Suara jangkrik dan hembusan angin kini mendominasi pendengaranku, dingin! Hawa dingin serasa menusuk-nusuk lapisan kulitku. Tubuhku hanya terbalut kaos polos serta celana trening yang aku gunakan.
Aku terus menyusuri trotoar jalan yang sepi. Aku, tidak melihat satu orangpun yang lewat sekitar sini. Masyarakat sekitar mengganggapnya tempat rawan, namun aku tetap melewatinya, jika bisa memilih aku akan lewat jalan lain walaupun harus menghabiskan waktu yang cukup panjang, namun tidak dengan jalan ini. Gang ini memang satu-satunya jalan yang harus aku lewati supaya sampai ke toko obat.
Aku terus berjalan, mataku sekilas menatap bayangan orang bertubuh tinggi dibalik asap sana, sungguh aku takut, suasana ini membuatku ingin mundur dan pergi saja. Namun, aku teringat akan ibuku, dia sedang sakit keras. Aku harus membelikan obat untuknya.
Kini aku mulai memfokuskan penglihatanku, retinaku menangkap jelas sosok lelaki dibalik asap itu. Aku memandangnya sekilas, ternyata dia bukan penjahat atau begal. Dari penampilannya, aku bisa menilai dia orang baik.
Netra kita sempat bertemu sekilas, aku langsung membuang pandangan ke arah lain. Tatapannya sungguh meneduhkan, aku memberanikan mengangkat suara, “Permisi kak,” Dia masih menatapku lalu tersenyum kecil.
—
“Bu, ini obatnya. Aku taruh di atas meja yah Bu,” ungkapku lirih, tidak ada respon apapun yang ibu tunjukkan, aku memandang sekilas wajahnya, terlihat sangat jelas lekungan hitam di matanya. Tanpa sadar, aku menyentuh pipi halusnya dan mengecup keningnya singkat.
Wanita paruh baya di depanku, masih terlihat sangat cantik. Wajahnya yang anggun membuatnya terlihat lebih muda dari orang-orang seumurannya. Ibuku bernama Vellia, nama yang sangat indah bukan? Sama seperti rupanya. Banyak orang menyebut ibuku sebagai sosok bidadari yang tersesat di bumi, hehe ada-ada saja.
Aku tersentak kaget saat beliau membuka matanya, dia langsung mendorong tubuhku hingga tersungkur ke lantai, “Jangan dekat-dekat saya, anak sialan!” omelnya keras, dia sangat membenciku bahkan dia pernah mencoba menghabisiku namun gagal. Alasannya hanya satu, ayah meninggal karena menyelamatkan nyawaku, kejadian 15 tahun silam masih tergambar jelas di pikiran ibuku, dia sangat sulit untuk melupakan.
Perlahan air mataku mulai turun, aku tidak sanggup melihat tingkah ibu yang selalu memarahiku, aku selalu salah di matanya. “Maaf, Bu. Tania hanya membelikan ibu obat, supaya cepat membaik.” ujarku lirih, dadaku masih bergerak naik turun, nafasku tidak teratur menahan isak tangis.
“Cepat pergi! Atau gelas ini saya layangkan ke muka kamu!” ancamnya lagi, aku menggeleng kecil. Walau bagaimanapun, aku harus menyaksikan ibu meminum obatnya supaya lekas membaik. Dia sangat kelelahan akibat banting tulang untuk menghidupi keluarganya.
“Dasar anak pembangkang!” Tanpa jeda waktu, serpihan gelas kaca sudah berhamburan di depanku, aku mencoba menghindar, namun pipiku tersayat kecil. Aku merintis kesakitan dan mencoba membersihkan serpihan gelas itu. “Sekali lagi maaf Bu, Tania izin pamit dulu. Ibu jangan lupa minum obatnya,” ujarku sambil membawa serpihan gelas itu.
Namaku Tania Syailendra, nama Syailendra adalah nama turun temurun yang diberikan oleh keluarga ayah. Aku anak tunggal dari pasangan Vellia dan Wisnu. Ya, mereka adalah ibu dan Ayahku, usiaku sekarang menginjak 17 tahun. Aku menempuh pendidikan SMA, dan bekerja part time di sebuah cafe.
Ayahku seorang pilot, sedangkan ibuku seorang manajer di salah satu perusahaan fashion. Hidupku sudah berkecukupan, ibu selalu memberiku jatah uang jajan, bahkan keperluan lainnya. Tapi, aku tidak membutuhkan semua itu, aku hanya menginginkan ibu kembali seperti dulu, seperti ibu yang aku kenal.
Hari ini, hari pertama aku kembali bersekolah, setelah liburan. Aku menempuh tahun ajaran baru, menduduki kelas 12. Jika kalian bertanya bagaimana sifatku? Aku akan menjawabnya introvert. Memang benar, aku sangat membenci keramaian, aku selalu menyendiri, hanya buku dan Tiffa yang menemaniku sampai saat ini.
Tiffa, salah satu sahabatku yang berteman semenjak masa biru putih, dia mengetahui semua seluk-beluk tentang aku, dan keluargaku. Hanya dia yang bisa mengerti, dan menenangkan pikiranku.
Hari ini, aku bercerita kepadanya tentang kejadian semalam, dia terkejut dan mengulas singkat pipi yang aku tutupi menggunakan perban dan plester. “Yang sabar, Tan. Ibu kamu pasti bakal kembali kaya dulu kok,” terangnya. Aku merasa lega dan segera menghamburkan peluk kepadanya.
Bel sekolah kini terdengar nyaring, banyak siswa berhamburan untuk memasuki kelasnya masing-masing, aku dan Tiffa memang beda jurusan. Aku masuk MIPA sedangkan dua masuk IPS.
Aku tergolong siswa berprestasi, aku dimasukkan ke dalam kelas unggulan. Sesampainya di kelas, pandanganku menyapu seluruh isi kelas, tidak ada bangku kosong! Naas nasibku tidak baik sekarang, kenapa aku menghabiskan waktu untuk bercerita dibanding meraih tempat duduk lebih awal? Ah sial, aku menepuk pelan jidatku.
“Aw sakit,” rintihku kecil, tanpa sengaja pandanganku menemukan sosok pria yang aku temui semalam, dia melambaikan tangan dan memintaku duduk bersamanya. Aku mendekatinya, dia mempersilakan kursi disampingnya untuk ditempati olehku. Aku terdiam sejenak, lalu mengulas senyum singkat. ‘semoga dia orang baik’ ucapku dalam hati.
Bel pulang kini terdengar sangat nyaring di telingaku, seperti biasa aku menyaksikan banyak siswa berhamburan keluar. Aku menunggu sampai keadaan sekolah benar-benar sepi.
Fazran Fahreza, cowok yang duduk bersamaku. Nama yang bagus, seperti rupanya. Aku juga gadis normal yang bisa tertarik kepada lawan jenis, dia terlihat pendiam bahkan sangat pendiam. Tapi, aku belum bisa menebaknya langsung, dia pendiem atau memang dingin. Seharian tadi, dia hanya menyungging senyum kecil. Aku mengetahui namanya saat melihat Nick yang ia kenakan di baju.
Aku berlari secepat mungkin, saat mendengar suara barang dibanting dari depan rumah. Benar saja, ibuku sedang mengamuk dan membanting alat-alat rumah tangga, bahkan beliau membanting bingkai foto keluarga, dimana ada ayah, ibu, dan aku kecil. Sungguh miris melihat keadaan ibu sekarang, dia sangat mencintai ayah begitupun sebaliknya. Namun, takdir memisahkan mereka berdua. Ibuku mengalam depresi berat, penyakitnya bisa kambuh kapan saja.
Pertahananku mulai runtuh kembali, aku tidak sanggup menahan air mata. Aku mendekati ibu, tidak mempedulikan konsekuensi yang aku terima nantinya. Mata ibuku terlihat sebab dan merah, tentu saja beliau sedang menangis, bahkan berteriak histeris menyebut ayahku.
Prang… Aku lagi lagi tersentak, baru saja ibu membanting vas bunga, dan mengarahkan pecahan itu ke hadapanku. Aku mencoba menghindar, dan berlari secepat mungkin. Namun, pergelangan tanganku sudah dikuasai oleh ibu, aku berteriak histeris, berusaha meminta tolong. “Jangan Bu, aku Tania! Anak ibu! Jangan sakiti aku,” pintaku. Namun ibu tidak menghiraukanku, detik berikutnya aku melihat banyak darah bercucuran dari pergelangan tanganku, aku terkulai lemas dan jatuh ke lantai.
Aku mengerjapkan mata berulang kali, mencoba memfokuskan pandangan. Masih terlihat samar tentang ruangan ini, ruangan yang didominasi warna putih dan berbau ciri khas, aku sudah menebaknya tempat ini adalah rumah sakit.
Retinaku, kini mulai fokus. Dan betapa terkejutnya aku, saat melihat ibu tertidur di ranjangku. Ini mimpi? Aku mencoba menyubit pipiku pelan, “Aww sakit.” erangku kecil, ini bukan mimpi! Tanpa sadar, pergerakanku membuat ibu terbangun. Dia menatapku sendu dan iba, aku mencoba mencari sebuah kebencian dipandangnya, namun hasilnya nihil. Apakah ibu, sudah memaafkanku? Aku bersorak ria dalam hati.
Ibu, mengulas dan mengecup kepalaku lama. Aku senang sekaligus kaget apa yang ibu lakukan terhadapku. “Maafkan Ibu, nak,” ucapnya singkat. Apa? Aku tidak salah dengar kan? Dia menyebut dirinya sebagai ibu, aku merasa sangat senang. Lagi-lagi aku menggeleng singkat, “Ibu engga salah, Tania yang jadi sumber masalah dalam kehidupan ibu sama Ayah. Andai dulu Tania ngga minta ayah buat jalan, pasti kejadiannya tidak seperti ini,” ucapku.
Jari telunjuk ibu, menyentuh bibirku. Dia mengisyaratkan agar aku berhenti bicara, detik berikutnya dia menghambur pelukan kepadaku, bahkan dia mendekapku lebih erat, aku bahagia sekali. Ternyata, ini pelukan ternyaman yang ibu berikan kepadaku.
Setelah melewati masa rawat inap, aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Tanganku sudah kembali normal dan bisa beraktifitas seperti biasanya, aku sangat senang kini kehidupanku mulai kembali normal. Ibu, yang sangat menyayangiku, bahkan selalu memperhatikanku.
Baru beberapa langkah, kedatanganku disambut oleh pesta petasan kecil. Aku melihat Tiffa bersama sosok lelaki yang menggunakan hoddie, sebentar! Aku mulai meneliti sosok di depanku, dia? Fazran? Aku kembali melekatkan pandangan, ternyata benar, dia Fazran.
Beberapa Minggu kemudian, aku dan Fazran mulai dekat. Ternyata dia sudah mengenalku sejak lama, dia juga yang memberitahu ibu tentang kejadian yang aku alami selama ini. Fazran, sekaligus sosok misterius yang selalu mengirimku pesan. Dia mengerti segala aktifitas dan masalah yang sedang aku hadapi.
“Aku selama ini mengagumimu, hanya saja nyaliku sangat kecil untuk mendekatimu,” ungkap Fazran singkat. Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Fazran. Detik berikutnya dia meraih pergelangan tanganku dan berjongkok di hadapanku.
“Tania, kamu mau jadi pacarku?” ucapnya lantang, aku terharu mendengar ucapannya. Tanpa menunggu lama, aku mengangguk singkat dan menerima bunga yang Fazran berikan.
“Di dunia ini hanya 3 cinta yang aku miliki, tuhan, keluarga, dan kamu.” ucapnya lagi.
Inilah kisahku, si anak malang yang dibenci ibunya sendiri. Tapi aku tau, skenario tuhan lebih mengejutkan ketimbang pemikiran manusia, tuhan bisa membolak-balikan pikiran dan hati manusia. Aku sosok gadis yang berfikir bahwa hidupku akan selamanya sad, namun skenario yang tuhan berikan sungguh menakjubkan. Terimakasih tuhan, maafkan umatmu jika selama ini mengeluh dan terus mengeluh.
Cerpen Karangan: Yolanda Tania Blog / Facebook: Yolanda Tania Halo, saya Yolanda Tania. Akrab disapa Yolan, saat ini aku sedang menempuh pendidikan di UPB. Salam kenal ya, terima kasih.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com