“Pak aku takut” kataku sambil meraba-raba dinding untuk duduk di samping bapak di atas kursi panjang di samping jendela ruang tamu beralas rumah panggung. “Sini-sini” jawab bapak lalu tertawa seakan meledek sambil membuka jendela berharap cahaya bulan yang terang di luar masuk menerang ruang tamu yang tidak berhias itu.
“Pak kenapa lampunya mati?” “Mungkin minyaknya sudah habis” jawab bapak singkat. Aku terdiam mendengar hal itu tidak ada lagi sisa minyak tanah yang bisa kami gunakan itu minyak terakhir yang aku isi tadi sore kedalam lentera yang dibuat bapak dari bekas kaleng susu yang diambilnya dari tempat sampah dua minggu yang lalu.
Di kampung ini hanya ada beberapa orang saja yang mengunakan lampu bertenaga gengset dan kami dengan ekonomi yang pas-pasan malah seringkali kurang tidak mungkin bisa mengunakan lampu gengset seperti beberapa tetangga kami, tempat ini jauh dari dari permukiman warga desa, mendaki gunung berjam-jam lamanya, menyeberangi beberapa anak sungai, menuruni lembah yang bahkan bisa merengut.
“Kampung ini sudah menjadi tempatku untuk pulang tidak ada tempat pulang selain ini” kata bapak saat aku bertanya kenapa kami tidak pergi dan meninggalkan kampung ini saat aku melihat beberapa teman-teman mulai pindah ke kota.
Bapak adalah seorang petani cabe tradisional yang sistemnya masih berpinda-pindah untuk bercocok tanam, aku tidak bisa membayangkan bapak yang bekerja sepanjang hari membuka lahan baru untuk menam cabe, menebang pohon besar yang bahkan jauh sudah ada sebelum aku lahir serta naik turun gunung setiap harinya untuk mengantar hasil panen cabe kepada pemborong di kaki gunung.
Bapak adalah seorang pendatang di kampung ini saat masih seusiaku, bersama teman-temannya yang bertemu di tanah perantauan, bapak adalah asli orang jawa dan ibuku asli anak kampung ini, dua puluh tahun yang lalu bapak menikah dengan ibuku dan memulai hidup menjadi seorang petani cabe, kata bapak kampung ini dulunya sangat ramai dan kehidupan terjamin jika tinggal di kampung ini akan tetapi insiden sepuluh tahun yang lalu yang bahkan merengut nyawa ibuku mati karena dilempar ke jurang sehingga banyak orang kampung yang dulunya menetap disini satu persatu mulai meninggalkan kampung ini karena terlalu khawatir dengan ancaman warga desa yang ingin menguasai lahan pertanian orang kampung, memang lahan pertanian di kampung kami tidak ada bukti kepemilikan sehingga penduduk asli warga desa dengan mudah mengaku-ngaku bahwa lahan pertanian milik orang kampung adalah lahan mereka.
“Bapak ini sorang petani cabe setidaknya anak bapak ini menjadi pedadang cabe kalo tidak bisa jadi pegawai” kata bapak saat pertama kali membujuk aku untuk berangkat ke pulau jawa Tapi tidak jarang juga aku menolak permintaan bapak, aku sangat khawatir dengan bapak apabila tiba-tiba saja warga desa datang kembali memaksa bapak untuk menyerahkan lahan pertaniannya dan belum lagi bapak yang semakin lama semakin menua mana bisa aku membiarkannya bekerja sendirian sepanjang hari di ladang yang berkila-kilo jauhnya dari rumah aku merasa sebagai anak sulung mempunyai tanggung jawab untuk membantu menggemban beban bapak.
“Pugk…!” bapak menampar aku karena aku bolos sekolah malah aku diam-diam mengikuti bapak ke ladang aku kira bapak akan senang jika aku membantunya membersihkan ladang kami dan mengantar hasil panen cabe kepada pemborong di kaki gunung. “Jika bukan kerena ibumu bapak sudah lama meninggalkan kampung ini” kata bapak setelah selesai memarahi aku. Aku berkata dalam hatiku ibu sudah lama meninggal apa hubungannya dengan itu?
“Kamu harus sadar nak…! di tempat ini cita-citamu mustahil akan terwujud jika kamu tidak ikut kata bapak jadi tolong dengarkan bapak kamu kamu ke jawa ya nak sekolah disana seperti kedua adikmu” kembali lagi bapak memintaku untuk pergi ke pulau jawa.
Aku berpikir laki-laki tua ini tidak mengerti perasaanku aku tidak tega meninggalkannya di tempat terpencil seperti ini aku terlalu takut jika dia mati tidak karuan di gunung ini karena kehabisan nafas untuk mendaki gunung atau di gubuk kecil tempat kami membaringkan badan untuk melepas kelelahan setelah bekerja seharian, tanpa ada saudara atau anak yang melihatnya atau mencarinya jika hal itu terjadi.
“Bapak harus ikut bersama aku ke jawa kalo bapak terus memaksaku untuk berangkat dan sekolah di jawa” bantahku memberi saran kepada bapak setelah bapak membujuk aku lagi “Bagaimana dengan ibumu, siapa yang akan menemaninya disini, siapa yang akan membersihkan kuburannya?” “Pak ibu itu sudah lama meninggal sudahlah jangan pikirkan ibu, sekarang pikirkan dirimu pak yang sudah tua dan akan semakin tua ini” jawabku dalam pikiran kekanak-kanakku “jangan berkata seperti itu Haryo…” bentak bapak sambil menatap aku dengan marah “walaupun ibumu sudah meninggal tapi bapak bisa merasakan ibumu ada dalam setiap perjalanan pergumulan hidup bapak” Bagaiman bisa orang mati ada dalam setiap perjalanan orang yang masih hidup, pikirku saat itu.
Minggu menginjak bulan, bulan menuju tahun berlalu bapakpun meninggal dimakan penyakit di usianya yang senja, kedua adikku yang berada di pulau jawa pulang ke kampung untuk melihat bapak yang terakhir kalinya, kamipun memakamkan bapak persis di samping ibu, beban yang selama ini bapak emban sendiri sekrang sudah diwariskan kepadaku untuk membiayai sekolah kedua adikku.
Lima tahun setelah bapak meninggal adik-adikku meraih gelar sarjan dan datang menemui aku yang sudah dianggap sebagai orangtua mereka, mereka meminta aku untuk tinggal dan menetap di pulau jawa bersama mereka “Sanadyan kowe wis seda nanging aku bisa ngrasakake kowe ana ing saben lelampahanku nanging matur nuwun aku ora iso manggon ing pulo Jawa aku tetep neng kene ngancani merak” begitulah kataku menolak penawaran meraka.
Cerpen Karangan: Michael Manuel Zega Blog / Facebook: Michael
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com