“Nduk, masuk.. sudah sore, hampir gelap, nanti kamu sakit..” Suara Bapak membangunkan lamunanku. Entah kemana pikirku mengawang-awang. Kulirik jam dinding, sudah pukul 6 sore. Suara adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Aku bergegas masuk dan menutup jendela. Kuikuti Langkah bapak ke meja dapur, sudah tersedia masakan sederhana. Ikan asin, sambal cabe, dan daun ubi tumbuk kesukaanku, dan sepanci nasi putih hangat.
“Bapak yang masak?” “Ia nduk, kamu tadi ketiduran, Bapak ga tega banguninnya..” “maaf Pak, Ning tadi sakit kepala, jadi pengen tidur sebentar, lah kok yaa keterusan…” “ndak apa apa, nduk…”
Bapak makan dengan lahap, aku menatap wajah Bapak sejenak. Guratan letih terpancar di wajahnya, urat tangan Bapak membekas keluar. Warna kulit sudah berubah hitam, bukan lagi sawo matang.
“Kenapa ngelihatin Bapak, nduk? Makan…” Aku mengalihkan pandang dan menyantap makan malamku. Nikmat sekali, masakan Bapak memang selalu nikmat.
“Nduk, kamu mau kuliah kemana?” Bapak Kembali memecah keheningan. Aku mengangkat kepala. Mataku beradu dengan mata sendu milik Bapak. “Ning ga usah kuliah dulu, Pak.. ndak apa-apa…” “Loh, kenapa engga kuliah toh nduk? Bapak masih sanggup biayain kamu kuliah..” “Ning ga bisa jauh-jauh dari Bapak..” Aku tersenyum manis ke arah Bapak. “Halah, kamu bisa aja, Nduk…” Bapak tertawa kecil.
Aku dan Bapak meneruskan makan. Sekalipun letih, wajah Bapak tetap berseri-seri. Tentang kuliah yang baru saja Bapak bicarakan, aku bukannya tidak ingin kuliah seperti teman-temanku, hanya aku terlalu kasihan dengan Bapak, biarlah kukubur dulu semua cita-cita dan mimpiku itu. Kuberi Bapak waktu istrahat sebentar. Sejak aku lahir, Bapak selalu siap sedia untukku. Betapa hebatnya…
Ningsih Putri Rengganis. Nama yang disematkan Bapak padaku 18 tahun silam, tepat di tanggal 2 Agustus, aku, si bayi perempuan cantik ini lahir, dirayakan dengan airmata sedih dan Bahagia oleh Bapak dan seluruh keluarga besar. Dua hari setelah tanggal itu, Bapak menimang aku disamping pusara Ibu, yang bahkan wajahnya tak sempat kukenali. Ibu mengenalkan aku pada dunia. Sayang sekali, Ibu tak turut mendampingiku berjuang menghadapi dunia. Sejak itu, aku hanya punya Bapak. Ning dan Bapak.., berdua saja.
“Pak, Ning dapat beasiswa..” “Alhamdulilah, Nduk…” Bapak merangkulku dengan erat bahkan sebelum kata-kataku selesai. Berawal dari iseng, aku coba mengikuti pendaftaran kuliah ke Universitas Indonesia melalui jalur beasiswa. Tidak mustahil sebenarnya, mengingat aku yang begitu tekun di bangku sekolah sejak Sekolah Dasar. Kalau kata Bapak, aku ikut otak kecil ibuku, pintar.
“Pak,… kuliahnya ke Jakarta, Pak…” Bapak melepas pelukannya. Nampak terkejut dan sedih diwaktu bersamaan. Aku sudah menduganya, bahkan aku pun begitu sedih sekali… bagaimana aku harus meninggalkan Bapak disini? Sendirian? “Ya ndak apa-apa toh nduk, bagus itu. Kamu nanti kuliah di Ibukota, kamu pasti jadi orang sukses, nduk…” Bapak menyembunyikan sedihnya secepatnya. Mataku mulai berkaca-kaca. “Ndak apa-apa nduk, Bapak ndak apa-apa disini. Kamu harus kuliah ya Nduk, Doakan Bapak tetap kuat dan sehat, biar bisa sama kamu terus sampe kamu nanti punya suami dan punya anak… ya nduk ya?” Pecah sudah tangisku. Aku memeluk Bapak dengan erat. Aku terisak-isak. Bapak menepuk pundakku pelan. Aku tahu Bapak menyembunyikan sedihnya juga, namun Bahagiaku selalu jadi alasan nomor satu untuk Bapak.
Pernah sekali aku bertanya, “Bapak kenapa ga nikah lagi aja toh? Ning ndak papa kalau punya ibu tiri, Pak.. yang penting ada yang jagain Bapak kalau Ning udah gede nanti…” “Ndak usah nduk, Bapak bisa sendiri kok. Kan Bapak punya kamu, nduk…” Lalu aku dan Bapak akan pergi ke pasar, belanja keperluan rumah, aku beberes rumah, dan Bapak mencuci baju. “Lihat, nduk.. Bapak sama kamu bisa ngerjain semua kerjaan ini loh…” Medoknya Bapak selalu khas di telingaku, dan akan selalu aku rindukan kelak.
Kembali aku memeluk Bapak dengan erat di Pelabuhan sore itu. Aku menangis dengan keras. Hatiku sedih sekali. “Nduk, hati-hati ya, ingat pesan bapak, tetap baik dan rajin ibadah. Rajin nelpon Bapak ya nduk,.. Bapak selalu berdoa buat kamu, nduk…” Bapak mengelus lembut kepalaku. Airmataku membasahi jaket hitam Bapak.
“Udah, nduk… jangan sedih. Kamu kuliah yang bener, biar cepet pulang dan nemenin Bapak lagi disini…” Aku belum bisa menjawab Bapak. Suaraku yang keluar hanya hanyalah suara tangisan. Untuk sejenak, kilasan-kilasan tempat dan kegiatan yang kulakukan berdua dengan Bapak berebutan masuk ke otak kecilku. Memaksaku memejamkan mata dan menangis lagi dengan hebat. Kepalaku mulai sakit. Aku menarik napas.
“Pak, Ning berangkat yaa…” Kucium pipi Bapak dan melangkah masuk ke dalam kapal. Kulambaikan tangan melalui jendela kecil disebelah kiriku. Kulihat wajah Bapak dengan baik, Bapak membalas lambaianku dan tersenyum. Teduh sekali.
Desember. Bulan terakhir di penghujung Tahun. Dihiasi banyak bintang dan pernak-pernik, Desember selalu menjadi bulan kesukaanku. Ini Desember ketigaku di Ibukota. Sejak lambaian tanganku sore itu, aku belum pernah sekalipun pulang dan berkunjung untuk menemui Bapak. Bukan sombong atau tak sempat, keadaan ekonomi yang mengharuskanku begini. Kemarin aku masih bertelepon dengan Bapak. Wajah Bapak semakin menua dengan guratan keletihan yang selalu berusaha Bapak sembunyikan dariku.
“Pak, Ning ndak pulang ya Pak,…” ucapku pelan pada Bapak di Ujung telpon. “Ia nduk, ndak apa-apa…” Kemudian Bapak bercerita tentang bunga mawar putihnya yang mulai bermekaran, juga tentang padi yang mulai menguning dan siap dipanen, tidak lupa tentang Shadow, anjing peliharaan Bapak sejak aku berangkat sore itu. Cerita Bapak selalu berhasil membuatku rindu pulang. Rindu masakan Bapak, rindu medoknya Bapak, rindu memanjat pohon kuini disamping rumah dan berakhir dengan diomeli Bapak. Ahhhh, rindu sekali rasanya.
“Nduk…” Bapak tak menyelesaikan kalimatnya. “Nggeh, Pak? Ada apa?” Hening sejenak. Aneh, tak biasanya Bapak bergini. Kutelisik wajah Bapak baik-baik, tampak ada yang Bapak sembunyikan dariku. Tapi apa? Aku penasaran sekali.
“Pak, ada apa toh?” “Ndak apa-apa, Nduk, ndak apa-apa. Bapak cuman seneng manggil kamu aja.. Kamu sehat-sehat ya nduk…, Bapak lanjut kerja dulu ya…” Bapak memutuskan percakapan kami tanpa menunggu jawabanku. Hati dan pikiranku terus menerka-nerka. Kuabaikan pikirian buruk, ‘ah, Bapak pasti baik-baik saja’ batinku dalam hati, mencoba meyakinkan hatiku sendiri.
Kemudian aku tak pernah lupa, hari terakhir di bulan itu, bulan Desember yang begitu kucintai, akhir tahun yang menyenangkan bagi banyak orang, yang dipenuhi kembang api dan pohon Natal, dengan segala tawa dan senyum manusia didalamnya, tepat di hari itu, ya, tanggal tigapuluh satu, benar-benar di penghujung tahun, aku mendapat kabar buruk yang membuat Desemberku hancur tak bersisa.
“Ning, kamu lekas pulang ya, Bapakmu di IGD, Ning,..” Satu pesan singkat dari Teh Rina, tetangga sebelah rumahku, yang memberiku ber ton-ton tenaga lebih dari yang biasanya. Aku bergegas secepatnya, menyusun bajuku seadanya di tas koper kecilku, meminjam uang pada teman satu kontrakanku, dan berlari-lari mengejar bus menuju Pelabuhan. Tidak bisa ke Bandara, kampungku terlalu kecil untuk tempat parkir pesawat yang mirip burung raksasa itu.
“Ning…” Kedatanganku disambut isak tangis dan huru-hara. Tak sempat kukenali semua orang yang menyambutku. Hanya, disana ada Teh Rina, yang langsung memelukku erat.
“Bapak mana, Teh?” Teh Rina tak menjawabku. Tangisnya semakin menjadi. Perasaanku berubah kusut, tak enak. Aku melepaskan pelukan Teh Rina dan berjalan pelan menuju kamar tempat Bapak dirawat.
“Pak, Ning datang…” Bapak diam, tak bergerak, tak bernafas. Tunggu, apa yang baru saja kukatakan? Bapak tak bernafas? Ndak mungkin.
“Pak, Ning datang…” Aku menyapa untuk kali yang kedua. Sama. Bapak tak bereaksi apa-apa. Kutangkup wajah Bapak dengan kedua tangan kecilku. Bapak masih diam, tak bergerak. Aku mulai mengerti apa yang terjadi, sedetik…, dua detik…, tiga detik… Airmataku jatuh tanpa bisa kutahan. Badanku berguncang sehebat-hebatnya, kuteriakkan nama Bapak sekuatku, kuguncangkan tubuh Bapak semampuku. Tetap, Bapak diam tak meresponku.
Penghujung tahunku sendu. Bersama kepergian Bapak hari itu, setengah jiwaku juga lenyap.
Desember. Bulan yang tak pernah ingin kuulang setiap tahunnya. Bulan yang memberiku hadiah perpisahan sesakitnya. Bahkan kini, di Desember ke empat kalinya setelah kepergian Bapak, Desember belum bisa memberiku kabar Bahagia. Desemberku masih kelabu, masih abu-abu, masih sepenuhnya hujan. Dan bodohnya aku, aku masih setia berdiri dibawah hujannya, tanpa berpayung, tanpa berteduh, membiarkan diriku basah, membiarkan dinginnya membekukan, membiarkan setengah kakiku tenggelam. Dipusaran hujan Desemberku yang tak berhenti, aku berdarah tanpa ampun, aku sakit, aku mengigil, hingga kudapati aku mati. Sempurna.
Desemberku selesai.
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG: @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com