Seorang anak berjalan dari guyuran hujan deras mencari tempat teduh di ibukota, Koran dipegang tangan dilindungi dengan baik tanpa basah sedikit pun oleh air. Berbeda dengan diri, kesehatan tak dipeduli waktu tak bisa dibeli.
Ia seorang diri mencari uang kerja setelah sekolah tak memikirkan beberapa pandangan. Ia hanya mencari uang untuk makan hari ini, besok dan seterusnya demi orang tercinta.
Pandu nama anak berumur 8 tahun, dengan tubuh kecil dan kulit sawo matang, berpakaian layak seperti pengemis di jalanan. Banyak orang seperti Pandu tersebar di Ibukota Jakarta, mengais nasi dari jalanan dengan cara halal dan haram.
Bagi Pandu sendiri uang baik adalah uang kerja keras diri, saat sekolah bubar ia mengambil karung dan besi cungkil untuk memungut sampah plastik. Setelah cukup banyak ia menjualnya untuk mendapat uang, walau 5 ribu atau 10 ribu sangat berarti bagi Pandu.
Hari libur pun sama, pagi hari ia menjual Koran berkeliling kota menjajakan. Tengah hari adalah batas waktu penjualan, setelah itu sangat sulit untuk menemukan pelanggan. Tapi bukan berarti ia beristirahat, dilanjutkan memungut sampah seperti hari biasa.
Istirahat bagi Pandu adalah malam hari, sementara pagi dan siang adalah medan perang. Ia bekerja lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, karena ia harus merawat sakit ibunya. Sang ayah telah meninggal 2 tahun lalu, kini ia tulang punggung hidup keluarga.
Setahun lalu ibunya pernah bekerja menjadi asisten rumah tangga, waktu itu Pandu sudah mencari uang untuk membantu ibu. Beberapa lama kemudian ibu jatuh sakit, mula pertama hanya batuk biasa sedikit demi sedikit bertambah parah. Tak ada uang untuk ke Rumah Sakit, Pandu hanya bisa membeli obat di warung.
“Pandu, sini” panggil bang Ujang salah satu lagak preman kota “Iya bang” ujar Pandu menghampiri Wajah garang diperlihatkan oleh Ujang, kedua lengan di tato penuh, berpakaian hanya dengan jeans abu-abu dan kaos kutang memenggang pekerjaan menjadi tukang parkir.
“Gimana kabar ibumu?” “Biasa bang, bisa bangun tapi nggak bisa lama” “Yah, berdo’a saja. Semoga kau bisa mendapat uang banyak untuk ibu kau” Pandu hanya mengangguk, berdo’a seraya berusaha agar bisa menyembuhkan sang ibu dari sakit parah. Meski begitu ia pun sadar harus menjaga diri terlebih dahulu, jika sang pilar hancur rumah pun lebur.
“Nih makan dulu” Ujang memberikan pisang goreng sisa tadi pagi kepada Pandu, walau hanya sebuah pisang bagi orang seperti pandu sudah cukup mengganjal perut. “Makasih bang” Diambil dan dilahap langsung pisang goreng sisa itu, di tengah hujan deras ia merasa hidup kembali. Pandu kecil bersyukur hari ini mendapat makanan, ia tak harus mengorek tong sampah lagi malam ini. Tinggal makanan untuk ibunya nanti malam, berusaha agar hari ini ia dapat membeli beras dan garam.
Waktu memburu siang telah ditelan malam, Selepas Isya Pandu melangkah pulang sambil menghintung uang hasil jeri payah. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu demi satu impian yang ganggu tidur, sebuah impian terpuji bagi seorang manusia.
Walau uang dibutuhkan oleh Pandu, shalat 5 waktu tidak dilupakan, ia percaya jika Allah SWT selalu menolong hamba-Nya. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, iman dan takwa ia tanam di dalam hati meski setiap hari melalui jalan berduri.
“Assalamualaikum” “Wa’alaikum salam” jawab ibu Pandu bernama Siti
Pandu memasuki istananya meski hanya terbuat dari tumpukan kardus bekas dan beralaskan koran. Rumah itu tidak luas dan besar, hanya muat untuk 2-3 orang, ruang tamu, dapur dan kamar menjadi satu hanya ada kain sebagai pembatas tempat. Kamar mandi tidak ada, saat ingin mandi dan buang air mereka harus mengantri di WC umum.
“Bu sudah makan?” tanya Pandu dengan nada lembut
Sang ibu dengan tubuh tidur terdiam sebentar sebelum menjawab anaknya yang baru pulang mencari uang. Pandu tahu jika ibunya belum mengisi perut, tanpa sepatah kata ia menuju dapur melihat-lihat bahan sisa. Tak banyak berada disana, hanya ada panci, piring, gelas dan alat-alat makan, untuk makanan tersisa nasi pagi dan air putih.
Pandu tahu ibunya bergerak sedikit untuk memasak nasi tapi baru mencuci tubuh tidak kuat berdiri. Ia melihat panci berisi beras sudah di cuci belum di rebus dan di masak. Pandu mengambil secentong nasi ke piring, garam yang dibelinya di warung sebelum pulang dibuka dan di taburkan ke nasi.
Makanan sederhana bagi rakyat tak punya, nasi garam setiap hari ia konsumsi. Baginya gizi tak diperlukan, saat perut tidak berbunyi lagi masalah teratasi.
“Currr” Pandu menuangkan air putih ke dalam gelas
Dibawanya santapan malam itu untuk ibunya, ia duduk dan membagunkan sang ibu dari tidur. “Bangun dulu bu, makan baru tidur setelah itu”
Siti hanya melakukan perkataan Pandu, ia merasa sudah tidak perlu merasa malu karena sejak awal ia sadar diri tidak berguna. Tubuh tak dapat bertahan lama, mental pun terkikis sedikit demi sedikit, namun ia masih ingat bahwa seorang ibu dari Pandu.
Siti selalu berpikir dan merenung apa yang akan ia berikan pada putranya ketika ia pergi jika sekarang saja ia tidak punya apa-apa. Do’a… hanya sebuah perantara, ketika anaknya tidak ada air mata selalu mengalir tanda kelemahan dan kebodohan.
Sakit yang ia derita bisa sembuh ketika hanya melihat wajah putra satu-satunya, ia bekerja keras siang dan malam melupakan tugas anak-anak. Tidak bisa bermain dan belajar seperti biasa, sudah lama ia berserah diri tapi ketika Pandu dengan tegas menjadi tulang punggung secercah harapan di dapatkan.
Siti tahu roda kehidupan berputar namun ia merasa hidupnya selalu susah, maka dari itu ia bersyukur dan meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar hidup dirinya selalu sulit dan memberikan kehidupan anaknya kelancaran.
“Nak maaf ya ngerepotin kamu terus” “Tidak apa-apa bu” Hanya kata-kata itu yang bisa ia ucakan setiap hari, setelah itu mereka makan sampai habis tanpa percakapan. Makan dalam diam, suasana dingin bagi mereka menjadikan makanan asin itu ditambah manis dan pahit.
Setelah makan malam sederhana itu, ibu kembali tidur di tempat semula sementara Pandu menyiapkan perkerjaan sekolah. Penerangan rumah yang hanya terdiri dari sisa kapas dan kertas yang dibakar tak menyulutkan semangat belajar.
“Nak kamu kalo ibu sudah tidak ada jadilah orang benar ya, jadilah orang besar, jadilah orang pintar. Ibu minta maaf kalau ibu cuma menyusahkan kamu, tapi ingat untuk jadi diri kamu sendiri jangan pernah berubah” “Ibu ngomong apa sih, sudah tidur sana” tegas Pandu
Hati Pandu setelah berkata seperti itu terasa lega dan sakit, tapi melihat ibunya langsung diam dan tidur ia tahu benar. Malam dingin itu terus berlanjut, uang simpanan dalam tabungan terisi sedikit, obat ibu masih banyak jadi tidak perlu cemas. Ia berpikir besok bisa makan mie instan dalam bulan ini, tidak perlu menyantap nasi garam dahulu.
Pandu melangkah keluar melihat suasana using dari lingkungan tempat tinggal, dalam ingatan dan kebiasaan ia selalu menatap langit. Mencari cahaya kecil dari sebuah benda besar melebihi matahari, jumlahnya ribuan yang selalu bersama-sama saat malam hari.
“Hari ini tidak ada bintang”
Langit kota gelap sesudah akibat hujan melanda, bintang tidak bisa terlihat sama sekali. Bahkan dihari biasa pun sulit mencari bintang di kota Jakarta, karena padatnya bangunan dan polusi seakan menutupi bintang dengan tirai kegelapan. “Semoga besok mereka ada” ujar Pandu
Udara sejuk terasa di kalbu, mentari muncul menandakan pagi tiba diiringi nyanyian burung di atas pohon. Cepat waktu pagi seperti langkah seseorang tergesa-gesa, begitu Pandu sibuk menyiapkan buku pelajaran. Sarapan tak sempat, hanya meminum teh buatan ibu, tiba di sekolah ia menahan semua amarah dan nafsu bersama.
Bau kayu tua menyegat di hidung Pandu, meja dan bangku terasa baru baginya. Para guru mengajar di depan kelas sementara murid memperhatikan. Pandu sendiri menyadari penting pendidikan, untuk mengubah hidup sulit menjadi mudah di masa depan pendidikan adalah senjata utama. Baginya mendaki dasar jurang neraka tidak akan terasa jika itu demi ibu, sesulit apapun tak gentar sedikit.
Sepulang sekolah jadwal Pandu seperti biasa, jika pagi menjajakan Koran, siangnya menjadi pendaur ulang. Ia pulang ke rumah mengganti pakaian, mengambil peralatan dan melihat keadaan ibu. Pikiran malam mengenai hari ini dapat menyantap mie instan tidak pernah terlupakan.
“Assalamualaikum” salam Pandu Pandu masuk ke dalam melihat kondisi ibunya masih sama terguling di kasur tipis, meski begitu ia tahu sebelum pulang ibu selalu mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan menyiapkan makan siang. “Wa’alaikum salam, nak cuci tangan dulu baru makan” “Iya bu”
Keseharian diulangi terus menerus selama 3 tahun, mungkin bagi anak yatim dengan ibu sakit beban keluarga harus ditanggung sendiri. Pandu selalu merasa ada yang salah tapi ia tidak berani mengeluarkan suara. Tuhan ada, Tuhan Adil, cukup tahu itu semua akan baik-baik saja.
“Bu Pandu berangkat mulung sampah dulu” “Hati-hati nak, ibu minta maaf ya”
Seperti itu lagi sang ibu meminta maaf, tapi Pandu kali ini tidak menjawab permintaan maaf ibunya. Langsung pergi tanpa sepatah kata karena sudah terasa biasa menerima permintaan maaf, meski begitu perasaan Pandu sesak sesaat memikirnya.
“Srak… srak… srak…” Pandu mengorek-ngorek sampah
Jakarta adalah salah satu kota besar di Indonesia dengan populasi terpadat, dimana terdapat manusia kebutuhan pun tersedia. Bagi Pandu sisa-sisa kebutuhan itu menjadi uang baginya, makanan, barang bekas dan pemberian semua berharga.
“Lho?!”
Secarik uang biru bernilai 50 ribu rupiah tergeletak di jalan, Pandu melihat benda berharga itu dengan mata bersinar. Pikiran tentu mengatakan untuk diambil dan dijajankan, semetara hati mengatakan bukan hak diri harus dikembalikan.
Dari siang panas membara membuat tengorokan kering, hidung sedari tadi menyium bau busuk sampah tentu ingin mencoba wangi-wangian dari makanan mahal. Uang itu adalah perantara, alat untuk memenuhi kebutuhan.
“Astagfirullah” Bersamaan dengan istighfar suara adzan berkumandang, tepat bagi Pandu untuk menenangkan sambil berserah diri.
Cerpen Karangan: Muhammad Akbar Ferdiyanto Blog / Facebook: Akbar Ferdiyanto TTL: Palembang, 26 Februari 2002 Alamat Penulis: Lr. Sukabangun Jl.Tegal Binangun, Palembang, Sumatera Selatan Pekerjaan: Mahasiswa D3-Akuntansi Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang Email: akbarferdiyanto250202[-at-]gmail.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com