Masa sekolah menjadi masa yang sangat menyenangkan, kita masih bisa bebas untuk bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa muda yang tidak mungkin terulang untuk yang kedua kalinya. Tetapi tidak selamanya hidup kita ini, kita gunakan untuk bermain dan bersenang-senang saja. Karena sesungguhnya hidup merupakan sebuah perjalanan, hanya mereka yang tahu kemana arah tujuan hidup mereka, yang akan sukses mencapai impian mereka.
Sebentar lagi kenaikan kelas dan aku sudah berencana untuk bisa melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Mungkin akan banyak rintangannya tapi semoga aku bisa melewati semuanya. Kulihat ibu sedang duduk di ruang tengah sambil menonton tv, aku mencoba untuk mengutarakan impianku dan mohon doa kepadanya.
Aku mendekat dan memulai pembicaraan kepada ibu “Bu, Nisa kan sebentar lagi akan naik kelas 3, Nisa berencana ingin melanjutkan pendidikan tinggi setelah lulus sekolah apakah boleh, Bu?” Ibu menatap aku, melihatku dengan sangat teduh, tangannya mencoba menggapai kepalaku dan mengusap rambutku, “Nisa sayang, ibu senang jika kamu punya mimpi untuk melanjutkan pendidikan kamu ke jenjang yang lebih tinggi, ibu pasti akan sangat mendukung kamu, Nak.” Mendengar hal itu, seketika raut wajahku berubah, aku sangat senang dan bahagia. Kini aku akan berusaha lebih keras untuk mewujudkan mimpiku karena telah mengantongi sebuah restu dari ibu.
Ayahku merupakan seorang pedagang baju di pasar, aku mempunyai mimpi untuk bisa memberikan hadiah untuk ayahku yaitu mendirikan sebuah butik untuknya agar usahanya bisa besar dan mempunyai nama di kota ini. Itulah sebabnya aku selalu serius dalam belajar, selalu menyempatkan waktuku untuk membaca buku setiap harinya baik ketika sedang di sekolah maupun belajar secara mandiri di rumah.
Banyak teman-temanku yang ketika aku tanya rencananya setelah lulus sekolah mau apa, terlihat dari raut wajahnya bingung dan tidak mau ambil pusing. Menurut mereka tidak usahlah diambil pusing soal kehidupan setelah lulus sekolah nanti, jalani saja apa yang ada hari ini, masalah masa depan atau kehidupan setelah lulus sekolah itu urusan nanti, yang penting kita nikmati masa muda kita dengan melakukan apapun yang kita inginkan, bukan sibuk dengan memikirkan apa yang belum terjadi, begitu katanya.
Aku sendiri tidak ambil pusing tentang keputusan teman-temanku perihal masa depannya kelak, aku sebagai teman hanya bisa mengingatkan perihal pentingnya kita mempersiapkan masa depan kita sedini mungkin dengan banyak membaca buku dan rajin belajar. Tetapi ya sudahlah, bagaimana mereka saja.
Besok adalah hari libur, aku berencana ingin mengunjungi perpustakaan daerah di kotaku bersama Sari temen seperjuanganku. Sari merupakan temen deketku sejak kelas 1 SMA, aku sering berbagi cerita dengannya tentang apapun termasuk tentang mimpiku yang satu ini. Sari pun demikian, ia juga sering cerita tentang keinginan dan mimpinya kepadaku. Aku merasa cocok berteman dengan Sari karena aku merasa kita mempunyai kesamaan dalam pola pikir memandang masa depan sebagai sesuatu hal yang penting. Hal ini yang membuat kami semakin akrab dan sering belajar bersama-sama tentang apapun itu. Kita berdua percaya atas kekuatan doa dan usaha atas mimpi-mimpi yang akan kita perjuangkan.
Pagi ini sangat cerah, semoga hari tidak mendung agar aku bisa pergi ke perpusda untuk belajar mempersiapkan diri menghadapi ujian-ujian masuk perguruan tinggi bersama Sari. Kulihat di rumah ibu tidak ada, mungkin ia sudah pergi ke pasar untuk membeli sayuran yang akan dimasak untuk makan kita nanti. Ayahku pun sedang sibuk merapikan barang dagangannya untuk dibawa nanti, walaupun ini hari libur tetapi ayahku tidak libur berdagang. Aku pun juga segera bergegas bersiap-siap untuk berangkat, setelah selesai kulihat ibu sudah pulang dan sedang berada di dapur untuk menyiapkan makanan buat aku dan ayah. Aku segera bergegas membantu ibu menyiapkan makanan dan menatanya di meja makan. Setelah semua makanan selesai dimasak dan sudah dihidangkan, kami sekeluarga makan bersama.
Pada saat makan ibu memperhatikan aku yang mengenakan pakaian rapi seperti orang mau pergi. “Nisa, kamu tumben pagi-pagi sudah rapi?” Tanyanya kepadaku. Aku sejenak menghentikan aktivitas makanku “Iyaa bu, hari ini aku ada janji sama Sari untuk belajar bersama, mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi bu.” Ibu melemparkan senyuman kearahku, ia terlihat bahagia karena aku tidak menyibukkan diri dengan sesuatu hal yang sia-sia tetapi dengan belajar. “Oh ya sudah, belajar yang rajin ya nak, biar kamu nanti berhasil bisa meraih impianmu dan melanjutkan pendidikan kamu ke perguruan tinggi.” Ayah tampak kaget mendengar percakapan aku dan ibu, jujur aku memang belum cerita ke ayah perihal niatku untuk melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi.
“Kamu hendak melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi, Nis?” Tanya ayahku. “Iyaa yah, maaf kalau Nisa belum cerita ke ayah” Aku berusaha menjelaskan kepada ayah. Belum sempat kujelaskan semua, ayahku sudah memotong perkataanku “Ayah bukannya tidak setuju kamu hendak melanjutkan pendidikanmu ke perguruan tinggi, tetapi ayah merasa tidak sanggup bila harus membiayai pendidikan kamu hingga perguran tinggi. Sudahlah kamu urungkan niatmu dan bantu usaha ayah berdagang di pasar” ucap ayah. “Tapi yah, Nisa tidak akan membebani ayah. Nisa akan berkuliah dengan beasiswa. Nisa cuman minta doa restu dari ayah dan ibu agar Nisa bisa berhasil” aku berusaha meyakinkan ayahku. “Nak, sudahlah tidak usah bermimpi tinggi-tinggi nanti kalau tidak kesampaian sakit. Jalani yang sudah pasti aja Nis” bantah ayahku. Setelah itu ia langsung pergi ke pasar untuk berdagang.
Aku merasa hilang semangat mendengar perkataan ayahku yang tidak memberi dukungan padaku. Ibuku mencoba meraih tanganku, terseyum padaku dan mengusap punggung tanganku. Ibu mencoba menguatkanku. “Nisa, mungkin ayahmu berkata begitu karena ia takut ditinggal olehmu, ia tak siap jauh darimu. Karena kamu anak satu-satunya yang ia miliki dan lagipula kamu perempuan” ucap ibuku. “Aku mengerti bu, tapi ibu tetep mendoakan aku kan? ibu dukung aku untuk meraih impianku kan?” ucapku kepada ibu. “Iya nak, ibu selalu mendoakan dan mendukung apa yang kamu lakukan selama itu baik buat kamu, Nak.” Aku senang mendegar itu, kata-kata ibu selalu menjadi penguat ketika aku sedang merasa terpuruk seperti saat ini. Aku akan buktikan pada ayah bahwa aku bisa.
Aku hampir saja lupa kalau hari ini ada janji dengan Sari untuk belajar di perpusda, aku langsung pamit sama ibu dan segera pergi. Sesampainya di sana aku lihat Sari sudah sampai dan menungguku sambil membaca buku. “Hai, Sari. Maaf ya aku telat” ucapku “Iya Nis, sini duduk. Kita langsung bahas soal aja yuk” ajak Sari. “Iya Sar, tapi aku mau cerita dulu ke kamu boleh?” tanyaku. “Iya tentu saja boleh dong, silahkan.”
“Aku kan belum menceritakan mengenai keinginanku untuk melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi pada ayahku. Nah tadi ayah mengetahuinya pas aku cerita mengenai alasanku pergi ke sini untuk belajar mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi. Tetapi nampaknya ayahku tidak mengizinkan aku, ia tidak memberikan dukungan kepadaku. Katanya jangan mimpi ketinggian nanti aku sendiri yang sakit.” “Lalu, bagaimana mengenai kelanjutan mimpimu itu, Nis?” tanya Sari “Menurutmu bagaimana? Aku bingung” tanyaku balik “Saranku kamu tetap belajar dan memperjuangkan mimpimu itu Nis, perihal nanti kamu berhasil atau gagal setidaknya kamu sudah berusaha Nisa. Misal jika nanti kamu berhasil ayahmu juga pasti senang dan bangga padamu” ucap Sari. “Baiklah, Aku akan mengikuti saranmu, Makasih yah” Aku langsung memeluk Sari.
Waktu begitu cepat berlalu, sudah hampir enam bulan aku mempersiapkan diri dengan banyak membaca buku dan belajar untuk mengikuti berbagai tes masuk perguruan tinggi dan juga beasiswa. Salah satunya beasiswa (Monbukagakusho/MEXT) dari pemerintah Jepang. Minggu depan aku memutuskan untuk pergi ke Jakarta mematangkan semua materi-materi yang telah kupelajari, karena aku akan menjalani tes beasiswa tersebut di Jakarta pada akhir bulan ini. Aku sudah bertekad apapun nanti hasilnya aku akan menerimanya dengan ikhlas, yang penting aku sudah berdoa dan berusaha semaksimal mungkin. Aku melangkahkan kaki keluar rumah dengan yakin. Aku sudah berpamitan dan meminta doa restu dari ibu, tetapi aku tidak sempat meminta izin dan berpamitan pada ayah. Aku hanya menitipkan salamku untuk ayah kepada ibu.
Setelah seminggu aku pergi, ayah seperti merasa kehilanganku dia merasa kesepian dan selalu menanyakan perihal kabarku pada ibu, ibu sering bercerita dalam telepon bahwa ketika aku berada di rumah sikapnya memang seperti tidak merestui dan mendukung semua keinginan dan impianku. Tetapi ketika aku pergi dari rumah untuk tes beasiswa di Jakarta ayah selalu melihat fotoku dan mendoakan aku secara terus-menerus tanpa hentti. Aku senang mendengarnya, tetapi tidak enak hati karena telah membuat ia khawatir kepadaku.
Sebulan berlalu, aku sudah selesai mengikuti semua tahapan tes beasiswa Monbukagakusho di Jakarta. Tinggal menunggu pengumuman apakah aku berhasil diterima berkuliah di Jepang dengan beasiswa itu. Sekarang aku hendak pulang kembali ke rumah, sesampainya di rumah ayahku sudah menungguku di depan rumah. Aku melihat raut wajahnya, sepertinya ia akan marah padaku. Aku sudah siap menerima konsekuensi atas tindakanku, aku paham kesalahanku karena tidak berpamitan padanya.
“Nisa, darimana saja kamu. Sebulan pergi dari rumah tidak izin sama ayah. Kamu cuman menitipkan salammu ke ayah pada ibumu” ucap ayah seperti sedang menginterogasiku. “Maaf yah, aku tidak sempat izin secara langsung ke ayah, aku takut ayah tidak mengizinkan aku, maaf telah membuatmu khawatir, Yah” ucapku. Tiba-tiba ayah langsung memelukku dan menangis “Tentu saja ayah khawatir, kamu itu anak ayah. Ayah mana yang tidak khawatir pada anaknya” ucapnya.
Ibu melihatku sudah pulang dan sedang dipeluk oleh ayah, ibu datang menghampiri dan ikut memelukku. “Bagaimana Nisa tesnya?” tanya ibu “Alhamdulilah lancar bu, hasilnya nanti belum diumumkan. Doain yah bu semoga hasilnya yang terbaik buat Nisa” ucapku. “Pasti nak, ibu selalu mendoakan yang terbaik buat kamu.”
Hari ini adalah hari pengumuman apakah aku diterima dan berhasil melanjutkan pendidikanku ke negeri sakura dengan beasiswa atau tidak. Aku sudah duduk di depan laptop tinggal mengumpulkan niat untuk membukanya dan berserah diri apapun hasilnya itu yang terbaik untukku. Aku memejamkan mata dan berdoa terlebih dahulu.
Perlahan kubuka laptopku, dan kulihat hasil pengumuman tes beasiswa yang aku ikuti di Jakarta kemarin. Air mataku menetes, aku tidak kuat melihatnya. Badanku lemas, kucoba bangun dan menghampiri ayah dan ibuku. Aku langsung memeluk ibukku sambil menangis. “Kenapa kamu menangis nak?” tanya ayahku. Aku masih tidak bisa menjawab dan masih menangis dipelukkan ibuku.
Ibuku mengusap kepalaku dan menanyakan pertanyaan yang sama seperti ayahku. “Sayang, kenapa kamu menangis, sini liat ibu. Ceritakan saja semuanya pada ibu” ucap ibu berusaha menenangkanku. Aku berusaha menahan tangisanku dan berusaha mengatakannya pada ayah dan ibuku “Alhamdulilah bu, aku lulus tes beasiswa dan bisa berkuliah di Jepang” ucapku menangis bahagia di pelukkan ibu. Ayahku senang mendengar itu dan memelukku juga.
Pada akhirnya semua usaha dan jerih payahku terbayarkan dengan indah. Ayah dan ibuku pun sangat bangga padaku dan mengucap syukur atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepadaku.
Cerpen Karangan: Qori Febrianto IG: @qorifbrian
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com