambuh. Aku memiliki Penyakit Asma, semacam penyakit keturunan dari keluarga ibuku.
Tak lama kemudian aku mendengar teriakan ayah yang tak begitu jelas. Terlihat samar-samar wajah nenek yang panik dan menangis sementara ayah sibuk menelepon seseorang dalam keadaan panik. Mungkin dokter. Itu karena ayah menyebut kata obat dan asma beberapa kali. Aku ingin membuka mataku namun, semakin kucoba membukanya nafasku semakin tersengal-sengal. Aku seperti tercekik, seluruh badanku seperti terangkat dan kulihat bayangan ibu seraya hendak memelukku kemudian menghilang perlahan. Nafasku semakin menciut, badanku semakin memucat.
Aku semakin tak kuat menghirup. Air mata nenek bertambah deras. Kutahu dengan banyaknya air yang menetes pada kulitku. Kurasakan ayah mencoba memelukku dan menggendongku, ia mencium keningku dan memintaku untuk bertahan. Ia juga meminta maaf dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku. Bahagianya aku. Selama 17 tahun inilah kado terindah yang selama ini kunanti. Walaupun dengan keadaan seperti ini aku merasa senang.
Lambat laun aku mulai melemas. Sangat-sangat lemas. Aku mulai tak bisa merasakan apapun. Yang kuingat hanya tangisan nenek dan pelukan ayahku yang begitu menenangkan. Serta ajakan Kak Sena yang tak bisa kuterima meskipun kusangat ingin.
Cerpen Karangan: Zola Agtan Glacissia Blog: zolaagtanglacissia.blogspot.com Zola Agtan Glacissia 21 tahun, Mahasiswi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com