Menuduh dan menyudutkan orang lain sebagai pecinta juga penikmat zona nyaman adalah hal yang mudah, tetapi ketika bertanya pada diri sendiri “Apakah saya juga pecinta zona nyaman?” Tentu jawabannya, “Oh, tidak, aku seorang pejuang.”
Nikmat betul memang bilang menyalahkan orang lain, menyudutkan orang lain, ternyata ada hal lain di tahun yang masih terbilang awal ini, ‘belajar menyudutkan diri sendiri’, atau bahasa sederhananya, ‘belajar naklukin diri sendiri?’
Mungkin sebagian orang sangat dengan mudah mengalahkan, mengoreksi, mengklaim, menyudutkan, memukul mundur dan menyalahkan orang lain, tetapi akan sangat sulit untuk mengoreksi diri sendiri, karena memang diri ini sesuatu yang sangat dicintai, melebihi harta, katanya sih.
Jangila terpaku ketika Ayah kandungnya sudah menyadari kalau dia itu anak kandungnya, hehe, maklum penampilannya sudah sangat berbeda ketika awal mula pertama kali bertemu setelah sengaja dibuang dengan alasan yang menurut kedua orang tua kandungnya benar.
“Sini dulu Jangila, nginep dulu aja, hari sudah menjelang gelap, meski pun ingin tetap pulang, lebih baik besok aja.” Kata Ayahnya. Ibunya pun seolah setuju dengan ekspresi senyum sumringah dengan anggukan pelan.
Jangila dari balik penutup wajahnya mengernyitkan mulutnya. “Ah! Kenapa harus nginep di kontrakan kumuh, ntar paling-paling makannya nasi sama garam, kalau enggak nasi tambah garam tambah minyak bekas gorengan bawang, miskin dan jijik banget!” Batinnya.
Ternyata mental penikam dan penikmat pada diri Jangila sudah bersemayam dalam dirinya, maklum mungkin karena sudah terlalu lama tinggal di rumah Pak Hiqro dan Bu Ifaw yang segala kebutuhan, bahkan keinginan pun terpenuhi.
Jangila terdiam, dia bingung mau merespon apa, kalau bilang terang-terangan tentang prihal makanan dan tempat tidur, tentu mereka pasti akan kecewa. Jika tetap di rumah kontrakan ini, bisa-bisa tulang punggungnya encok lantaran kasur yang amat sangat tipis.
“Aku belum pernah hidup kayak gini!? Aduh gimana ini!?” Gejolak batin Jangila. “Gimana Jangila, bahaya perjalanan malam-malam bagi seorang gadis cantik kayak kamu.” Kata Ibunya, meski Ibunya tahu kalau Jangila tak cantik, hanya sekedar pemanis palsu.
Sebenarnya si Ibunya Jangila tahu kalau anak perempuannya, anak satu-satunya itu tak cantik, seperti halnya dirinya, yang ada jelek dan memuakkan, karena Jangila sekarang sudah merubah pakaiannya yang serba tertutup, kecuali matanya, maka dia terlihat cantik, seolah jeleknya sudah teratasi oleh penutup wajah yang menyerupai ninja itu.
Karena alasan ingin berbicara lebih lama dengan anak kandungnya, maka pujian-pujian yang seharusnya tak didapatkan Jangila pun akhirnya terpaksa didapatkannya, sebenarnya Jangila pun sadar kalau pujian itu kosong, karena dia sadar dirinya jelek.
Susahnya orang jelek itu mau dipakaikan make up sehebat apa pun akan tetap terpancar kejelekannya, mungkin kecuali kalau operasi plastik, tapi hal tersebutkan mahal juga dilarang juga olehNya, ya hanya pemuas dan pemuja hawa nafsu saja yang mengatakan oplas itu boleh.
Bahkan skincare pun sangat tak mampu untuk menutupi kejelekan diri seseorang, karena seseorang yang jelek akan tetap terlihat jelek, kecuali—dia membenahi dan menghiasi dirinya dengan perilaku yang mulia yang dia munculkan dari hatinya yang paling terdalam.
Hanya itu cara terampuh agar kejelekan paras pada seseorang bisa terlihat bagus dengan tidak keterpaksaan, yaitu dengan memperbaiki perilaku lahir dan batin setulus mungkin. Jika tidak, hanya panenan petaka yang akan didapat.
“Oh my God, Am I beauty!? It’s really!?” Jangila terguncang djiwanya dengan sebutan “cantik” langsung dari Ibu kandungnya, tetapi tetap saja, meski sudah banyak perubahan dari sikap Jangila yang tadinya kasar dan makin ke sini makin lembut perangainya, dia tetap tidak bisa dan merasa sangat minder bila harus tinggal bersama kedua orangtua kandungnya.
Ayahnya yang sedari terkagum kagum dengan pakaian yang dikenakan oleh Jangila, hampir tak berkutik dia dengan tampilan itu. Seluruh tubuhnya tertutup dengan pakaian lebar nan sopan, juga terlihat lebih rapi dari tampilan sebelumnya.
“Nak,” kata Ayahnya. “Nginep aja dulu di sini, kamu—,” kata-kata Ayahnya terputus kemudian melihat ke arah istrinya dengan tatapan yang cukup lama dan mendalam, Bu Pendus paham kemudian mengangguk pelan.
“Nak sini sayang kita bicarain bentar ya,” kata Ibunya Jangila sambil melambaikan tangan, isyarat agar Jangila mendekat ke Ibu dan Ayahnya, padahal posisi Jangila sudah sebentar lagi keluar dari rumah.
Dengan berat hati, pun dia juga sudah agak terbang dengan pujian palsu dari Ibunya, meski dia pun tahu setiap orang yang memujinya bukan berarti benar-benar memujinya, ada maksud dan tujuan lain, dia tak peduli, yang penting baginya kantung pujiannya terisi, karena sudah cukup lama kosong.
Mereka bertiga kini duduk melingkar, bukan untuk main jelangkung atau permainan seram yang mengundang petaka, melainkan mereka kini saling merangkul, dimulai dari Ayah yang merangkul Ibu, diikuti Jangila sebagai pelengkap lingkaran keluarga kecil itu.
“Nak, maafkan kami ya,” Ibu memulai dengan nada intonasi paling rendah dan terkesan sangat dipenuhi penyesalan yang amat mendalam. “Kita bicara bentar gak apa-apa kan?” Ibu memastikan dengan masih dalam keadaan menunduk.
Jangila belum menjawab, dia pun tertunduk, seakan ini adalah hari sialnya, karena dia paling tak suka dengan pertanyaan yang sangat menyudutkan dirinya. Dia hanya ingin segala angan dan ucapannya didengar orang lain, sedang untuk sebaliknya maaf maaf, mungkin kiamat 3× pun dia akan tetap kokoh seperti itu.
Untuk memutus formalitas karena dia sedang berada di posisi dan lingkungan yang sangat tak memungkinkan untuk menyuarakan suara asli isi hatinya, maka dia mengangguk pelan dengan hati yang berteriak berontak penuh amarah yang sangat mendidih, bahkan lebih mendidih dari lava gunung berapi.
Ingin rasanya Jangila menatap tajam ke kedua orangtuanya, terutama Ibu kandungnya, entah bagaimana dia merasa sangat benci dengan Ibunya, seperti bisa merasakan perasaan busuk yang jauh di dasar kedalaman hatinya.
Sedang dengan Pak Pema Jangila pun kesal, lantaran yang dimampu oleh Ayah kandungnya sejak dahulu hingga kini dia berusia 14 tahun tetap ngontrak terus makan seadanya, sangat kontras bila dibandingkan dengan kehidupan Pak Hiqro dan Bu Ifaw.
“Nak,” Ayahnya ingin meneruskan berbicara padanya, tetapi terasa berat dari penuturan katanya, Jangila bisa merasakan itu. Pun Jangila juga tak merespon panggilan Ayahnya, dia hanya menunduk diam.
Sedang Pak Pema seketika dengan cepat kenangan anyir akan Jangila kecil muncul di benaknya, terlebih akan kata-kata istrinya yang sangat menyayat hatinya, “Udah kah, biarin aja Jangila, nanti juga ada orang yang bakal ngambil dia.” Seperti gaungan suara yang datang bersama serpihan belati panas di hatinya.
Ingin Pak Pema mengangkat kejadian sebenarnya tentang latar belakang ‘Mengapa Jangila bisa diambil alih oleh Pak Hiqro dan Bu Ifaw?’ meski dengan segala keterpaksaan yang Pak Hiqro rasakan, hanya karena mengharap bekal untuk bertemuNya juga akan keinginan istrinya yang sangat ingin punya anak meski harus mengadopsi anak orang lain.
Pak Pema menahan semua itu, tak lain dan tak bukan hanya tidak inginkan kekacauan yang sudah lama terbenam bangkit kembali ke permukaan, tentu akan membuat mereka semua saling terpisah satu sama lain.
Jangila sudah merasa was-was, dia paling malas kalau misal kedua orangtua kandungnya menyuruh untuk tinggal bersama mereka, mana di kontrakan jelek, makanan terbatas, harus serba irit, tetangganya terlalu dekat, dan banyak keluhan lain yang menggumpal begitu pekat di hatinya.
Jangila juga merasa geli dan jijik membuat lingkaran begitu, seperti orang gila, dia ingin, sangat ingin berteriak dan membentak keadaan yang sangat tak diinginkan olehnya, tetapi semua itu harus ditahannya dengan sekuat tenaga, ada puing-puing kebiasaan yang harus hancur jika dia berteriak, puing-puing itu adalah memaksa dirinya bertingkah santun dan lembut.
Masih dalam keadaan melingkar, Jangila mulai merasakan bau ketiak dari Ibu dan Bapaknya, yang tidak pernah Jangila temukan ketika bersama Pak Hiqro dan Bu Ifaw, lantaran mereka berdua sangat memperhatikan kebersihan diri mereka dan tak berat hati untuk mandi ketika merasa diri sudah tak kondusif.
“Orangtua kandungku macam sialan! Mengapa mereka jorok sekali!? Irit sih irit tapi jangan juga ketek sampe bau sampah begini, sial! Sial!” Jangila mulai tak kuat dengan lingkaran yang baginya hanyalah kebodohan belaka, terlebih ditambah dengan bau ketika kedua orang tua kandungnya yang mengobrak-abrik benteng penyaring udara di hidungnya.
Jangila mulai bergerak seolah tak tahan lagi dengan lingkaran yang dipenuhi aroma ketiak yang membunuh kenyamanan berbicara mereka. Badannya mulai terhuyung, perlahan, perlahan, kedua orangtua kandungnya heran dengan apa yang menimpa Jangila, mereka sama sekali belum mengetahui apa sebenarnya yang terjadi!?
Bruuuk! …. Jangila terjatuh di atas pangkuan Ibunya, meski dalam keadaan pingsan dia tetap merasakan bau ketiak yang sangat tajam dan menyengat, seketika dia terbangun sambil melotot dan menutup hidungnya, kemudian berdiri dan berlari menuju kamar mandi.
Tak bisa ditahan lagi, sebab sangat bau dan mencekam hidungnya. Kedua orangtua kandungnya kini baru mulai paham dan mereka segera mencium ketiak mereka masing-masing. “Ah biasa aja ya Yah.” Kata Bu Pendus. Pak Pema setelah mencium ketiaknya, “Ini sangat bau Bu, kasihan dia.” Jelasnya.
RTD. Selasa 1 Februari 2022 halub© 13:25
Cerpen Karangan: halub Blog: huzur_yakindir.blogspot.com Saya halub dari Cileungsi, senang bisa menulis di cerpenmu.com, maju terus dan sukses selalu untuk tim cerpenmu
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com