Seisi rumah tersusun rapi, buku-buku terlihat bertandang pada tempatnya, lampu belajar pun tak menyinari meja, dia padam untuk sementara waktu, akan ada masanya dia akan menyala dan bekerja. Kursi-kursi itu pun tersusun tepat, sandarannya mengenai sisi meja.
Di bangku yang terpisah dari kursi-kursi yang biasa digunakan keluarga Pak Hiqro untuk belajar, di sana Jangila duduk terdiam, memandangi tiap susunan buku yang rapi, meja yang sudah dibersihkan, lampu yang terpadamkan, semuanya sunyi pagi itu.
Serpihan cahaya pagi menyusup ke rumah itu. Kedua tangan Jangila menggenggam kosong di atas kedua pahanya. Masih menatap deretan buku yang banyak, semua deretan itu membuatnya berpikir untuk mengetahui sumber asal muasal dari masing-masing buku.
Terbesitlah keinginan untuk memikirkan ulang asal muasalnya dia ada di dunia ini. Ingin rasanya Jangila mengunjungi Ibu kandungnya. Kemudian dia melihat ke arah jam dinding. “Sudah cukup lama aku termenung, aku harus segera bangkit!”
Jangila menyiapkan beberapa hal untuk bertemu Ibu kandungnya. Tas, peralatan mandi, pakaian ganti, buku catatan, sebagian alat tulis, dan perlengkapan lain yang mendukungnya. Bu Ifaw yang sedang membaca buku diam-diam melirik anak angkatnya.
“Ekhm … Ngila mau ke mana sayang?” Tanya Bu Ifaw. “E, eh, a,” jawabnya gugup sekali. Lalu dia tinggal dulu beberesnya dan segera mendekat ke Bu Ifaw. “Maaf ya Bu saya telat ngabarin, saya mau mengunjungi Ibu,” diam sambil menatap Bu Ifaw. “Boleh?” Tanyanya dengan tatapan penuh harap agar diizinkan. Bu Ifaw lalu mengusap kepalanya sambil tersenyum. “Boleh dong Nak, mau Ibu anter atau sendiri aja?” Tawarnya. “Eh,” Bu Ifaw menutup mulutnya seperti seseorang yang sedang terkejut akan sesuatu. “Tapi kamu sudah ngabarin belum ke sana?” Pungkasnya khawatir. Jangila menepuk jidatnya. “Lupa saya Bu.” Dengan tampang polos yang gelagapan melihat ke kanan kiri mencari ponsel. Bu Ifaw tersenyum. “Atau biar Ibu teleponkan dulu, bagaimana?” Jangila hanya mengangguk kegirangan.
Tuuuuuuttt … Tuuuuuut …. “Ya, dengan Q-Net di sini, ini dengan siapa?” Tanya Ibu kandungnya Jangila. Bu Ifaw terkejut sambil menutup mulut dan menahan tawa. Suara yang terdengar ke telinga Jangila membuatnya jengkel.
“Ibu kandung yang memuakkan!” Ketusnya lirih. Bu Ifaw sempat menangkap gelagat Jangila yang nampak kesal ketika dirinya sedang menelepon Ibu Kandungnya. Lalu Bu Ifaw melihat ke arah Jangila, “Sini Nak,” katanya. Jangila pun mendekat.
Diusaplah kepala Jangila oleh Bu Ifaw. “Kamu harus jaga etikamu ya, meski sekesal apapun itu, dia tetap Ibu yang melahirkanmu.” Katanya sambil tersenyum. Jangila masih saja cemberut, meski tetap kata-kata Bu Ifaw itu pasti akan diingatnya terus.
Jangila kemudian sedikit mengangkat kepalanya. “Bu saya berangkat ya,” sambil meraih tangan Bu Ifaw dan menciumnya. Bu Ifaw tersenyum, “Oh ya, kamu harus bawa sesuatu Nak,” katanya, kemudian Bu Ifaw segera bergegas ke dapur. “Bu, gak usah, biar nanti saya beli aja di jalan, tabungan saya lumayan cukup kalau untuk sekedar ongkos bolak-balik dan beli sedikit oleh-oleh perjalanan.” Bu Ifaw pun mendadak menghentikan langkah kakinya. “Baik, kalau begitu, doakan Kami ya Nak ketika di perjalanan nanti.” Katanya. “Iya Bu, Ayah dan Ibu selalu di hati.” Katanya sambil melebarkan tangannya kemudian memeluk kosong dan—tersenyum bangga. Bu Ifaw hanya geleng-geleng. “Anak itu, sudah tumbuh.”
Di tempat lain. Pak Hiqro sedang berjalan-jalan seorang diri, dia nampaknya sedang menikmati hari liburnya yang cukup singkat, sekalian juga melepas penat yang masih membebani punggungnya. Pikirannya tentang “Palbatlas” masih tetap terus berlanjut, entah sampai kapan berakhirnya …
Sekumpulan burung sedang terbang secara bersamaan. Pemandangan yang indah, Pak Hiqro melihat itu sambil tersenyum dingin. “Ingin juga rasanya punya anak kandung, gimana caranya ngusir Jangila, dia sudah cukup besar,” keluhnya sambil berjalan.
Bu Ifaw, dia sedang di rumah bersama sebuah buku, dan itu bukan sembarang buku. Tertulis di sana “agar cepat memiliki buah hati” pun kedua pipinya memerah seketika. “Ingin juga rasanya punya anak kandung, kapan ya Jangila punya adik, biar dia gak kesepian.”
Perasaan mereka berdua saling terpaut, Bu Ifaw tak suka menyalahkan sepihak, dia lebih suka mengintrospeksi diri sendiri ketimbang harus menyalahkan Pak Hiqro, ada cara tersendiri bagi Bu Ifaw untuk menegur suaminya, cara yang halus dan pasti diterima.
Tidak seperti kebanyakan wanita yang lebih mau menang sendiri dan sengaja lupa kalau dia telah memutuskan untuk menikah, maka dia sudah merelakan dirinya di bawah arahan juga bimbingan suaminya itu, selagi hal itu tak menyelisihiNya juga utusanNya.
Jangila berangkat dengan perbekalan yang tidak banyak juga tidak sedikit, hanya proporsional saja. Berat memang mengakui Ibu kandung yang sengaja membuangnya hanya karena demi bertahan hidup. Perjalanan diperkirakan kurang lebih 4 jam.
Kota yang cukup jauh dari Palbatlas. Jangila berangkat menggunakan kendaraan umum. Tak lupa dia pun memaksakan dirinya agar mempunyai hobi belajar di mana pun berada, itu juga berkat tekanan dari Bu Ifaw yang mengingatkannya ketika keberangkatan tadi.
Matahari sudah mulai naik, Pak Hiqro menepis serpihan cahayanya yang menyilaukan mata, seketika dia mencium aroma tak sedap dari ketiaknya. “Ah! Ketiak! Ketiak! Napa pake lupa! Deodorant! Cih!” Kemudian dia menunduk dan melangkahkan kakinya ke depan.
Pohon-pohon di samping jalan menjadi teman yang cukup ramah baginya, entah ada apa pada diri Pak Hiqro, sepertinya dia hari ini sangat diliputi kegelisahan yang tak biasa.
Seseorang pria berumuran kurang lebih 40 tahun-an berlari kecil di sampingnya, kemudian melihat Pak Hiqro dan tersenyum padanya. “Mari Pak, lari.” Katanya dengan senyuman yang sangat tak enak bagi Pak Hiqro. “Kenapa pagi-pagi begini hari sudah terasa amat sial!?”
Pak Hiqro mempersilahkan. Pria itu pun berlari dan meninggalkannya. Pak Hiqro tidak tahu kalau Jangila hari ini sedang mengunjungi Ibu kandungnya. Dia hanya berjalan-jalan saja hilangkan penat mengajar di sekolah.
Rombongan beberapa wanita yang kira-kira berumur 30an sedang berjalan bergerombol dengan keributannya yang memancing Pak Hiqro untuk dengar keributan mereka. Salah seorang dari gerombolan itu bilang, “kalau berani memilih, ya harus berani juga tanggung segala akibat dari pilihan itu.” Kemudian mereka tertawa ria, genit, seolah cari perhatian ke banyak pria.
Dengan kejadian itu Pak Hiqro berjalan saja tanpa melihat ke arah mereka, mereka dilalui begitu saja, kemudian terdengar mereka saling berbisik, “Eh om itu lumayan kueren gayanya, godain yuk, yang berhasil nanti pekan depan harus ditraktir.” Kemudian gelak tawa yang amat ganjen pun terdengar oleh Pak Hiqro.
Antara kesal dan bangga juga ternyata Pak Hiqro mendapat hembusan angin pagi yang mulai beranjak siang. “Wanita! Wanita! Diduain gak mau, tapi tingkah laku seakan dirinya milik banyak pria! Cih! Murahan!” Gerutunya lirih sambil mempercepat langkah.
Emperan jalan Mall Metland Cileungsi. Ahad 23 Januari 2022 halub© 21:06
Cerpen Karangan: Halub Blog: huzur_yakindir.blogspot.com Ig: halubz halub dari Cileungsi.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com