“Assalamualaikum warah matullah” salam dua sisi menandakan shalat selesai Manusia memiliki hak dan kewajiban, Tuhan memberikan itu sebagai alat keseimbangan dalam kehidupan. Pandu di dalam hati membuat keputusan bahwa uang yang ditemukan bukan hak diri dari suatu kewajibannya. Untuk membuat keadilan masjid adalah tempat terbaik, uang temuan itu dimasukan oleh Pandu ke dalam kotak amal.
Shalat ditunaikan, keputusan telah selesai dibuat, Pandu pun kembali mengais uang di jalanan. Tak letihmau lelah sekalipun di lawan hingga sampai batas, hanya waktu bagi Pandu sebagai ujung kerja keras. Saat matahari terbenam cukup lama larut malam setelah Isya’ ia kembali pulang.
Pemikiran sulit tidak diperlukan bagi seorang anak kecil, cukup bermain dan disayangi ia pun tumbuh menjadi baik. Hari ini Pandu tidak dapat menahan diri untuk pulang lebih awal dari jadwal, biasa ia setelah Isya’ entah kenapa ia tidak sabar menemui ibu.
Membeli perbekalan untuk makan malam sesuai keinginan, 2 bungkus mie goreng instan rasa ayam cukup bagi lidah merasa memakan santapan enak sebulan sekali. Keranjang dipangkul di punggung dan alat pengambil sampah di tangan diri sementara tangan kanan memegang bungkus berisi mie.
Hati tidak sabar bukan suatu alasan senyum pun terbuka lebar dari bibir anak laki-laki itu. Tidak tahu bahwa ketidak sabaran itu bukanlah suatu untuk ditunggu melainkan sebuah firasat.
“Semoga ibu bisa senang” ujar diri Pandu
Anak itu berjalan dengan tempo lebih cepat dari sebelumnya, menuju rumah yang hanya tinggal beberapa blok saja. Beberapa meter saja terlihat pembatas antara jalan rakyat biasa dan pinggiran, bukan sebuah portal tapi dua kayu menancap di tanah.
“Eh sudah tahu belum…” “Masa’?” Bisik-bisik tetangga terlihat mencurigakan sebelum Pandu semakin dekat dengan rumahnya, langkah demi langkah terasa berat baginya. Langkah kaki itu di iringi dengan tatapan tajam mata orang melihat dari kejauhan. Ketidak sabaran berubah menjadi firasat, tentu bukan suatu hal yang baik melainkan khawatir dan tidak tenang.
Benar saja sesampai di depan rumah ia melihat banyak warga berdiri seakan menunggu sesuatu di tempat tinggalnya. Disana pun ia melihat bang Ujang di luar, ingin tahu ada apa Pandu mendekati.
“Bang kenapa ini?” tanya Pandu Ujang yang melihat kehadiran Pandu tersentak seperti tersambar petir dengan cepat kedua tangan merangkul bahu Pandu. Pandu semakin bingung dan hati kecil mulai bergetar ketakutan, tidak tahu akan sebab dan alasan. Mulut Ujang pun terasa sangat berat saat ingin memberitahu Pandu, akhir dari ketengangan mental Ujang menarik nafas dan mulai bicara dengan nada lembut dan bergetar lemas.
“Pandu ibu kau… meninggal” ujar Ujang dengan jeda Perkataan keluar bersamaan dengan hembusan nafas, Ujang tak sanggup melihat wajah Pandu yang sebenar sudah dianggap adik laki-laki. Pandu mendengar hal itu seakan kata-kata Ujang masuk dan keluar saja dari telinga, pikiran memproses arti ucapan Bang Ujang sampai melihat pak RT keluar dari rumahnya. “Yang sabar ya Pan” kata Ujang menepuk bahu Pandu
Langkah kaki itu terasa berat dan diri mengatakan tidak ingin pergi kesana namun entah kenapa tubuh tidak mengikuti. Berjalan dengan pikiran kosong, melemparkan keranjang di punggung dan besi tua ditangan berjalan cepat ke dalam rumah.
“Tunggu dulu” seorang warga menghentikan Pandu masuk ke rumah Kaki anak itu berhenti sesuai suara di dengarnya, tapi pak RT mengizinkan Pandu masuk dengan beberpa kata. “Yang sabar ya nak”
Sesaat masuk ke rumah tetangga wanita mengerumuni kasur ibu melihat dan memeriksa tubuhnya. Tanpa sadar tubuh sehabis kerja itu langsung memeluk sang ibu yang tidur di atas kasur, seraya memohon kepada Tuhan membangunkan ia dari mimpi jika benar.
Melihat ibunya tidak bangun Pandu memanggil nama orang yang melahirkannya serasa tidak dapat dipercaya.
“Buuu… bangun bu” Pandu membangun sang ibu dengan nada sedih dan tidak bertenaga Kata pertama itu membuat Pandu sadar jika itu bukan mimpi, saat ia bicara dengan Bang Ujang ia sudah tahu bahwa sekarang adalah realitas. Seketika tubuhnya lemas tak bertenaga, mulutnya tidak bisa bicara, bungkus mie yang ia pegang jatuh di sampingnya. Tenaga dan semangat yang ia kumpul kan di perjalanan pulang kandas berubah menjadi kesedihan mendalam.
Seperti sebuah patung tidak dapat bergerak kedua mata tertutup, tangan dan kaki kaku, wajah pucat terlihat dari pandangan Pandu. Kepercayaan Pandu semakin lenyap saat warga menyiapkan pemakaman untuk ibunya.
“Tidak benar, ibu tidak mungkin meninggal”
Tangisan air mata memang belum muncul di pipi Pandu, ia terus berpikir dan mengganti pandangan sedih menjadi ketidak percayaan. Dengan banyak pertanyaan yang seharusnya sudah ia ketahui jawaban, memang begitulah seharusnya saat seseorang belum menerima orang tercinta pergi lebih dulu.
Malam berganti pagi, sejak ia masuk ke rumah Pandu tidak beranjak dari sisi ibunya, bahkan setelah jenazah ibunya di tutupi kain. Malam itu ramai sekaligus sunyi bagi Pandu namun ia tidak bisa bergerak, wajah sedih itu berubah menahan amarah dalam kesedihan.
Saat pagi menyingsing semua pertanyaan diri telah habis, ia tidak bisa mengangkat wajah untuk melihat ibunya yang akan di kafani. Rumah kecil itu kembali di datangi warga kali ini banyak memakai pakaian muslim.
Pukul 09.00 kurang jenazah ibu di mandikan dan pakai kain kafan, saat Siti mulai berselimut kain putih Pandu hanya diam tidak berkata. Mata terbuka lebar seakan ingin melihat sedetik demi sedetik kepergiaan ibu tersayang. Kesedihan kembali berubah menjadi kekosongan sementara, pagi sebelum berangkat ke pemakaman Pandu hanya melihat tidak bergerak dan berkata.
“Pandu liat muka ibu kau terakhir kali” kata Pak RT kepada Pandu
Pandu diam kembali tidak ingin diganggu, keinginan menyentuh ibu terakhir kali wajah cantik menurutnya. Wajah yang selalu tersenyum dan kuat dalam kesakitan, pantang menyerah untuk menjadi bangga sosok ibu terbaik diseluruh dunia.
Pukul 09.00 lebih jenazah dishalatkan dan siap di makam kan, Pandu tahu kalau kewajiban terakhir sebagai anak dilakukan hari ini. Ia meng-kafani, men-shalatkan lalu berakhir melihat tubuh ibu diletakan liang lahat.
Bacaan do’a dan ayat-ayat suci Al-Qur’an berlantunan di kuburan, proses pemakaman selesai dan banyak orang mulai meninggalkan tempat. Pandu berjalan mendekati nisan kayu ibu, terduduk di tanah merah tak merata dengan tangan bergetar tanpa henti. Ujang dan beberapa sahabat yang membantu proses pemakaman ibu Pandu masih menunggu anak itu melepas diri mengikhlaskan.
Menunggu… terus hingga setengah jam berlalu, Ujang menyarankan agar teman-temannya pulang duluan sementara ia mengurus sisa. Matahari telah tegak berdiri di atas langit, panas menyelimuti ibukota tak terkecuali tempat pemakaman umum.
Tidak ingin mensia-siakan waktu Ujang mendekat dan menenangkan Pandu dalam kesedihan. Walau bukan orang tua atau kerabat dekat, niat sudah terukir di diri Ujang untuk mengurus Pandu kedepan. Kini ia mendapat seorang adik yang menjadikannya seorang kakak.
“Pandu… sudah kamu ikhlaskan ibu kau. Abis itu jangan kau tahan terus lah, mulai sekarang abang yang akan merawat kau” Pandu hanya diam menatap nisan membuat Ujang bingung dan canggung.
“Terakhir ibu bilang minta maaf sama Pandu” Pandu berkata mengejutkan Ujang, dengan terbata-bata bibir mengigil dan suara kecil. “Tapi Pandu malah langsung pergi” “Kalau begitu Pandu, apa kau sudah bilang tidak apa-apa dengan ibu kau? Liat sekarang kau ada di depan dia” “Mmm, hiks… hiks… hiks… huaaa… ibuuuu… Pandu minta maaf buuu kalau punya salah. Ibu juga sudah pandu maafin, ibu…nggak punya salah Pandu yang banyak salah… huaaa” tangisan sedih Pandu yang telah ia tahan selama ini “Hiks… hiks… hiks” tangisan Ujang mendengar Pandu
Tangisan anak itu memilukan hati bagi orang yang mendengar, bagi mereka yang tahu keadaan sebenarnya ia pasti akan menangis bersama. Air mata dari seorang anak bertekad besi dan rendah hati yang kehilangan sosok pentingnya “seorang ibu”.
Pantang menyerah untuk membuat bangga dan sembuh ibu kini tinggal ia sendiri, tidak banyak bicara sampai jenazah dikuburkan. Meski begitu kesedihan tak bisa di pendam, tangisan itu menyayat hati, tangan dan kaki gemetar akan kesedihan lembut.
Ia tidak pernah merasa Tuhan tidak adil tidak pernah bicara bahwa dia telah menyesal dilahirkan di keluarga miskin. Ia selalu percaya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa berkuasa atas segala sesuatu, meski terbesit di dalam hati sampai pedih mendidih membakar diri tidak pernah sama sekali ia mengeluh dan mengutuk.
Tidak ada rasa amarah melainkan kehilangan, tidak ada rasa terkasihani yang ada rasa duka, tak ada rasa putus asa dan terikat belenggu dunia yang hanya ada ucapan terima kasih dan selamat tinggal. Memang tidak mudah mengikhlaskan atas kehilangan, maka biar waktu membantu menghapus. Sadar diri Pandu pun tahu bahwa ibunya tenang dan bahagia di alam sana, sekarang tinggal ia bangkit untuk berdiri.
Waktu pun berlalu, tangisan sedu seorang Pandu masih tidak berhenti bukan berarti dia berdiam diri. Setelah kehilangan seseorang kenangan dan janji masih terukir ingatan, ia melanjutkan sekolah, kerja dan berdo’a agar sukses seperti janji kepada ibunya.
“Pandu abang mau tanya, sekarang kau mau bagaimana?” tanya Ujang untuk menjawab angket masa depan Pandu Pandu yang sedang belajar berdiri dengan tegap, tampak wajah serius tanpa sedikit keraguan dan terlihat senyuman di bibir. “Aku ingin jadi Menteri!” tegas Pandu
Cerpen Karangan: Muhammad Akbar Ferdiyanto Blog / Facebook: Akbar Ferdiyanto TTL: Palembang, 26 Februari 2002 Alamat Penulis: Lr. Sukabangun Jl.Tegal Binangun, Palembang, Sumatera Selatan Pekerjaan: Mahasiswa D3-Akuntansi Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang Email: akbarferdiyanto250202[-at-]gmail.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com